Reformasi : Antara Keinginan Dan Kebutuhan Demokrasi

Kekuasaan Soeharto dengan Rezim Orde Baru yang dipelihara selama 32 tahun diruntuhkan oleh gerakan mahasiswa pada tahun 1998, legitimasi ekonomi yang dipakai sebagai pengaman kekuasaannya tidak mampu menjadi “penjaga” kekuasaan otoriter Pak Harto karena sejak tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi. Krisis ekonomi dan moneter yang dialami Indonesia jauh lebih parah dibandingkan dengan negara-negara lain yang mengalami hal yang sama, Indonesia memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan negara-negara lain dalam kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, seperti, Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia untuk keluar dari krisis.[1]

John Mcbeth[2] mengatakan bahwa kehancuran di bidang ekonomi, yang selama ini menjadi ladasan legitimasi pemerintahan Soeharto, tidak akan pernah ada kesempatan untuk perubahan politik. Menurut Mcbeth, jika keadaan ekonomi dan masalah yang ditinggalkan pemerintahan Soeharto tidak sedemikian menjadi faktor yang mendatangkan ketidakstabilan, masa itu akan menjadi periode yang sangat menggairahkan bagi Indonesia sejak kemerdekaannya.

Pada saat kondisi Indonesia dalam keterpurukan dimana mengalami krisis politik dan ekonomi seperti itu, maka pilihan yang tepat pada saat itu mungkin adalah reformasi. Reformasi itu sendiri sampai saat ini masih menjadi pokok pembicaraan dimana-mana, isi pembicaraan tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan mendasar soal reformasi itu sendiri. Apakah reformasi adalah keinginan politik atau kebutuhan politik untuk merubah sistem politik di Indonesia pasca Orde Baru ? pertanyaan ini tentu memerlukan jawaban yang tidak mudah, sebab, seandainya reformasi yang terjadi pada tahun 1998 dengan berhasil menjatuhkan Soeharto dari kekuasaanya adalah suatu keinginan politik, berarti ada kepentingan politik yang menyertai gerakan reformasi pada waktu itu, namun apabila gerakan itu adalah suatu kebutuhan politik, maka menjadi tanggung jawab bangsa Indonesia untuk mereformasi sistem politik tersebut sampai ke budaya politiknya sehingga amanat reformasi yakni demokrasi dapat berjalan sesuai maknanya.

Penulis berpendapat kejadian reformasi tahun 1998 adalah bentuk keinginan politik dari elit-elit politik yang memang sengaja ingin menjatuhkan Soeharto tanpa ada Plattform atau pondasi yang kuat mengenai reformasi. Akibatnya sampai saat ini masih nampak jelas sistem dan budaya politik “semi” otoriter. Keinginan politik yang menjadi pilihan reformasi tidak menyentuh pada persoalan mendasar, yakni bagaimana menanamkan nilai-nilai demokratis pada bangsa ini, kemudian melakukan restrukturisasi orientasi politik sehingga dapat menjauhi praktek-praktek dan percobaan penerapan sistem otoritarian. Keinginan politik seperti ini hanya akan berorientasi pada kekuasaan, elit-elit politik yang mempunyai pengaruh hanya ini menyalurkan hasratnya pada kekuasaan, sehingga langkah-langkah dan perilaku politik mereka hanya memikirkan bagaimana mendapatkan kekusaan dan bagaimana kekuasaan yang diperoleh itu dapat dipertahankan, akibatnya, proses perbaikan negara ini mengalami “stagnan”. Perjalanan panjang Indonesia sebagai sebuah negara dan segudang pengalaman tidak cukup menjadikan negara ini sebagai negara yang modern.  Hanya dalam masa tak sampai enam puluh tahun, kita telah mengalami hampir semua pengalaman dan tahapan yang dibutuhkan oleh sebuah negara-negara modern yang sudah mapan. Perang saudara, separatisme, kudeta baik yang berhasil maupun lebih banyak lagi yang gagal, invasi, separasi, otoritarianisme, teror baik oleh negara maupun oleh masyarakat, transisi ke arah demokrasi tidak ada satu yang kita lewatkan. Seiring berjalan bersamaan dengan pengalaman tersebut tidak bisa dijadikan guru yang baik buat bangsa ini. [3]

Kekuasaan yang selama ini diperebutkan dengan cara-cara “menipu” rakyat adalah bentuk kekerasan yang dilakukan oleh elit politik. Kepentingan politik lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat, yang akhirnya sejak reformasi bergulir persoalan-persoalan bangsa ini tidak bisa diselesaikan, pergantian kepemimpinan dalam pemerintahan mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga kini Susilo Bambang Yudhoyono tidak mampu mengurangi angka kemiskinan yang signifikan. Pengangguran semakin bertambah, kejahatan-kejahatan sosial semakin meningkat, pemanfaatan sumber daya alam dibiarkan “dirampok” oleh negara lain, serta yang persoalan yang telah mendarah daging yakni korupsi tidak menjadi fokus utama pemerintahan dari masa ke masa.

