Kebiri, Hukuman Tambahan atau Pemberatan?

Kini, tampaknya sulit lagi membedakan antara pernyataan yang diungkapkan oleh orang awam hukum dan orang yang seharusnya mengerti “hukum.” Kendatipun banyak diantara mereka ini, berasal dari jebolan perguruan tinggi fakultas hukum ternama.

Kemarin malam (30/05/2016) dua stasiun TV swasta, masing-masing menghadirkan perwakilan pemerintah dalam membahas “kontroversi Hukuman Kebiri.” Perwakilan pemerintah yang diwakili oleh menteri hukum dan hak asasi manusia (Menkumham), Yasona Laoli mengatakan kalau hukuman kebiri hanyalah hukuman tambahan yang dapat menjerat predator seksual anak tertentu. Lain pula yang dinyatakan oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Abdul Malik dengan lugasnya mengatakan kalau hukuman kebiri merupakan hukuman pemberatan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang tergolong residivis dan perbuatan atas pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang menyebabkan “kematian” bagi korban.

Hal ini kemudian perlu diluruskan, sebab kekeliruan dalam memahami “hukuman kebiri” sudah banyak pula terjadi dari beberapa penulis opini. Tak pandang ahli, baik dokter, sarjana hukum maupun mahasiswa yang sempat dimuat opininya karena hanya mengumpulkan “serpihan-serpihan” berita, fatal adanya dalam memahami kalau hukuman kebiri sebagai hukuman tambahan atau hukuman pemberatan. Padahal hukuman kebiri tidaklah termasuk dalam kedua jenis hukuman itu.

Sumber Gambar: poskotanews.com

Sumber Gambar: poskotanews.com

Sanksi Tindakan

Satupun dari pernyataan elemen pemerintah tersebut yang saya kemukakan di atas, keliru dalam memahami “bunyi” Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2016 yang mengatur tentang hukuman kebiri bagi predator seksual anak. Oleh karena hukuman kebiri dalam ketentuannya, terang sekali dinyatakan sebagai hukuman tindakan.

Agar kita tidak bias memahami persoalan ini dan menghindari kalau saya dianggap mengada-ada dalam menuding terjadinya kesalahan pendapat dari berbagai kalangan, saya kutip secara utuh bunyi dari ketentuan tersebut. Pasal 81 ayat 7 Perppu Nomor 1 Tahun 2016 menegaskan: “terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan cip.”

Tidak dapat dipahami secara terpisah-pisah bunyi dari Pasal 81 ayat 7 tersebut, sebab rujukannya yang dapat dikenai sanksi tindakan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, harus dilihat kembali pada ayat sebelumnya, yaitu ayat 4 dan ayat 5. Ketentuan ini,  pada intinya mengatur jenis tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan siapa pelaku (ayat 4) dan akibat dari perbuatan petindaknya (ayat 5). Kalau pelaku kekerasan seksual terhadap anak, ternyata seorang residivis, maka dapat dikenakan tindakan berupa kebiri kimia. Hal demikian, juga berlaku pada pelaku yang berdasarkan akibat dari perbuatan sang petindaknya, yakni menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal, kepada pelaku ini qualified pula untuk dikenakan hukuman tindakan berupa kebiri kimia.

Soal membedakan hukuman pemberatan dan hukuman tambahan, adalah cukup muda, dengan hanya berdasarkan pada Perppu itu juga. Sebab pada Pasal 81 ayat 3 dan ayat 4, tegas-tegas dinyatakan dalam frasanya “pidananya “ditambah 1/3” dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1.” Mereka yang dapat dikenakan hukuman pemberatan, yakni digantungkan pula pada jenis pelakunya. Bahwa yang termasuk kerabat dekat anak dan pelaku residivis dalam tindak perbuatan kekerasan seksual terhadap anak dikenakan pemberatan hukuman melalui penambahan 1/3 dari acaman pidana penjara (antara 5 sd. 15 tahun) dan tambahan 1/3 lagi dari ancaman pidana denda (paling banyak 5 milyar).

Adapun yang termasuk hukuman tambahan dalam Pasal 81 ayat 6 Perppu itu lagi, berupa pengumuman identitas pelaku. Hukuman tambahan jenis ini dapat dikenakan kepada jenis pelakunya sebagai pelaku biasa (lihat ayat 1-nya), pelaku yang dekat dengan anak, pelaku residivis, dan  karena akibat dari perbuatan pelakunya. Jadi, ada kemungkinannya pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, terutama residivis dan petindak yang berdasarkan akibat perbuatannya, terjerat dalam hukuman pemberatan, terjerat pula dengan hukuman tambahan, dan terjerat lagi dengan hukuman tindakan.

Perlu pula diketahui, dimengerti, dan dipahami baik-baik dalam kaitannya dengan Perppu tersebut, bahwa tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang memungkinkan dikenakan hukuman tindakan berupa kebiri kimia, hanyalah tindak pidana yang tergolong sebagai persetubuhan. Pasal 81 ayat 1 Perppu Nomor 1 Tahun 2016 sudah jelas mempertegas hal itu, bahwa rujukannya kembali ke Pasal 76 D UUPA yang mengatur pelarangan tindak pidana persetubuhan terhadap anak. Inilah yang menjadi perbedaan mendasarnya dengan Pasal 82 Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang merujuk ke Pasal 76 E dalam pengaturannya tentang pelarangan delik pencabulan terhadap anak. Satunya, delik persetubuhan, dan satunya lagi delik pencabulan.

Sanksi Pidana

Pada hakikatnya, antara hukuman pidana pokok, hukuman pidana tambahan, dan hukuman tindakan, perbedaanya dapat dilihat melalui gradasi penghukumannya. Hukum pidana pokok merupakan hukuman paling terberat dengan tujuannya memberikan efek jera, terjadi perampasan hak dasar berupa hak hidup (hukuman mati), hak kebebasan (hukuman penjara), hak milik (denda). Sementara pada hukuman tambahan, kendatipun juga bermaksud memberikan penderitaan kepada pelaku, gradasi hukumannya lebih ringan dari hukuman pidana pokok, sebab lazimnya hanya merampas hak yang terkait dengan kepentingan negara, tidak sampai menangguhkan hak yang sifatnya adikodrati. Hukuman tambahan dalam Pasal 10 huruf (b) KUHPidana bisa menjadi contoh, diantaranya: pencabutan hak tertentu (hak politik, hak perwalian), perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Lain pula dengan hukuman tindakan yang berpijak dari filosofi pemidanaan perawatan dan pemulihan terhadap pelaku kejahatan. Sehingga tingkat penghukumannya malah lebih ringan lagi dari hukuman tambahan. Dan logis adanya kalau hukuman tindakan, pelaku biasanya hanya diberikan pendidikan dan pengajaran melalui lembaga pembinaan pemerintah.

Dalam konteks hukuman kebiri, baik dari gradasi hukumannya maupun metode menghukumnya dengan prasyarat mendapatkan hukuman pidana pokok telah menyimpangi prinsip pemidanaan. Hukuman kebiri tiada lain sebagai perampasan hak fundamental berupa hak untuk berkeluarga, maka dengan itu lebih tepat seandainya hukuman kebiri dikualifikasi sebagai hukuman pidana pokok saja. Pun kemudian, menempatkan hukuman kebiri sebagai hukuman tindakan, lalu diakumulasi dengan hukuman pidana pokok, sama saja mengacau-balaukan filosofi pemidanaan antara bermaksud memberi efek jera atau hendak memulihkan sikap dan keadaan mental pelakunya.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...