Tambang Pohuwato dan Undang-Undang Pertambangan Pro Investor
Gorontalo dan tambang emas bagai dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan. Masyarakat gorontalo tidak terlepas dari aktivitas penambangan. Beberapa daerah kabupaten di provinsi yang masih berumur 11 tahun ini, tersebar banyak daerah penambangan rakyat. Salah satu daerah tambang yang masih marak aktivitas penambang rakyatnya, terdapat di daerah Kabupaten Pohuwato.
Janji Pemda Buat Penambang Rakyat
Masih hagat diingatan kita, anarkisme demonstran berujung pada pengrusakan kantor DPRD Panua pada akhir tahun 2011. Aspirasi yang dibawa para demonstran menuntut penolakan terhadap masuknya investor yang berdampak kepada penurunan mata pencahariannya. Penolakan tersebut karena mereka (baca: Penambang rakyat) dianggap sebagai penambang yang ilegal. Padahal penambang rakyat maupun perusahan memiliki hak untuk mengelola wilayah tambang mineral dan batubara. Jaminan hukum bagi pelaku penambangan yang berhak mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pemerintah Daerah Pohuwato sangatlah tanggap terhadap permasalah yang terjadi. Bupati Syarif Mbuinga dalam rapat Musyawarah Pimpinan Daerah (28/12/2011), berjanji mencari jalan tengah dalam menyelesaikan permasalah yang terkait pertambangan. Pemerintah Daerah mengakomodir seluruh kepentingan rakyat khususnya penambang rakyat dan investor yang telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan.
Kesulitan Pemda dan Kritik Terhadap UU Pertambangan
Awal tahun 2012 pemerintah daerah dan anggota DPRD Kabupaten Pohuwato langsung melakukan beberapa langkah strategis dalam menyelesaikan permasalahan pertambangan. Langkah tersebut diambil karena banyaknya kasus-kasus pertambangan yang berujung kepada tindak kekerasan. Serta mewujudkan janji pemerintah daerah kepada masyarakat Bumi Panua. Adapun realisasi janji pemerintah pohuwato: pertama, melakukan pertemuan dengan masyarakat yang “murni” penambang rakyat di Aula Kantor Bupati Pohuwato. Pertemuan tersebut dilakukan karena adanya kabar angin soal penurunan penambang rakyat dari lokasi penambangan. Sekali lagi dalam pertemuan tersebut pemerintah daerah menegaskan bahwa penambang rakyat tidak akan diturunkan dari lokasi penambangan. Kedua, kunjungan gabungan Komisi DPRD Pohuwato di kantor Direktorat Jenderal Plonologi Kehutanan.
Kunjungan para anggota DPRD Pohuwato dengan pihak Kementerian Kehutanan yakni untuk mempertanyakan persoalan izin penggunaan kawasan hutan. Hal tersebut karena Kementerian Kehutanan adalah lembaga yang berwenang dalam hal mengeluarkan izin penggunaan kawasan.
Upaya-upaya yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Pohuwato haruslah diapresiasi dan diacungi jempol. Akam tetapi, pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam hal mencari solusi permasalahan ini. Pemerintah daerah Pohuwato berada salam situasi serba sulit. Di satu sisi tetap mempertahankan penambang rakyat karena merupakan mata pencaharian masyarakatnya, disisi lain lokasi tambang tersebut telah dikuasai Investor dengan keluarnya Izin Usaha Pertambangan.
Kesulitan pemerintah daerah nampaknya juga terbentur dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 yang melarang aktivitas penambangan tanpa memiliki Izin Usaha Pertambangan, Izin Pertambangan Rakyat dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (Pasal 35 UU No.4 Tahun 2009). Walaupun penambang rakyat telah berpuluh-puluh tahun melakukan aktivitas penambangan, meraka tetap dianggap sebagai penambang illegal. Sedangkan pihak investor telah melakukan ekplorasi di lokasi tambang dengan menguasai luas wilayah paling sedikit 5.000 hektare dan paling banyak 100.000 hektare (Vide: Pasal 52 UU No.4 Tahun 2009). Desakan dari elemen masyarakat agar pemerintah daerah mencabut izin para investor yang telah melakukan eksplorasi di gunung pani (baca: lokasi tambang) terus berdatangan. Pemerintah Daerah tentunya mengetahui bahwa dalam hal mencabut Izin Usaha Pertambangan para investor tidaklah mudah. Pencabutan Izin Usaha Pertambangan dapat dilakukan Bupati apabila pemegang Izin Usaha Pertambangan tidak memenuhi kewajibannya, melakukan tindak pidana dalam bidang pertambangan, dan mengalami pailit (vide: Pasal 119 UU No.4 Tahun 2009).
Selain dari sulitnya pencabutan Izin Usaha Pertambangan yang sudah terlancur terbit, undang-undang ini juga hanya memungkinkan penambang rakyat untuk mengurus Izin Pertambangan Rakyat. Dimana terjadi perbedaan yang sangat signifikan dalam hal wilayah yang bisa dikelolah dalam pertambangan. Luas wilayah pertambangan bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan untuk Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi diberi Wilayah Izin Usaha Pertambangan paling sedikit 5.000 hektare dan paling banyak 100.000 hektare. Sedangkan pemegang Izin Usaha Pertambangan operasi produksi diberi wilayah dengan luas paling banyak 25.000 hektare. Dibandingkan dengan pemegang Izin Pertambangan Rakyat hanya diberikan maksimal 10 hektare untuk dikelolah dan dilaksanakan dalam Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dengan luas 25 hektare.
Sekiranya pemerintah melakukan revisi terhadap UU No.4 Tahun 2009 karena tidak melindungi penambang rakyat dan hanya pro terhadap pemilik modal. Bukankah bumi, air dan kekayaan alam yang terkadung dalam wilayah Indonesia dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.