Masalah Pulau-pulau Terluar & Kondisi Perairan kita
Perjalanan sejarah yang amat panjang. Lama, hingga akhirnya Negara Indonesia dapat mengklaim negaranya yang dipisahkan oleh perairan, lautan di hadapan pulau-pulau tersebut sebagai wilayahnya. Indonesia dapat mengklaim laut yang terdapat di dalam sektor, wilayah antar pulau menjadi perairan kepulauan. Dalam sejarah hukum laut internasional kita bisa mengenal nama, misalnya Hugo Grotius (bapak hukum internasional) dengan John Shelden yang menyatakan bahwa laut dapat dimiliki bersama, atau laut dapat diklaim oleh suatu Negara tertentu.
Pada awalnya terjadi perang buku (the battle of the book) diantara kedua tokoh ini. Perdebatan mana doktrin/ konsep yang dapat diterapkan, digunakan atau dengan kata lain yang mana yang dapat menjadi preseden bagi Negara-negara di dunia ?
Dikenal konsepsi kelautan res communis yang menganggap laut sebagai milik bersama, di samping itu ada juga konsepsi kelautan res nullius, yang menganggap bahwa laut dapat dimiliki atau diklaim oleh suatu Negara.
Kemudian memasuki tahun 1951 Norwegia secara sepihak melakukan penarikan garis pangkal lurus pada lautnya yang berbatasan dengan Inggris. Kasus ini dikenal Anglo Norwegian Fisheris case.
Negara Indonesia sebagai Negara kepulauan (archipelagic state) juga mengikuti cara penarikan garis batas dengan cara penarikan garis pangkal lurus (straight base line). Penarikan garis pangkal yang dibenarkan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice).
Dalam perkembangan sejarah hukum kelautan, kemudian. Jika dulunya hanya sejauh 3 mil, karena jarak tersebut mengacu pada jarak tembak meriam. Maka dalam beberapa konperensi mulai dari tahun 1930 (di Denhaag) hingga lahirnya UNCLOS (United Nation Convention on the Law Of The Sea) pada tahun 1982. Maka konsep res nullius maupun res communis berlaku dalam penentuan batas-batas wilayah kelautan.
Res nullius (mare clausum) menjadi cikal-bakal sehingga Negara Indonesia memiliki kedaulatan atas tiga wilayah lautnya, yakni laut territorial, zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif. Sementara keberadaan res communis juga tetap berlaku dengan diakuinya laut bebas (mare liberum). Dimana semua Negara untuk laut bebas tersebut, dapat memanfaatkannya. Karena wilayah laut tersebut (laut lepas/ high sea), terutama perairan dan tanah di bawahnya adalah warisan bersama ummat manusia (common heritage of mankind).
MASALAH PULAU-PULAU TERLUAR
Para pemangku kebijakan jika tidak ingin mengecewakan Ir. Juanda sebagai Founding Father yang melahirkan konsepsi Negara kepulauan. Melalui deklarasi Djuanda (13 Desember 1957) maka saat ini sudah mestinya Negara kita, lebih mengefektifkan masalah perlindungan pulau-pulau terluar yang kita sudah miliki.
29 Desember 2005 Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005. Di PP trsebut ditegaskan bahwa ada Sebanyak 92 pulau di wilayah Indonesia berbatasan langsung dengan negara tetangga di antaranya: Malaysia (22), Vietnam (2), Filipina (11), Palau (7), Australia (23), Timor Leste (10), India (13), Singapura (4) dan Papua Nugini (1). Ke-92 pulau tersebut tersebar di 18 provinsi Indonesia yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (6), Sumatera Utara (3), Kepulauan Riau (20), Sumatera Barat (2), Bengkulu (2), Lampung (1), Banten (1), Jawa Barat (1), Jawa Tengah (1), Jawa Timur (3), Nusa Tenggara Barat (1), Nusa Tenggara Timur (5), Kalimantan Timur (4), Sulawesi Tengah (3), Sulawesi Utara (11), Maluku Utara (1), Maluku (18), Papua (6) dan Papua Barat (3).
