Di Balik Sengketa Pilwali Makassar

Sumber Gambar: sulselsatu.com

Gugatan Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar (PTTUN Makassar) dikabulkan secara keseluruhan. Pada intinya putusan tersebut memerintahkan agar penetapan pasangan Mohammad Ramdhan “Danny” Pomanto dan Indira Mulyasari (DIAmi) sebagai calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar dibatalkan.

Dan pasca putusan itu, banyak pendapat yang berbeda dari para ahli hukum sebagaimana diberitakan di laman utama Tribun Timur (21/3/018). Perbedaan-perbedaannya dapat diringkas dalam beberapa masalah: Pertama, berapa hari batas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) bagi tergugat cq KPU Kota Makassar sebagai pihak yang kalah?; Kedua, apakah dimungkinkan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) atas perkara a quo?; Dan Ketiga, apakah pihak DIAmi dapat mengajukan kasasi, kalau sedianya KPU Kota Makassar tidak mau menggunakan upaya hukum tersebut?

Ketentuan Khusus

Perihal batas mengajukan kasasi; dan ada atau tidaknya upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) sangat jelas diatur dalam UU Pemilihan. Batas mengajukan kasasi yaitu 5 hari kerja terhitung sejak diterbitkannya putusan PTTUN (Vide: Pasal 154 ayat 8 UU Pemilihan). Sedangkan mengenai upaya hukum PK tentang penyelesaian sengketa TUN Pemilihan tidak dikenal dalam UU Pemilihan.

Sangat terang dan cukup jelas ditegaskan dalam Pasal 154 ayat 10 UU a quo bahwa suatu sengketa TUN Pemilihan setelah diperiksa oleh MA, sudah bersifat final dan mengikat serta tidak dapat diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).

Ketentuan-ketentuan tersebut memang agak berbeda dengan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PERATUN). Hal mana dalam UU PERATUN batas mengajukan kasasi dalam waktu 14 hari, dan dikenal pula upaya hukum Peninjauan Kembali dengan syarat dan mekanisme yang telah ditentukannya. Hanya saja, karena UU Pemilihan telah mengatur secara khusus mengenai batas pengajuan kasasi dan peniadaan upaya hukum PK, maka ketentuan dalam UU PERATUN itu, tidak berlaku untuk sengketa TUN Pemilihan.

Persoalan yang paling mendasar dalam kasus ini sebenarnya, adalah bagaimana jika KPU Kota Makassar tidak mengajukan kasasi ke MA, sehingga dapat menimbulkan akibat hukum pasangan DIAmi dibatalkan statusnya sebagai peserta Pilwakot Makassar? Apakah pasangan DIAmi masih bisa mengajukan upaya hukum jika kelak KPU kota Makassar membatalkan pencalonannya, sebagai tindak lanjut dari putusan PTTUN Makassar?

Jawabannya, sangat tidak memungkinkan. Hal itu disebabkan keputusan KPU tersebut merupakan keputusan yang dikecualikan sebagai objek keputusan yang tidak dapat digugat. Suatu KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan “badan peradilan” berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bukan merupakan objek KTUN yang dapat disengketakan di Peradilan Tata Usaha Negara.

Tidak Kasasi

Masalah lainnya lagi: apakah DIAmi dapat mengajukan kasasi kalau KPU Kota Makassar tidak mau mengajukannya? Permasalahan ini merupakan masalah pelik dalam sengketa TUN Pemilihan, oleh karena sudah banyak kejadian, pihak paslon kadang ada yang mau mengajukan diri sebagai pihak intervenin malah diusir oleh hakim TUN, praktis kalau mau mengajukan kasasi, tentu tidak ada legal standing lagi.

Semuanya itu berpijak atas dalil, bahwa dalam sengketa TUN pemilihan para pihaknya sudah dikunci bahwa hanya antara pasangan calon dengan KPU. Paslon sebagai penggugat dan KPU sebagai tergugat. Ini pula yang menjadi dasar yuridis dari kuasa hukum tim DIAmi kemarin, sehingga tidak mengajukan diri sebagai intervenin dalam perkara tersebut.

Juntrungnya, tim kuasa hukum lawan DIAmi banyak mencibir, celakalah mereka tidak mengajukan diri sebagai intervenin. Padahal, dari awal sudah diusahakan, namun karena tidak memungkinkan, maka permohonan intervenin itu kadung tidak diajukan.

Perma Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Sengketa TUN Pemilihan, sebagai peraturan kebijakan hakim TUN kiranya perlu diperbaiki, agar tidak lagi menutup ruang bagi intervenin untuk terlibat dalam sengketa TUN pemilihan. Konstruksi hukumnya, bisa merujuk ke Pasal 83 UU PERATUN bahwa pihak intervenin dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh PTUN, dapat bertindak  sebagai pihak membela haknya atau peserta bergabung dengan salah satu pihak bersengketa.

Putusan Pengadilan Tinggi TUN Makassar harus kita hormati bersama. Res judicata pro veritate habetur. Kita tidak perlu menudingnya sebagai putusan yang aneh, dan tidak substantif. Demikian pula ketika KPU Kota Makassar mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), kita tidak perlu pula mencurigainya sebagai upaya hukum tendensius. Sebab itu juga menyangkut kredibilitas KPU sebagai penyelenggara dalam mempertahankan legitimasi keputusan atau produk hukum yang telah diterbitkannya

Biarkan hukum mengalir dan berjalan sebagaimana mestinya, dan di saat yang sama simpul persaudaraan tetap kita jaga. Jaga Pilwakot Makassar dari kerusuhan, mari menciptakan Pilkada yang aman dan damai.*

Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi

Penulis Buku “Carut Marut Pilkada Serentak 2015”

 

ARTIKEL INI TELAH MUAT DI HARIAN TRIBUN TIMUR, 27 MARET 2018

You may also like...