Hambit Bintih (Jangan) Dilantik
Belum usai kisruh, rencana penonaktifan Ratut Atut Chosiyah sebagai Gubernur Banten pasca dicokok oleh komisi anti rasuah, KPK (baca: ditahan). Tak kalah peliknya lagi, kini Mendagri menuai protes dari berbagai kalangan. Adalah penetapan tersangka Hambit Bintih (selanjutnya disingkat HB) sebagai Bupati Gunung Mas terpilih, bersama dengan pasangannya Arton S. Dohang, oleh Mahkmah Konstitusi Republik Indonesia, Mendagri berencana melantik HB lalu menonaktifkannya lagi, sedianya kalau HB berubah statusnya kelak menjadi terdakwa.
Polemik pelantikan atas Hambit Bintih juntrungnya, kini menuai banyak perdebatan dikalangan para pengamat. Bahkan KPK sebagai penyidik yang berwenang menahan HB, terkesan “menghalang-halangi” kewenangan Mendagri untuk melantiknya. Mendagri berdalih bahwa kewenangan untuk melantik merupakan syarat administratif yang harus dipenuhi bagi Calon Kepala Daerah terpilih, meskipun calon tersebut sudah ditetapkan statusnya sebagai tersangka. Hal ini, Mendagri mengacu pada Pasal 109 Undang-undang Pemda: pengesahan pengangkatan pasangan calon bupati dan wakil bupati dilakukan oleh Mendagri atas nama Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari. Lain penilaian Mendagri lain pula KPK, KPK tetap bersikukuh pada posisinya, kalau pelantikan atas tahanan tersangka korupsi, dianggap Mendagri akan melaksanakan hak konstirusional yang tidak tepat. Bukankah korupsi merupakan skandal moral, yang dapat mencedarai moral publik, demikian pernyataan Busyro Muqodas maupun Bambang Widjayanto sebagai pimpinan KPK diberbagi harian dan siaran TV swasta .
Terlepas dari nuansa perdebatan tersebut, Penulis akan menggunakan dua lapisan yang membentuk kaidah hukum itu, yakni asas dan aturan hukum. Dengan tujuan, melihat layak atau tidaknya, HB yang telah disangka sebagi pelaku korupsi untuk dilantik sebagai Kepala Daerah? Mari kita mencermati Undang-Undang (UU) No 32 Tahun 2004 jo UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) sebagai pedoman dalam membahas permasalahan ini. Disiplin ilmu hukum, dan para Yuris sudah sepakat semua, bahwa menelaah kasus-kasus konkret, untuk dikaidahi sebagai sebuah peristiwa hukum sebelum menelorkan aturan hukum, aturan hukum harus ditopang oleh asas yang fundamental. Atau dengan kata lain, jika terjadi kekaburan, kekosongan hukum, pertentangan norma (kaidah, aturan), maka harus kembali pada asas hukum.
Melanggar Asas
Penyelenggaraan pemerintah daerah bertumpu pada asas hukum apa yang dinamakan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Bahkan UU Pemda memuat asas tersebut secara tegas dalam pasal tersendiri, terdapat dalam Pasal 20 yang menyatakan; penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas umum penyelenggaraan Negara yang terdiri atas asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan Negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efesiensi, dan asas efektivitas. Dari kesembilan asas tersebut, ada empat asas yang dilanggar jika HB tetap dilantik sebagai Kepala Daerah, padahal sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi yang ditahan oleh KPK. Antara lain asas tersebut dibagi secara terpisah; asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan Negara, asas kepentingan umum, asas efesiensi dan efektivitas.
Pertama, asas kepastian hukum—- jika HB tetap dilantik akan membuka ruang legalitas Kepala Daerah hilang, karena Kepala Daerah yang sudah dilantik hanya dalam waktu hitungan hari ketika sudah dialihkan menjadi terdakwa maka harus diberhetikan sementara lagi. Jelas, dengan pelantikan HB, kemudian dalam tempo cepat dinonaktifkan lagi, telah melanggar asas kepastian hukum.
