Nurani Advokat Pejuang PK

arsip negarahukum.com
Darah bersimbah. Benda-benda berantakan. Di lantai, Sulaiman dan Siti Haya terkapar setengah napas. suami-istri itu lunglai di warung kecil yang diampuhnya. Mereka baru saja menjadi korban keganasan perampok sadis. Peristiwa yang memang marak terjadi di tahun-tahun itu. Era-1974.
Kejadian na’as itu ditemukan oleh warga. Kedua korban dibawa ke rumah sakit. Di tengah jalan, Sulaiman yang sekarat, samar-samar membisikkan sebuah nama pada pengantarnya. Suara yang dihimpit maut itu terdengar buram menyebut nama bernada “Sengkon”. Itu kalam terakhirnya, sebelum kematian benar-benar menjemput kedua sejoli itu.
Esoknya, warga kampung Bojongsari, Bekasi, mulai berdesus tentang siapa pembunuh Sulaiman dan Siti Haya. Nama buram yang terbisik di sakaratul maut korban merebak di telinga orang-orang. Sengkon tertuduh sebagai biang kejahatan.
Denging tuduhan penduduk sampai juga di telinga Sengkon. Ia membantah. Bahkan bersumpah jika ia adalah pembunuh Sulaiman dan istrinya maka akan digigit ular. Sialnya, ia benar-benar dipatok ular. Fakta ini, semakin meyakinkan masyarakat kalau Sengkon benar-benar pelaku pembunuhan.
Gempita issue itu mendapat dukungan dari penegak hukum. Suatu malam, warga beserta aparat mengepung rumah Sengkon. Caci-maki menggemuruh. Ia diseret dari rumahnya, dihadapan pasang-mata istrinya.
Malam itu tubuhnya melayang dibopong orang banyak. Ia setengah sadar dibius rasa perih akibat pukulan bertubi-tubi. Ia merasakan Karta juga sudah bersamanya di bak mobil dengan derita yang sama
Di kantor Polisi, Sengkon dan Karta tetap kokoh tak mengakui sebagai dalang pembunuhan Sulaiman dan Istrinya. Penolakan itu membuat lilitan ikat pinggang polisi menjadi cemeti di jasadnya. Berjubel. Hingga akalnya pun ikut menyerah. Mereka mengaku tuduhan yang tak pernah dilakukannya. Tubuhnya sudah tak sanggup menahan pedih. Pengakuan itulah yang mengantarnya ke meja hijau. Di Pengadilan, hakim memuluskan rekayasa penyidik. Sengkon dan Karta dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana Pembunuhan.
Takdir sengkon dan Karta sungguh pedih. Hartanya ludes terjual untuk membiayai proses hukumnya. mereka mendekam dipenjara. Istri Karta bahkan pergi meninggalkannya. Sedangkan Karta sakit-sakitan menderita Penyakit Tubercolosis (TBC) selama menjadi tahanan.
Dalam Penjara, mereka bertemu dengan Genul yang juga keponakan Sengkon. Genul dipenjara karena Kasus Pencurian. Sengkon bercerita pada Genul, kalau mereka (Sengkon dan Karta) dipenjara karena dituduh membunuh Sulaiman dan Sitti Haya. Genul kaget dengan Tuduhan itu. Ia Tahu Sengkon dan Karta bukanlah pelakunya. Genul benar-benar haqqul yakin tidak mungkin mereka adalah Pembunuhnya. Karena pembunuh sebenarnya adalah dirinya (Genul).
Genul bingung, apakah ia akan mengakui bahwa dirinya adalah Pembunuh sebenarnya. Tapi pengakuan itu akan menambah hukumannya. Saat itu saja, ia sedang menjalani hukuman sebagai pencuri yang belum habis masa penjaranya. Jika ia mengaku sebagai pembunuh Sulaiman dan istrinya, tentu hukumannya akan lebih berat.
Di sisi lain, jika Genul tidak mengungkap kebenaran itu, ada dua orang (sengkon dan Karta) yang harus menanggung derita atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Ia kasihan pada sengkon dan karta. Hidupnya penuh nelangsa. Padahal mereka tidak melakukan kejahatan. Dirinyalah sang pembunuh itu.
