Menelaah Vonis Pengadilan Ahok

Sumber Gambar: okezone.com
Dalam waktu kurang lebih setengah tahun, kasus yang mendera Basuki Tjahya Purnama alias Ahok telah menyita perhatian sejumlah pengamat pada khususnya hingga masyarakat pada umumnya. Bak bola salju yang terus menggelinding liar, kasus tersebut disinyalir telah banyak mempengaruhi Pilkada DKI Jakarta kemarin. Termasuk menyita perhatian sejumlah ormas Islam, sampai pada banyak pihak meragukan kalau persidangan itu akan berjalan secara fair, transparan, dan independen.
Salah satu penyebab keraguan dari jalannya persidangan, yakni oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tiba-tiba hanya menuntut Ahok dalam delik penghinaan terhadap golongan (Pasal 156 KUHP), itupun dengan hanya permintaan agar dihukum satu tahun pidana penjara dengan masa percobaan dua tahun. Padahal ekspketasi publik lebih banyak menginginkan agar dituntut dengan Pasal 156 a KUHP, dengan maksimal pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Dalam konteks ini, publik juga meragukan independensi JPU, karena dianggap telah keliru menerapkan tuntutan pidana percobaan, padahal pidana percobaan merupakan otoritas majelis hakim manakalah menjatuhkan pidana penjara satu tahun (Pasal 14 a ayat 1 KUHP).
Dan melalui pembacaan putusan yang digelar secara terbuka untuk umum, atas kasus a quo pada Selasa (9/5/017) kemarin, oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Ahok divonis dua tahun penjara dus menetapkannya segera ditahan.
Setidaknya dalam putusan di pengadilan tingkat pertama itu, terdapat dua hal permasalahan yang menimbulkan perdebatan alot diantara para pengamat, teoritisi dan dan tak ketinggalan juga oleh para praktisi hukum. Pertama, apakah putusan yang menyatakan terdakawa bersalah oleh majelis hakim pengadilan dapat melebihi tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum? Kedua, apakah terdakwa dapat ditahan sebagaimana yang tercantum dalam amar putusan a quo, padahal dalam proses pemeriksaan sebelumnya oleh kepolisian dan kejaksaan tiada ia pernah ditahan?
Tuntutan = Putusan
Dalam putusan yang menyatakan Ahok terbukti bersalah dalam kasus penghinaan (penodaan) terhadap agama, yaitu berbeda dengan kebiasaan dalam praktik pada umumnya. Dalam surat tuntutan JPU Ahok dinyatakan terbukti bersalah berdasarkan Pasal 156 KUHP saja, dengan permintaan dihukum pidana penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun. Sementara dalam putusan pengadilannya, justru dinyatakan terbukti bersalah berdasarkan Pasal 156 a in concreto penghinaan terhadap agama (bukan penghinaan terhadap golongan) dengan pidana penjara dua tahun.
Jika kembali merujuk dalam KUHAP, sebenarnya satupun tiada ketentuan yang mengikat bagi hakim harus mengikut pada surat tuntutan JPU. Perihal isi surat tuntutan pidana selama ini hanya berkembang dalam praktik yang menyesuaikan dengan isi putusan hakim sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 197 ayat 1 KUHAP. Sehingganya surat tuntutan pidana memuat: identitas terdakwa, dakwaan, uraian tentang alat-alat bukti, argumentasi penuntut umum didasari atas pembuktian yang diajukannya di persidangan sebagai penguat dakwaan, permohonan agar manjelis hakim memutus perkara dengan menyatakan terdakwa bersalah, dijatuhi pidana tertentu dan tindakan-tindakan lainnya.
Dalam KUHAP, hanya pada surat dakwaan yang memungkinkan bagi majelis hakim untuk memerhatikannya. Tidak ada ketentuan yang mempersyaratkan kalau surat tuntutan pidana harus dijadikan dasar dalam bermusyawarah ketika hendak dijatuhkan putusan pemidanaan.
Agar tidak terjadi kekeliruan, penting untuk kembali memerhatikan Pasal 182 ayat 3 dan ayat 4 KUHAP yang menegaskan: “…(3) sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang; (4) Musyawarah tersebut pada ayat 3 harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam persidangan….”
Dengan berpijak pada ketentuan a quo, maka yang dimusyawarakan oleh majelis hakim adalah dakwaaan dan segala sesuatu yang terbukti di persidangan. Bukanlah surat tuntutan pidana penuntut umum yang di dalamnya berisi tuntutan tentang penjatuhan pidana.
In qasu a quo, majelis hakim sudah memperhatikan dakwaan penuntut umum, sebuah dakwaan alternatif (Pasal 156 a KUHP subsidier Pasal 156 KUHP). Dan tampaknya majelis hakim memilih menggunakan Pasal 156 a KUHP dengan menerapkan ancaman pidana penjara dua tahun sebagai ancaman pidana yang memang memberlakukan stelsel pemidanaan “indefinite sentence.”
Keliru, andaikata majelis hakim menjatuhkan pidana bukan berdasarkan pasal yang didakwakan, ataukah kemudian menerapkan ancaman pidana melebihi dari batas yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dalam perkara ini, tidaklah terjadi yang demikian.
Dapat Ditahan
Terakhir, banyak pula yang menyayangkan putusan tersebut oleh karena memerintahkan agar Ahok segera ditahan. Padahal dalam proses pemeriksaan sebelumnya tidak pernah beliau ditahan.
Justru bunyi dari amar putusan itu telah benar secara yuridis. Dasar argumentasinya yaitu: Pertama, bunyi amarnya harus memang demikian, seandainya Ahok sudah ditahan dalam proses pemeriksaan sebelumnya, maka amarnya pasti berbunyi lain, yakni: “menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan.” Kedua, sebuah conditio sine qua non bahwa kalau terdakwa jika terbukti bersalah maka memang seharusnya diikuti dengan “perintah untuk ditahan” atau “tetap dalam tahanan” dalam amar putusan, sebab jika tidak ada amar tersebut memungkinkan putusan menjadi batal demi hukum (Vide: Pasal 197 ayat 2 KUHAP).
Sebagian pihak ada pula yang mempertanyakan amar putusan perihal penahanan Ahok, terutama para penasihat hukumnya, bahwa konon katanya perintah penahanannya tidak memenuhi syarat subjektif Pasal 21 KUHAP. Secara yuridis perintah untuk penahanan terhadap terdakwa oleh majelis hakim memang harus merujuk pula pada Pasal 21 KUHAP (Vide: Pasal 193 ayat 2 huruf a KUHAP “…apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 (KUHAP) terdapat alasan cukup untuk itu….”).
Kalau menggunakan syarat subjektif penahanan (dikhawatirkan akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengulangi tindak pidana) memang masih memungkinkan si terdakwa untuk tidak ditahan. Akan tetapi kalau syarat objektif yang diperhartikan secermat-cermatnya, yaitu terdakwa dapat ditahan karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana lima tahun, maka kita tidak perlu berdebat lagi, dapat atau tidaknya Ahok memulai menjalani masa penahanannya. Bukankah Pasal 156 a KUHP sudah jelas dan secara nyata-nyata sang petindak pidana diancam pidana penjara selama-lamanya lima tahun?