Pemilu dan Krisis Legitimasi Parpol
Pemilu 2014 masih tiga tahun lagi, namun isunya mulai berhembus hangat sejak kini. Termasuk perebutan kursi RI 1, serta pertanyaan dan prediksi seputar siapa parpol pemenang Pemilu 2014 setidaknya mulai ramai dibicarakan.
Hal ini mengundang “decak kagum” sekaligus kekhawatiran akan masa depan demokrasi politik di Indonesia. “Decak kagum” manakala melihat tingginya antusiasme elit menyongsong Pemilu 2014. Seakan-akan semua orang dianggap melek politik, padahal tidak demikian. Seolah-olah persoalan negara hanya seputar politik Pemilu. Hal ini kemudian melahirkan kekhawatiran ketika rakyat menyadari bahwa selama ini, aspirasi mereka telah gagal dipenuhi pemerintah, termasuk parpol. Ketika rakyat sadar, bahwa mereka hanya dijadikan “sapi perah” atas sumbangan suara yang diberikan pada pemilu.
Memang, salah satu prasyarat suksesnya Pemilu adalah tingginya angka partisipasi pemilih. Namun pada Pemilu 2004 dan 2009, Golput tampil menjadi “pemenang”. Dengan persentase 23,34% dari total pemilih terdaftar. Angka ini lebih besar dari angka parpol pemenang pemilu. seperti Golkar (16,54%), PDIP (14,21%), dan PKB (8,10%). Pada Pemilu 2009, Golput kembali menjadi pemenang (39,1%) dengan menyingkirkan partai pemenang Pemilu seperti Demokrat (20,85%), Golkar (14,45%), PDIP (14,03%) (Sumber:KPU).
Golput memberi sinyal bahaya terhadap kelangsungan demokrasi. Golput memberi fakta tentang rendahnya apresiasi rakyat terhadap Pemilu, secara khusus terhadap Parpol sebagai penyokong. Memang benar bahwa, Pemilu tidak semua tentang parpol, seperti pemilihan anggota DPD yang tidak melewati pintu Parpol. Akan tetapi secara keseluruhan, Pemilu terlanjur identik dengan parpol. Maka berarti, kegagalan Pemilu dengan tingginya angka Golput, berarti juga kegagalan Parpol dalam mendekatkan diri dan meraih kepercayaan rakyat sebagai konstituennya.
Disforia Multipartai
Ironisnya, pertambahan jumlah parpol tidak berkorelasi positif dengn apresiasi dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Parpol. Sehingga kemudian muncul pertanyaan, mengapa Golput begitu tinggi dalam sistem multipartai? Bukankah multipartai adalah solusi dari kekakuan sistem Pemilu selama ini sehingga seharusnya rakyat mengapresiasi Pemilu dalam sistem multipartai? Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk dijawab oleh semua pelaku/aktor.
Namun setidaknya, hal ini mengindikasikan bahwa, euforia demokrasi pada Pemilu 1999-2009 yang mengulang “sukses” Pemilu 1955 dalam melahirkan multipartai, berubah menjadi disforia. Ketika Parpol sebagai penyokong demokrasi telah mengalami krisis legitimasi dari rakyat sebagai konstituennya (pemegang hak suara) dengan masih tingginya angka Golput.
Seyogyanya, kehadiran multipartai pada Pemilu 1999, 2004, 2009 (walaupun pernah terjadi pada Pemilu 1955) yang kemudian meramaikan konsep lembaga legislatif (walaupun yang lolos parliamentary treshold hanya 9 parpol) harus diapresiasi secara adil dan berimbang. Adil dalam pengertian, sistem multipartai dianggap mengakomodasi hak sipil-politik rakyat, untuk ukuran Indonesia sebagai negara multi dan plural. Sedangkan berimbang, artinya bahwa sistem multiparpol harus dibarengi dengan kualitas kinerja parpol. Utamanya dalam memperjuangkan aspirasi rakyat sebagai konstituennya. Tidak hanya menjadikan rakyat sebagai “sapi perah”, ketika suaranya hanya dibutuhkan pada saat Pemilu. jika demikian, maka yang nampak bukan demokrasi, tapi oligarki.
