Nasib Calon Kepala Daerah Berstatus Residivis
Kiranya menjadi penting untuk mengulas kembali syarat calon kepala daerah berstatus mantan narapidana, sebagaimana saya pernah menuliskan tema tersebut diharian ini. Jika dalam tulisan saya sebelumnya, hanya menyinggung nasib calon kepala daerah berstatus mantan narapidana secara umum. Dengan melalui tulisan ini, dikhususkan untuk mengkaji calon kepala daerah yang berstatus residivis, apakah memenuhi syarat dalam pencalonan oleh KPU?
Akhir-akhir ini, bersamaan dengan semakin dekatnya masa pendaftaran Cagub Sul-Sel 2018, tersiar isu diberbagai kalangan (utamanya ditiap konstituen bakal calon Gubernur), bahwa salah satu bakal calon yang berstatus residivis, kelak akan terganjal dengan syarat pencalonan berdasarkan Pasal 4 ayat 1 huruf g PKPU Nomor 3 Tahun 2017.
Selanjutnya tulisan ini akan menelaah permasalahan tersebut secara sistematis, mulai dari Putusan MK sampai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya.
Pelarangan Residivis
Pelarangan calon kepala daerah berstatus residivis atau mantan pelaku tindak pidana berulang tidak pernah diatur dalam UU Pemilihan Kepala Daerah. Baik dalam UU Pemda sebelumnya (UU No. 32/2004) maupun dalam undang-undang pemilihan yang telah berlaku saat ini yang telah mengalami revisi sebanyak tiga kali.
Larangan calon kepala daerah tidak boleh residivis hanya dinyatakan untuk pertama kalinya melalui Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, selanjutnya dinyatakan lagi dalam Putusan MK Nomor 120/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, dan Putusan MK Nomor 71/PUU-XIV/2016.
. Jauh sebelum itu, ketika pengujian syarat calon kepala daerah bersamaan dengan pengujian syarat calon presiden/wakil presiden, calon hakim konstitusi, calon hakim MK, dan calon anggota BPK yang berstatus mantan narapidana, pelarangan bukan residivis tidak pernah disinggung (Putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007).
Dalam Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 Jo. Putusan MK Nomor 120/PUU-VII/2009, Jo. Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 Jo. Putusan MK Nomor 71/PUU-XIV/2016 mengenai syarat calon kepala daerah berstatus mantan narapidana, pada intinya menyatakan bahwa: “ketentuan mengenai calon kepala daerah berstatus mantan narapidana yang pernah diancam pidana paling lama 5 tahun inkonstitusional apabila tidak dipenuhi syarat-syarat, diantaranya: (1) Berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; (2) Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; (3) Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; (4) Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.”
Setiap putusan MK tersebut pada dasarnya terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa syarat calon kepala daerah bukanlah pelaku kejahatan yang berulang (residivis). Konsekuensi hukum lebih lanjut dari Putusan MK a quo, seharusnya ketentuan mengenai syarat calon kepala daerah dalam UU Pemilihan, mengenai bukan residivis harus dicantumkan secara jelas. Namun pada kenyataannya, pembentuk UU tidak memperhatikan hal itu.
Yakin dan pasti, masalah penetapan Paslon yang berstatus mantan narapidana yang pernah menyandera KPU Provinsi Gorontalo dari salah satu calon berrnama Rusli Habibie melalui gugatan administratif di Bawaslu dan PTTUN-MA. Sedikit tidaknya, potensial akan terjadi pula nanti untuk KPU Provinsi Sul-Sel dari salah satu Calon yang bernama Nurdin Halid (NH). Hal ini disebabkan, UU Pemilihan yang menjadi pedoman mengenai syarat pencalonan tidak mengatur hal tersebut, namun di sisi lain putusan MK yang harus dimaknai sebagai bunyi undang-undang, telah dengan tegas mengatur persyaratan calon kepala daerah tidak boleh residivis.
Kemungkinan besarnya, penetapan Paslon NH-Aziz Kahar suatu saat akan digugat pula oleh Paslon lainnya di Bawaslu, hingga di PTTUN-MA. Andaikata KPU tetap bersikukuh meloloskan bakal calon tersebut.
PKPU
Dalam praktik dan itu sudah menjadi kebiasaan KPU, dikala hendak menetapkan Paslon, jauh lebih memperhatikan peraturan yang dibuatnya sendiri, dibandingkan dengan UU Pemilihan. Dan jika hal itu terjadi, NH yang berstatus sebagai residivis tetap akan diloloskan sebagai Paslon Gubernur/Wakil Gubernur.
Pasal 4 ayat 1 huruf g PKPU Nomor 3 Tahun 2017, justru membentuk ketentuan lain dari pada yang lain, sebagaimana yang dinginkan oleh Putusan MK. Dalam Pasal a quo ditegaskan bahwa “…Calon Gubernur dan Wakil Gubernur … dengan memenuhi persyaratan bagi Mantan Terpidana yang telah selesai menjalani masa pemidanaannya, secara kumulatif, wajib memenuhi syarat secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang, kecuali bagi Mantan Terpidana yang telah selesai menjalani masa pidananya paling singkat 5 (lima) tahun sebelum jadwal pendaftaran….”
Dalam ketentuan a quo justru membolehkan bakal calon yang residivis, dapat memenuhi syarat sebagai calon gubernur. Frasa “bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang” kemudian dikuti dengan kalimat “kecuali bagi Mantan Terpidana yang telah selesai menjalani masa pidananya paling singkat 5 (lima) tahun.” Secara gramatikal ketentuan tersebut, memang dilarang calon kepala daerah yang berstatus residivis, tetapi dengan adanya kata “dikecualikan” maka status seorang NH yang residivis, tidak dapat diganjal lagi, sebab ia telah selesai menjalani semua masa pemidanaannya, dan soal waktu lima tahun harus menunggu sebelum jadwal pendaftaran, telah dilewati semuanya.
Jika memang seorang residivis hendak diganjal berdasarkan ketentuan pencalonan tersebut, mengapa pula penjegalan residivis tidak diatur bersama dengan penjegalan mantan narapidana Bandar narkoba, mantan narapidana kejahatan seksual terhadap anak diketentuan berikutnya, yaitu Pasal 4 ayat 1 huruf h PKPU Nomor 3 Tahun 2017.
PKPU ini akan menjadi senjata yang memakan tuannya sendiri, KPU akan diseret dalam sengketa administrasi. Dan disaat yang sama, seorang residivis sudah cukup dilindungi hak politiknya, hanya dengan PKPU tersebut.*