Asrun Tersangka, (Tidak) Ikut Debat Publik di Pilkada

Sumber Gambar: Liputan6.com

Dari banyaknya pamflet yang menghinggap di dinding-dinding media cetak hingga di media sosial, rasa-rasanya publik akan dipuaskan melalui debat publik Pilgub Sultra 2018. Suatu Pilgub bertensi tinggi, dipastikan akan terhelat pada 5 April 2018. Tak tanggung-tanggung, rencananya akan disiarkan melalui media nasional sekaliber Metro TV, serta dipandu oleh host manis terkenal, Aviani Malik.

Di balik itu, tentunya terbayang seberapa besar uang rakyat yang tergelontor demi menghelat debat publik. Dan tentu, semuanya bertujuan memenuhi hak pemilih, yakni bagaimana mengenal pasangan calon yang akan dipilih nanti.

Kontestasi Pilgub Sultra memunculkan tiga paslon, yakni nomor urut satu, Ali Mazi-Lukman (Aman); nomor urut dua, Asrun-Hugua (Berkah); dan nomor urut tiga, Rusda Mahmud-LM Syafei Kahar.

Dalam faktanya, posisi Berkah sungguh tidak diuntungkan, mengingat Calon Gubernur Asrun berada dalam status tersangka tindak pidana korupsi oleh komisi anti rasuah. Dapat dipastikan, Asrun tidak mengikuti debat publik yang akan diselenggarakan oleh KPU Provinsi Sultra.

Berdasarkan tahapan pemilihan, momentum Pilgub tak terasa memasuki sesi debat publik. Oleh karena itu menjadi penting kemudian untuk mengemukakan “isu hukum”  yang terjadi di balik gegap gempita penyelenggaraannya..

Problem dan Tafsiran PKPU

Ketidakhadiran Asrun sebagai salah satu calon Gubernur berimplikasi pada beberapa problematika hukum. Dengan dasar argumentasi pada sisi kepastian norma hukum yang termaktub dalam PKPU Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan .

Merujuk pada ketentuan Pasal 22 PKPU a quo, ditegaskan bahwa dalam hal paslon terbukti secara sah menolak mengikuti debat publik, akan diberikan sanksi berupa diumumkan bahwa Paslon tersebut menolak mengikuti kegiatan debat publik dan tidak ditayangkannya sisa iklan pasangan calon tersebut terhitung sejak paslon bersangkutan tidak mengikuti kegiatan debat. Ada suatu pengecualian dari ketentuan tersebut, bahwa berdasarkan alasan yang sah, yakni sedang melaksanakan ibadah atau karena alasan kesehatan.

Dari ketentuan di atas, frasa “secara sah menolak” tentu akan menimbulkan polemik dan dapat ditafsir beragam, namun jika merujuk pada limitasi Pasal 22 ayat 2 PKPU Nomor 4 Tahun 2017, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud alasan sah untuk tidak mengikuti debat publik hanya dimungkinkan dengan alasan sah, yakni alasan melaksanakan ibadah atau alasan kesehatan. Tidak ada ketentuan lain yang memungkinkan dapat dibenarkannya alasan lain.

Jika merujuk lagi pada ketentuan tersebut, berkaitan dengan penahanan yang dialami oleh Asrun kalau didalilkan untuk tidak menghadiri debat publik, maka alasan tersebut tidak sah. Sebab tidak ada satu ketentuan yang membenarkannya untuk tidak hadir dalam debat publik karena sedang menjalani masa penahanan.

Konsekuensi atas ketidakhadiran Asrun dalam debat publik akan berimpilkasi pada tafsir-menafsir oleh KPU. Sangat memungkinkan oleh KPU, hanya akan menghadirkan Hugua sebagai representasi paslon Berkah, meski minus Asrun. Hugua akan mengikuti Debat Publik.

Dalam konteks demikian, akan jelas terlihat kekeliruannya, sebab yang mengikuti debat public, harus pasangan calon (Vide:  Pasal 22 PKPU Nomor 4 Tahun 2017).

Dalam hal ini Hugua adalah Calon Wakil Gubernur, bukan pasangan calon. Kepastian ini merujuk pada defenisi pasangan calon berdasar Pasal 1 poin 13, yakni pasangan calon adalah bakal pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota yang telah memenuhi syarat dan ditetapkan sebagai peserta pemilihan. Kedudukan Hugua bukanlah Pasangan. Tafsir pasangan calon harus termaknai secara jamak, bukan tunggal.