Kedua, asas tertib penyelenggaraan negara —– dengan dilantiknya HB pula, maka wakil kepala daerah juga dipastikan tidak bisa menjalankan tugas dan kewenangannya secara penuh, masih ada sebahagian tugas Kepala Daerah yang mestinya mendapat pelimpahan kepada wakilnya. Kondisi ini lebih runyam lagi, kalau harus Kepala Daerah sendiri memerintah dari “balik jeruji” tentu tidak dapat menjalankan tugas dan kewenangannya yang konkuren dengan penyelenggaraan negara yang tertib.
Ketiga, asas kepentingan umum, —– ada banyak hak-hak rakyat harus dipenuhi oleh Kepala Daerah yang baru terpilih, malah akan terganggu, kalau Kepala Daerah “dipaksa” tetap memerintah dari “balik jeruji”. Memang benar, bahwa tidak diberikannya hak bagi Kepala Daerah yang tersangka untuk menjabat, melanggar amanat “daulat rakyat” yang telah memilihnya. Tapi bagaimana mungkin kepala daerah tersebut akan menjalankan roda pemerintahan mengatasnamakan kepentingan umum, kalau harus pula berurusan dengan kasus hukum. Justru karena kepentingan umum menghendakinya, memang HB tidak perlu dilantik, langsung saja dibatalkan keterpilihannya sebagai calon Kepala Daerah terpilih.
Terakhir, asas efesiensi dan efektif —– kalau HB dilantik dan tetap dinonaktifkan nantinya, bahkan diberhentikan tetap dari jabatannya. Dimana letak efesien dan efektifnya pekerjaan melantik, kalau suatu waktu, tetap harus diberhentikan sementara ataukah diberhentikan tetap?. Pasti menghabiskan waktu, tenaga, dan finansial atas pelantikan itu. Supaya efesien, ada baiknya, lagi-lagi langsung saja memberhentikan secara tetap HB sebagai Calon Wakil Kepala Daerah terpilih.
Jangan Dilantik
Melalui aturan hukum pula dalam UU Pemda, HB tetap terbuka ruang agar jangan dilantik sebagai Kepala Daerah. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 108 ayat 3 UU Pemda: dalam hal Calon Kepala Daerah terpilih berhalangan tetap, Calon Wakil Kepala Daerah terpilih dilantik menjadi Kepala Daerah. Pertanyaan pasti yang muncul dari bunyi pasal tersebut, bagaimana nasib Kepala Daerahnya? Oleh karena Kepala Daerahnya berhalangan tetap, mau tidak mau harus “diberhentikan tetap” sebagai Calon Kepala Daerah terpilih.
Lagi-lagi Pasal 108 ayat 3 tersebut, tidak pula dijelaskan apa yang dimaksud berhalangan tetap? Dengan tidak adanya tafsir langung dari pasal tersebut. Melalui penafsiran sistematis, kembali harus dilihat Pasal 29 ayat 2 UU Pemda, bahwa Kepala Daerah dapat diberhentikan karena tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan. Dari Pasal 29 ini, masih ada pertanyaan yang mengganjal, bukankah yang dimaksud Kepala Daerah dapat diberhentikan tetap karena berhalangan tetap adalah Kepala Daerah yang sudah dilantik dan telah menjalankan fase pemerintahannya ?
Memang benar yang dimaksud adalah Kepala Daerah yang sudah menjabat (menjalankan pemerintahan), namun Calon Kepala Daerah dengan status tersangka, sekiranya nanti kalau dilantik sebagai kepala daerah, dalam waktu menjalani proses hukum (lebih-lebih jika harus menjalani banding, kasasi, hingga PK) dipastikan sudah melewati masa berhalangan menjalankan pemerintahan 6 bulan. Dan ujung-ujungnya, dipastikan Kepala Daerah yang berstatus tersangka itu, tidak dapat menjalankan pemerintahan.
Akhirnya, baik dari segi asas hukum maupun aturan hukum yang terdapat dalam UU Pemda, HB yang bersatus tersangka (tahanan KPK) seyogianya saat ini jangan dilantik sebagai Kepala Daerah. Lebih baik, jika langsung diberhentikan oleh Mendagri sebagai Calon Kepala Daerah terpilih, yang tidak dapat menjabat, jabatan Bupati Gunung Mas (Kalimantan tengah). Mari kita mulai membenahi semua kekeliruan ini, seraya menghormati prinsip rule of law, roda pemerintahan harus berjalan tanpa ada hambatan. (*)