Kekuasaan politik dan kekerasan politik bagaikan sebuah mata uang yang tidak bisa dipisahkan, dimana ada kekuasaan politik pasti melekat kekerasan politik. Perwujudan relasi kekuasaan dan kekerasan pada era sekarang tidak lagi tampil dalam ruang konkrit yang melibatkan aktivitas fiskal. Keduanya beroperasi dalam sebuah ruang representasi yang menjadikan sumber daya simbol sebagai kekuatan abstrak untuk menciptakan kebenaran. Melalui representasi, sebuah realitas yang sebelumnya tidak dapat dihadirkan bisa direpresentasikan kembali melalui mobilisasi sistem simbol, entah itu bahasa, wacana, gambar, dan semacamnya.[4]

Reformasi saat ini telah gagal mewujudkan ekspektasi rakyat, keinginan politik adalah penyebabnya. Kegagalan saat ini dapat dilihat dari semakin bertambahnya kasus-kasus korupsi di Indonesia, pelemahan-pelemahan lembaga penegak hukum, jual-beli kasus hukum, serta melindungi para koruptor-koruptor kelas wahid. Warisan rezim Orde Baru belum sepenuhnya bisa lepas dari ruang lingkup pemerintahan, terlalu kuat pengaruh kekuasaan atas kehidupan politik masa kini, dengan kekuasaan semua kesalahan bisa dibenarkan dan yang benar bisa disalahkan. Ini adalah bentuk kejahatan dan telah mencederai amanat reformasi. Jika mengingat salah satu hal penting yang menjadi tuntutan mahasiswa dalam gerakan reformasi adalah pengusutan dan pemberantasan segala bentuk perilaku KKN, maka tidak berlebihan jika pengulangan perbuatan KKN tersebut sama halnya dengan mengkhianati cita-cita reformasi itu sendiri. Sebagai sebuah rezim yang menjadi antitesis rezim sebelumnya, autentisitas untuk secara eksplisit berbeda dengan rezim sebelumnya adalah sebuah keniscayaan yang harus melekat pada rezim sekarang.[5] Kasus-kasus Korupsi yang melanda negara Indonesia bagaikan sebuah sinetron, kasus korupsi diberbagai lembaga pemerintahan tumpang tindih, dan dengan pahitnya rakyat menyaksikan para koruptor itu merampok uang mereka yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat itu sendiri.

Keinginan untuk mereformasi sistem politik di Indonesia mengalami banyak tantangan yang justru datang dari para elit politik, keinginan politik pada awalnya tidak mempunyai kesadaran akan kebutuhan perubahan bangsa ini, keinginan politik adalah pintu masuk bagi kepentingan-kepentingan politik kelompok dan golongan. Seandainya gerakan reformasi didasari pada kebutuhan akan pentingnya mereformasi bangsa ini, mendemokratiskan seluruh elemen bangsa, maka tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk menikmati hasil perjuangan yang melatarbelakangi gerakan reformasi.

Reformasi sekarang adalah milik para pemegang modal yang anti rakyat, reformasi yang didalamnya mengandung unsur-unsur kerakyatan kini diduduki oleh para kaum kapitalis yang lapar akan kekuasaan untuk menimbun harta rakyat. Kita perlu untuk merubah paradigma supaya mempunyai kekuatan kolektif yang menjadi ideologi untuk tetap mengawasi perjalanan demokrasi. Tanpa pengawalan masyarakat demokrasi hanya akan menjadi wacana elit untuk merebut kekuasaan. Kegagalan reformasi saat ini disebabkan oleh tiga hal, pertama, elit politik tidak mempunyai keinginan untuk menata negara ini, serta tidak mengedepankan aspirasi rakyat, kedua, lemahnya kontrol dari rakyat atas keberlangsungan demokrasi, ketiga adalah memudarnya peran intelektual muda dalam menjalankan gerakan-gerakan sosial seperti apa yang telah mereka lakukan pada tahun 1998.


[1] Budi Winarno. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Media Pressindo. Yogyakarta. 2007. Hal. viii

[2] Lihat John Mcbeth dalam Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, Media Pressindo, Yogyakarta, 2007, Hal, viii

[3] Abdul Gaffar Karim. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2006. Hal. xv

[4] Fauzi Fashri. Penyingkapan Kuasa Simbol. Juxtapose. Yogyakarta. 2007. Hal. 7

[5] Munafrizal Manan. Pentas Politik Indonesia Pasca Orde Baru. Ire Press. Yogyakarta. 2005. Hal. 21

Novalliansyah Abdussamad, S.IP.

DOSEN FISIP UNISAN GORONTALO

You may also like...