Campur Tangan KPK

Perihal kasus yang menimpa paslon Berkah-Asrun, KPK mestinya menghormati esensi dari Pilkada dalam diskursus kepemiluan. Bahwa ada dua hak yang sangat esensial untuk dilindungi, yakni right to be vote dan right to be candidate.  KPK masih memungkinkan untuk bertindak memperlakukan semua paslon terpilih yang sedang ditahan dengan cara dikeluarkan untuk mengikuti pelantikan. Paslon yang akan mengikuti debat publik yang notabene sifatnya adalah kewajiban bagi paslon turut merupakan hak bagi publik – sebagai penderivasian a right to be vote.

Beberapa pertimbangan tersebut selayaknya dimaknai oleh KPK untuk bisa bertindak, mengeluarkan Asrun dari penahanan meski hanya saat debat publik saja. Penyelenggaraan debat publik, diketahui bersumber dari uang negara untuk kepentingan publik. Terlebih Asrun sebagai tersangka belum tentu terbukti melakukan tindak pidana yang disangka/didakwa kepadanya. Asrun dapat saja dikeluarkan dari “penahanan” saat debat publik dengan memperhatikan syarat dan prosedur penangguhan penahanan (Pasal 21 ayat 1 & Pasal 31 KUHAP).

Dalam momentum seperti ini, moral penyelenggara negara dipertaruhkan. Sebagai pelayanan publik, termasuk memastikan pelaksanaan pemilihan berjalan secara demokratis.

Solusi

Atas problematika di atas, sudah selayaknya melahirkan solusi hukum yang benar-benar win-win solution. Pihak Asrun, KPU dan KPK dapat bertindak cermat untuk menghasilkan debat publik yang lebih berkualitas. Dalam hal ini pihak Asrun, dalam rangka memenuhi kewajibannya untuk mengikuti debat publik selayaknya mengajukan penangguhan penahanan, sebagaimana mekanismenya diatur dalam Pasal 31 KUHAP. Kemudian KPK sebagai yang berwenang, hendaknya memaknai debat publik sebagai tahapan Pilkada yang urgen, dimana hak publik untuk mengenal paslon dalam perhelatan itu, perdefenisi right to be vote.

Di sisi yang lain, dan tak kalah pentingnya, KPU Provinsi Sultra sudah selayaknya berkonsultasi pada KPU RI atas problem yang terjadi. Sebab yang demikian, menyangkut  kepastian hukum Pilkada.

Dari metode penafsiran hukum, ada solusi yang dapat dicapai berkaitan dengan problem di atas. Konstruksi alasan yang sah dalam Pasal 22 ayat (2) poin a dan b PKPU Nomor 4 Tahun 2017 dapat diperluas dengan tafsir progresif-ekstensif. Sebagaimana legal reasoning memiliki ragam metode, maka tafsir Pasal 22 ayat (2) dapat menggunakan penafsiran ekstensif. Tafsir ini dapat dilakukan tentu setelah norma tersebut diidentifikasi.

Jika melihat konstruksi Pasal 22 ayat (2) yakni poin (a) –adalah alasan melaksanakan ibadah, yang merupakan sifat hak yang tidak dapat diganggu-gugat, sebagaimana hak yang sifatnya asasi. Secara teleolgis, norma ini ada untuk melindungi hak asasi dari calon agar tidak dilanggar dengan adanya helatan debat publik. Kemudian di poin (b) alasan kesehatan, yang mana sifatnya adalah membenarkan hal ini dilanggar jika dalam keadaan diluar kuasa calon. Norma ini ada agar ada sisi kepastian hukum dalam menjamin hal-hal yang terjadi diluar kuasa Paslon.

Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pengecualian syarat sah dalam konstruksi Pasal 22 di atas terjadi dalam rangka melindungi hak asasi calon dan juga memastikan adanya kepastian hukum terhadap hal yang di luar kuasa calon.

In qasu a quo, sudah merupakan keadaan di luar kehendak calon, seperti halnya sifat norma Pasal 22 ayat (2) poin b yakni alasan kesehatan. Secara ekstensif, bahwa sifat keadaan di luar kuasa calon berlaku untuk kondisinya saat ini, yakni ditahan. Tentu tafsir ini adalah langkah progresif-ekstensif yang bisa menjadi solusi hukum.

Pada akhirnya, kita berharap bahwa debat publik menjadi penting, Tidap dibenarkan mengeleminasi kepastian hukum regulasi Pilkada. Perlu langkah-langkah cermat, agar segala tahapan Pilkada lebih berkualitas, demi membangun demokrasi  elektoral yang fair dan berkeadilan.*

Oleh: Marco Adhitya

Pemerhati Hukum

You may also like...