Keadilan dan Penghentian Remisi Koruptor

       

 Negara indonesia pada era reformasi telah membangun suatu komitmen yang tinggi tentang penegakan supremasi hukum di tanah air. Semangat reformasi kemudian bergema dan memberikan angin segar bagi setiap lapisan masyarakat yang tentunya para pencari keadilan. Pemerintah tidak lagi memberikan suatu keistimewaan (previllage) berupa “kekebalan hukum” bagi para kroni-kroninya yang telah melakukan tindak pidana korupsi seperti pada masa orde baru.

            Dibawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah telah mengambil sikap yang keras terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah menjadi penyakit dan menggorogoti setiap sendi dalam masyarakat. Pemberantasan tindak pidana korupsi dinyatakan sebagai suatu tindak pidana atau kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Suatu kejahatan yang sangat luar biasa karena telah merugikan keuangan negara dan tentunya mengakibatkan rakyat Indonesia semakin menderita.

            Pentingnya pemberantasan tindak pidana korupsi di tanah air, kemudian melahirkan suatu lembaga negara yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga negara yang diharapkan dapat bekerjasama dengan lembaga penegak hukum lainnya guna melakukan pemberantasan bagi pelaku korupsi. Diumurnya yang masih muda KPK telah memperlihatkan suatu peningkatan yang luar biasa dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Banyak pelaku tindak pidana korupsi kemudian diadili dan dijebloskan kedalam penjara.

KPK dalam pemberantas tindak pidana korupsi tidaklah tebang pilih. Hal tersebut dapat dilihat dengan menjadikan besan presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai terpidana korupsi dan menjalani hari-harinya di dalam penjara. Bukan itu saja KPK juga menjebloskan terpidana tindak pidana korupsi yang banyak menyita perhatian masyarakat Indonesia diantaranya Terpidana kasus suap cek pelawat Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Paskah Suzetta dari politisi partai golkar dan Saukani mantan gubernur Provinsi Kalimantan Timur.

Baru-baru ini pemerintah Indonesia setelah melakukan perombakan kabinet, presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali menyampaikan dalam pidato kenegaraannya akan pentingnya pemberantasan tindak pidana korupsi. Menteri Hukum dan HAM kemudian menindaklanjuti pidato tersebut dengan melakukan penandatagan penghentian (moratorium) remisi bagi koruptor pada tanggal 19 oktober 2011. Moratorium remisi kasus korupsi kemudian menjadi perbincangan yang hangat di tanah air karena penghentian remisi bagi kasus korupsi telah melanggar hak terpidana.

Kebijakan penghentian (moratorium) remisi kasus korupsi dilakukan untuk memberikan efek jera yang lebih kuat bagi terpidana dan diharapkan sejalan dengan semangat antikorupsi di Indonesia. Pertanyaan kemudian apakah tidak bertentang dengan rasa keadilan?

Dari sudut hukum dan hak asasi manusia, maka setiap manusia memiliki hak yang sama didepan hukum (Pasal 27 ayat 1 UUD 1945) atau biasa dikenal dengan istilah “Equality before the law”. Maka tentunya baik terpidana juga harus diperlakukan sama didepan hukum. Setiap terpidana memiliki hak untuk mendapatkan pengurangan hukuman, sebagai diatur dalam Pasal 14 Undang Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam Pasal 14 huruf (j) menyatakan setiap narapidana memiliki hak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana  (remisi). Pasal 14 UU No.12/1995 kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal 34 UU No.28/2006 ayat 3 menyatakan bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan yakni berkelakuan baik, dan telah menjalani 1/3 (satu pertiga) masa pidana. Sehingga bila dilihat dari konsep keadilan tentunya tidaklah adil apabila pemerintah kemudian melakukan penghentian remisi bagi koruptor.

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...