Sesungguhnya, sistem multipartai melahirkan resiko ganda. Pada satu sisi, multipartai dirasa perlu untuk mengakomodasi beragam kepentingan yang tidak terwakili dalam sistem dwi partai (PDI dan PPP, Golkar menjadi Parpol nanti pada Pemilu 1999) pada masa Orba dulu. Multipartai dianggap cocok mewakili keragaman bangsa dan kepentingan rakyat yang berbeda.
Pada sisi lain, multipartai menjadi masalah ketika Pemilu menghasilkan pemerintahan terbelah, sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Juan Liz. Ketika pemenang pilpres dalam pemilu langsung tidak mendapatkan dukungan signifikan di DPR karena perolehan suara partai pengusung capres/cawapres, dianggap tidak cukup untuk memback up program-program pemerintah. Yang muncul kemudian adalah tarik menarik dukungan politik. Pasangan capres/cwapres terpilih akan lebih sibuk membangun komunikasi dengan parpol yang mendapat suara mayoritas di DPR ketimbang mengurusi masalah rakyat.
Namun pada kenyataannya, kerumitan konsep multipartai sesungguhnya dirasakan oleh rakyat. Masalah besar kemudian muncul ketika rakyat menjadi bingung dan seolah tidak siap dengan perubahan sistem kepartaian, dari dwi partai ke multipartai. Rakyat, yang kesadaran politiknya masih hijau “terpaksa” ikut Pemilu dalam “ketidaktahuannya”, partai mana dan siapa yang akan dicoblos.
Krisis Identitas
Hal ini terjadi karena Parpol mengalami krisis identitas. Krisis identitas ini akhirnya membawa dampak pada krisis legitimasi rakyat terhadap parpol. Krisis identitas terjadi karena parpol tidak menampilkan sosok idealnya sebagai parpol. Dalam tataran ideal, parpol adalah sarana penyaluran aspirasi masyarakat ke lembaga perwakilan. Utang budi suara yang diberikan rakyat pada pemilu harus dibalas dengan kinerja yang memuaskan rakyat. Ibarat transaksi jual beli, penjual dan pembeli sama-sama puas. Hak dan kewajiban ditunaikan masing-masing pihak. Dalam konteks pemilu, rakyat sebagai penjual suara dan parpol sebagai pembeli suara harus sama-sama puas dan untung. Rakyat dan parpol harus satu visi. Sehingga rakyat betul-betul menganggap parpol sebagai mitra.
Rakyat menjadi kecewa ketika melihat Parpol nanti hadir pada saat momen Pemilu. Ketika membutuhkan suara rakyat. Parpol baru muncul dengn beragam jualan isu. Namun ketika pemilu usai, rakyat ditinggalkan dengan tetap dalam kondisi miskin dan terbelakang. Padahal, dalam negara demokrasi, parpol dan rakyat adalah pilar. Keduanya tidak bisa bekerja sendiri, namun harus ditopang oleh lainnya. Keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan. Parpol membutuhkan rakyat sebagai pemegang hak suara. Sedangkan rakyat juga membutuhkan Parpol untuk memperjuangkan aspirasinya.
Partai politik tidak hanya didirikan untuk mencapai suatu cita-cita dan aspirasi politik tertentu. Parpol tidak sekedar alat atau kendaraan politik. Jika demikian maka parpol hanya akan menjadi milik dan hanya untuk memuaskan libido kekuasaan segelintir orang. Seharusnya gagasan utama parpol adalah perjuangan parpol berdasarkan sistem nilai dan visi yang diembannya, yang diselaraskan dengan visi rakyat.
Pernah dimuat di Koran FAJAR, Makassar, Kamis 12 Januari 2011