“Xenia Maut” dan Jeratan Pasal 338 KUHP
Kasus pemerkosaan di mobil angkutan kota (angkot) belum usai. Kini muncul lagi pemberitaan seputar lalu lintas. Afriyani Susanti tersangka dalam kasus “Xenia Maut” menjadi perbincangan yang hangat. Bukan karena mobil yang dikendarainya telah menggunakan Bahan Bakar Gas (BBG). Atau karena mobilnya adalah buatan anak Esemka. Akan tetapi, karena mobil yang dikendarainya telah menelan korban nyawa 9 orang.
Tabrakan beruntun atau lazim didengar dengan istilah kasus “Xenia Maut” menyita banyak perhatian masyarakat. Terlebih karena jumlah korbannya yang banyak dan tentunya meninggalkan kepedihan yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Banyaknya spekulasi yang bermunculan tentang ancaman undang-undang yang akan dikenakan untuk menjerat pelakunya. Hal tersebut wajar saja, karena pelaku (baca: sopir) berada dalam kondisi dibawah pengaruh obat-obatan.
Afriyani Susanti dan Perdebatan Penerapan Pasal 338 KUHP
Afriyani Susanti telah dijerat Pasal 338 KUHP oleh penyidik Polda Metro Jaya. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Rikwanto mengatakan bahwa itu hasil dari analisa kepolisian dan saksi ahli serta keterangan saksi yang ada ditempat kejadian. Pelaku dianggap telah memenuhi unsur-unsur pasal pembunuhan. Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya putusan MA (yurisprudensi) dalam kasus kecelakaan Metro Mini yang mengakibatkan 32 orang tewas.
Bila kita melihat posisi kasus (baca: Xenia Maut), telah terjadi perbedaan pendapat dalam hal penerapan sanksi pidana bagi pelakunya. Banyak pakar hukum yang berpendapat bahwa pelaku seharusnya dijerat dengan Pasal 338 KUHP maksimal 15 tahun penjara. Pelaku dianggap telah melakukan suatu kesengajaan (dolus) yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Di lain sisi ada juga yang berpendapat bahwa pelaku telah melakukan kelalaian (culpa). Sehingga menyebabkan tabrakan maut yang menelan korban (vide:Pasal 359 KUHP).
Marilah menyelami pendapat satu persatu pakar hukum tersebut. Pendapat pertama penerapan Pasal 338 KUHP kepada Afriyani Susanti sudah tepat. Hal tersebut karena Afriyani susanti mengetahui dirinya dibawa pengaruh obat terlarang dan minuman beralkohol sambil mengemudikan mobilnya. Hingga mengakibatkan tabrakan yang berujung kepada hilangnya nyawa seseorang.
Salah satu unsur penting Pasal 338 KUHP yakni unsur kesengajaan. Kesengajaan (dolus/opzet) yang dalam teori hukum pidana dibagi atas tiga. Pertama, kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk). Kedua, kesengajaan sebagai keinsyafan pasti (opzet hij zakerheids hewustzijn). Ketiga, kesengajaan sebagai keinsyafan kemungkinan (opzet hij mogelijkheids hewustzijn atau dolus eventualis).
Dalam Memorie van Toelecting (baca: penjelasan KUHP) terdapat keterangan yang menyatakan bahwa pidana pada umumnya hendak dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang dengan “dikehendaki” dan “diketahui”. Kesengajaan haruslah mengandung kata dikehendaki (willens) dan diketahui (wetens). Bila kita kaitkan dengan kasus Xenia Maut, maka pelaku diduga telah melakukan suatu kesengajaan sebagai keinsyafan kemungkinan/ dolus eventualis.
Pendapat kedua, mengatakan bahwa pelaku (baca: Afriyani Susanti) harusnya dijerat Pasal 359 KUHP maksimal 5 tahun penjara. Pelaku dianggap telah lalai (culpa) dalam mengendarai mobilnya yang berujung kepada hilangnya nyawa orang lain. Seseorang dikatakan lalai (culpa) apabila ternyata dia menghendaki untuk melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi, hanya akibatnya dia tidak membayangkan, padahal seharusnya dia membayangkannya. Kasus Xenia Maut si pelaku telah mengendarai kendaraanya dalam kondisi mabuk ditempat yang ramai dan telah diperingatkan oleh teman-temannya. Tetapi Afriyani Susanti tetap tidak menghiraukannya. Atau dengan kata lain Afriyani Susanti harusnya sudah bisa membayangkan akibatnya bila mengendarai mobil ditempat yang ramai dalam kondisi mabuk.
Pelaku kasus Xenia Maut telah dijerat Pasal 338 KUHP yang dikuatkan dengan yurisprudensi MA dan melihat sisi keadilan bagi keluarga korban. Pertanyaannya apakah Afriayani Susanti melakukan kesengajaan? Tentunya kata “kesengajaan” lah yang harus dibuktikan.