PKS Ditendang Golkar Disayang
GARA-GARA PKS berseberangan dengan Setgab pemerintah. Menolak keputusan Penaikan BBM hasil sidang paripurna (17/6) kemarin. Akhirnya PKS dituding otomatis telah keluar dari Code of Conduct setgab. Impasnya mau tidak mau PKS juga sudah mesti menarik tiga menteri yang telah diwakafkannya untuk KIB Jilid II selama ini.
Namun apa lacur yang terjadi, tidak ada tanda-tanda legowo menarik perwakilan menterinya. Dan mendeklarasikan diri kalau dirinya sudah “get out” dari setgab partai pendukung pemerintah. Para elit PKS berkilah, persoalan urusan kementerian tidak ada sangkut pautnya dengan partai politik, karena pengangkatan dan pemberhentian menteri merupakan hak prerogatif Presiden yang telah diamanantkan dalam konstitusi. Presidenlah yang berhak mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya.
Legislative Heavy
Seotonom apapun legalitas yang diberikan Presiden oleh konstituti. Fakta yang membuktikan di lapangan pemerintahan. Malah SBY tidak yakin dengan hak-hak terbaru yang telah diberikan oleh konstitusi. Presiden masih bergantung pada kekuatan partai yang berada di parlemen. Apalagi kekuasaan lembaga Negara sekarang memang semakin bergeser ke lembaga legislatif, dari executive heavy bergeser ke legislative heavy. Atas kondisi tersebutlah sehingga mau tidak mau Presiden harus membangun kembali kekuatannya, meski sudah terpiih secara sah melalui pemilihan umum.
Ironisnya, SBY dengan kemenangan jatah diatas 60 persen pada pemilihan umum 2009 kemarin. SBY belum percaya diri juga dengan jumlah elit pendukunganya di parlemen. Padahal kalau mau ditilik pada keseimbangan kombinasi presiden dengan parlemen. Suara sebanyak itu sudah cukup bagi SBY untuk menguatkan pemerintahannya. Tanpa lagi “dihantui” impeachment. Termasuk kalau mau ditelaah habis syarat-syarat impeachment tersebut, hasil amendemen keempat UUD NRI 1945 Presiden tetap sulit untuk diberhentikan di tengah jalan.
Pada akhirnya pilihan kabinet SBY “tersandera” oleh apa yang dinamakan kabinet bifurkrasi. Kabinet bifurkrasi adalah kabinet yang ditopang oleh dua kaki, yaitu satu kaki teknokrat dan satu kaki politik.
Atas gejala tersebut, fenomena penentuan atau bagi-bagi “kue” kekuasaan di ranah kementerian menjadi “lahan basah” bagi semua partai politik, yang duduk dalam barisan setgab. Kita tidak perlu kaget, kalau semua partai pendukung dalam kamar setgab mendapat jatah kementerian.
Koalisi Rapuh
Sebuah problem politik turunan menarik kita simak, bahwa sedari awal sistem pemerintahan presidensialisme dengan multipartai ekstrem memang tidak dapat dikombainkan dlam satu padu, sebagaimana peringatan Scott Mainwaring. Ini pula yang terjadi dalam sistem pemerintahan SBY, tidak jelas arahnya hendak mau kemana. Mau melaksanakan visi dan misi ideologi partai yang menobatkannya jadi pemenang atau mengikuti semua kehendak partai yang bergabung dalam koalisi setgab. Yang terjadi dari koalisi setgab bukan menguatkan pemerintahan, malah membuat pemerintahan SBY menjadi rapuh. Karena ketidakmampuannya juga mendisiplinkan barisan setgabnya.
Inilah yang melanda salah satu kawan koalisi setgab pemerintahan, PKS sengaja memainkan posisinya yang terbilang cukup besar kursinya (57 kursi) setelah Golkar, PKS bermanuver dan berakrobat menentang kebijakan pemerintah. Menurut catatan penulis, terhitung sudah empat kali PKS “membangkang” selama pemerintahan SBY di era jilid II ini. Pertama, pada tahun 2010, saat Kasus Bank Century mencuat ke publik dan diputuskan melalui paripurna DPR. Saat itu belum ada Setgab, dan pembelotan bukan hanya dilakukan oleh PKS, namun juga Golkar dan PPP. Kedua, tahun 2011 PKS, kembali berseberangan soal kasus Mafia Pajak. Ketiga, tahun 2012 juga kembali berseberangan dengan menolak kenaikan BBM dan keempat, kembali terulang di tahun 2013.