Ia Mengetuk nuraninya. Tindakan apa yang harus dipilihnya. Hati kemudian menuntunnya untuk mengakui Kejahatannya. Pengakuan itulah yang mengantarkan Genul Kembali diadili. Hakim memvonis dirinya 12 Tahun Penjara karena telah membunuh Sulaiman dan Istrinya.
Lalu bagaimana dengan Sengkon dan Karta? Disinilah masalahnya, Mereka tidak otomatis dibebaskan karena Genul telah divonis. Hukum acara pidana saat itu (Tahun 1974, KUHAP belum ada) tidak memberikan upaya hukum bagi kasus yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT). Putusan Pidana atas Sengkon dan Karta harus dibatalkan karena pelaku sebenarnya telah ditemukan yaitu Genul. Namun tidak ada ruang yang tersedia untuk membatalkan Putusan tersebut.
Ketidakadilan ini mengusik nurani Albert Hasibuan. Advokat Pejuang yang jadi anggota DPR kala itu. Ia mendesak Mahkamah Agung agar membuka ruang Peninjauan Kembali (PK) kasus Sengkon dan Karta. Albert Hasibuan “meyakinkan” MA yang kala itu dipimpin oleh Oemar Seno Adji, bahwa PK bisa jadi solusi bagi Sengkon dan Karta yang sudah menemukan Pelaku sebenarnya. Ada alat bukti baru (Novum) membatalkan Putusan. MA akhirnya membuka pintu PK melalui Surat Keputusan Ketua MA Oemar Seno Adji. Sengkon dan Karta pun dibebaskan.
Peristiwa Miscarriage of Justice inilah yang dikenang sebagai Tonggak Lahirnya PK dalam Perkara Pidana di Indonesia. Upaya Hukum PK kemudian dikukuhkan dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Nurani Penjahat dan Pejuang
Sejarah PK lahir dari Nurani Genul, seorang Pencuri/Pembunuh dan Nurani Albert Hasibuan, Advokat Pejuang HAM. Genul memilih dipenjara 12 tahun. Daripada membiarkan orang yang tidak bersalah menderita. Padahal ia bisa memilih diam saja dan masa bodoh, menunggu bebas dari penjara. Posisinya serupa lilin, terbakar tapi menerangi orang lain.
Genul menegakkan Kebenaran dengan caranya sendiri. Itu setelah Polisi, Jaksa dan Hakim tidak mampu mengungkap kebenaran. Genul tidak pernah mendapat pelatihan reserse seperti polisi. Juga tidak punya ilmu hukum seperti jaksa dan hakim. Genul hanyalah seorang Kriminal. Seorang Pembunuh dan Pencuri. Tapi apa lacur, dari dirinyalah sinar Kebenaran itu terpancar, kebenaran Yang sempat redup di tangan Penegak Hukum. Asas “lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah” justru ditegakkan oleh seorang narapidana bernama Genul.
Dari Nurani Genul, Albert hasibuan meneruskan perjuangan. Pengetahuan HAMnya menjadi senjata melumpuhkan Kejumudan Positifistik. Baginya, Keadilan tidak boleh diabaikan karena Norma hukum tidak mengaturnya. Albert Hasibuan membuat pintu sendiri, untuk kasus BHT (Incracht) yang menemukan bukti baru (Novum). Pintu itu bernama PK, upaya terakhir mengungkapkan kebenaran.
Pengakuan Genul dan Perjuangan Albert Hasibuan terlihat tidak bisa mengembalikan apa-apa. Toh Sengkon dan Karta tetaplah menderita pasca keluar dari Penjara. Karta meninggal karena Kecelakaan dan Sengkon pun menyusul diantar penyakit TBC yang semakin menggerogotinya sejak jadi tahanan. “Kepergian” keduanya tak lama berselang setelah menghirup udara bebas.
Namun saat ini, jasa mereka sudah banyak dirasakan Pencari Keadilan. Pintu Hukum PK yang telah dirintis dengan Nurani, kini telah dilewati oleh Jutaan Orang yang mendambakan Kebenaran.
Perjuangan mereka menunjukkan bahwa dalam setiap patahan sejarah, selalu ada pengorbanan, Nurani dan keberanian. Sejarah akan selalu menghidupkan Sengkon, Karta, Genul dan Albert Hasibuan. Walau saat ini mereka telah berpulang dalam Keabadiannya. Selamat Jalan Para Pejuang!
Oleh:
Muh. Nursal NS
Advokat/Praktisi Hukum