Masih hangat diingatan kita, kasus Sipadan dan Ligitan berhasil diklaim dan menjadi milik Malaysia. Karena Negara melayu tersebut lebih dominan melakukan eksplorasi, dan pemanfaatat terhadap pulau tersebut. Padahal dalam demografi, atau peta yang dimiliki di zaman Hindia Belanda. Pulau Sipadan dan Ligitan adalah bagaian dari area milik Hindia Belanda. Artinya wilayah Sipadan dan Ligitan dari bukti otentik sudah merupakan wilayah Indonesia. Tapi apa lacur, mungkin menteri-menteri kita di bidang kelautan beserta jajarannya tidak pernah peduli dengan perlindungan terhadap pulau tersebut.
Belum adanya kesepakatan tentang batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, juga menjadi salah satu isu yang harus dicermati. Forum RI-Filipina yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang memiliki agenda sidang secara berkala, dapat dioptimalkan menjembatani permasalahan perbatasan kedua negara secara bilateral.
Hasil pendataan Departemen Dalam Negeri, dari 17.504 pulau di seluruh wilayah NKRI baru 7.870 pulau yang telah memiliki nama. Sebanyak 9.634 atau 55 % belum bernama. Mencermati kondisi nyata yang ada di lapangan, dalam rangka inventarisasi pulau-pulau dan menyatakan eksistensi kedaulatan Republik Indonesia di pulau-pulau tersebut perlu ditempuh upaya pemberian nama pulau mengacu Standardization of Geographical Name” wilayah pulau-pulau tersebut dibangun pos pengamanan, infrastruktur, tanda batas, komunikasi dan fasilitas umum lainnya yang dibutuhkan masyarakat/penduduk setempat.
Pada tahun 2005 keluarlah Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Adapun tujuan dari pengelolaan pulau-pulau kecil terluar tertuang dalam pasal 2 yaitu (1) menjaga keutuhan wilayah Negera Kesatuan Republik Indonesia, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan. (2) Memanfaatkan sumber daya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan dan, (3) Memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.
BAGAIMANA DENGAN WILAYAH PERAIRAN KITA ?
Indonesia memiliki luas laut 7.900.000 km2, empat kali dari luas daratannya. Wilayah ini meliputi laut Teritorial, Laut Nusantara, dan Zone Ekonomi Ekslusif. Melalui Deklarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957 sebagaimana juga telah di singgung di atas, maka dilahirkan Wawasan Nusantara. Yaitu cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam deklarasi ini ditentukan bahwa batas perairan wilayah Indonesia adalah 12 mil laut dari garis dasar pantai sampai titik terluar. Garis dasar pantai adalah garis pantai rata-rata pada keadaan pasang surut.
Berbanding terbalik kiranya, Negara kita dengan beberapa Negara maju seperti Inggris dan Amerika yang sedari awal telah memanfaatkan wilayah perairannya. Padahal dalam wilayah laut pedalaman terkandung banyak sumber alam. Beberapa Negara maju telah melakukan pengeboran minyak di wilayah lepas pantai, sementara kita masih bergantung pada pengelolaan asing, yang jelas lebih banyak kekayaan laut kita itu dikirim ke luar negeri saja.
Terakhir, aspek yang penting juga diperhatikan dengan semakin maraknya industri di Indonesia jelas menimbulkan dampak buruk bagi kselamatan laut kita. Yakni pencemaran laut. Laut biasanya menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Karena kadar karbondioksida atmosfer meningkat, lautan menjadi lebih asam.
Potensi peningkatan keasaman laut dapat mempengaruhi kemampuan karang dan hewan bercangkang lainnya untuk membentuk cangkang atau rangka. Kehidupan laut dapat rentan terhadap pencemaran kebisingan atau suara dari sumber seperti kapal yang lewat, survei seismik eksplorasi minyak, dan frekuensi sonar angkatan laut. Perjalanan suara lebih cepat di laut daripada di udara.
Hewan laut, seperti paus, cenderung memiliki penglihatan lemah, dan hidup di dunia yang sebagian besar ditentukan oleh informasi akustik. Hal ini berlaku juga untuk banyak ikan laut yang hidup lebih dalam di dunia kegelapan. Dilaporkan bahwa antara tahun 1950 dan 1975, ambien kebisingan di laut naik sekitar sepuluh desibel (telah meningkat sepuluh kali lipat). Jelas sekarang bahwa sumber pencemaran sangat bervariasi. Tidak hanya dari hal-hal yang menurut kita hanya bisa dilakukan oleh industri besar, namun juga bisa disebabkan oleh aktiftas harian kita.