PKS Ditendang
Pasca pembangkangan PKS yang mana klimaksnya berakhir pada sidang paripurna kemarin. Dengan menolak keputusan mengurangi subsidi BBM atas pembahasan APBN-P 2013. Menunjukan partai dakwah yang berlambang bulan sabit kembar emas itu. Sepertinya, umur PKS tidak lama lagi di Setgab, karena Code of Conduct secara nyata telah dilanggar. Tapi tunggu dulu, PKS tidak mau gentelman keluar dari setgab. Apalagi menarik tiga menteri yang telah lama menjadi pembantu presiden. PKS seolah-olah ingin dikeluarkan SBY sebagai “jarum penentu” nasibnya. Dibenak para elit PKS mungkin penendangan tersebut dapat dikapitalisasi, sehingga PKS seolah-olah terzalimi. Bukankah PKS sudah punya modal awal, memihak rakyat, karena menolak keputusan kenaikan BBM, tinggal tunggu momentum yang kedua kalinya. PKS dimungkinkan elektabilitasnya menyalib Partai Demokrat.
Di sisi lain, SBYpun terkesan ragu-ragu, hati-hati, belum berani mengambil keputusan untuk menendang PKS dari kamar setgab. Kini PKS dan Setgab ibarat tontonan “tarik tambang” namun tidak ada yang kalah. Tali tambang bukti kemenangan sekalipun tidak pernah bergeser ke arah setgab atau ke arah PKS. Dalam ilustrasi yang lain, talak diantara mereka sudah jatuh berkali-kali, bahkan secara telanjang percekcokan itu terjadi di teras rumah mereka. Namun mereka pada saling menunggu surat cerai resmi.
Sebenarnya, kalau SBY mau menunjukan ketegasannya, talak tersebut sudah jatuh sekarang juga. SBY tidak perlu ragu “menendang” PKS keluar rumah. Bukankah amanat tersebut sudah ditegaskan dalam Code of Conduct ”Apabila pada akhirnya tidak ditemukan solusi yang disepakati bersama, maka parpol yang bersangkutan mengundurkan diri dari koalisi partai dan selanjutnya menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden untuk mengambil keputusan menyangkut keberadaan perwakilan partai yang berada dalam kabinet.”
Golkar Disayang
Konsekuensi selanjutnya jika PKS benar-benar ditendang, keuntungan ada di pihak Partai Golkar dengan suara 106 kursi di parlemen. Apalagi Partai Golkar berbeda sikap dibandingkan dengan PKS. Partai Golkar sepakat dengan kebijakan pemerintah untuk menerima keputusan kenaikan BBM.
Untuk mengawal pemerintahan SBY yang dalam hitungan bulan lagi, agar tetap kuat. Turbulensi yang akan terjadi, setgab di bawah komando Partai Demokrat (PD) harus merawat baik-baik Partai Golkar. Agar partai beringin ini tidak bermanuver dan menyebabkan kekuatan pemerintah “lemah” di hadapan parlemen.
Tinggal waktu saja yang ditunggu oleh PKS kemudian akan berakhir hidupnya di setgab. Hitungan matematika politik turbulensinya akan mengarah ke Partai Golkar yang akan menjadi partai yang paling disayang.
Bukti kasih sayang PD dibawah komando SBY, Golkar akan diganjar hadiah penalty. SBY tidak mungkin “bunuh diri”, kementerian yang ditinggalkan PKS sudah pasti akan diisi oleh perwakilan Golkar. Mustahil kementerian yang ditinggal oleh PKS tersebut, diisi oleh anak buah SBY dari PD. Oleh karena perwakilan menteri atas PD sudah habis terbagi, SBY sudah pasti memperhitungkan secara “matang” penilaian publik siapa yang layak duduk di kementeriannya. Mari kita tunggu.(*)