Gejala Telepolitics
SELAIN gejala yang tampak secara nyata, tampil telanjang di hadapan mata. Partai politik yang dituding sebagai biang keladi, yang menciptakan demokrasi ‘abu-abu”. Demokrasi yang tidak jelas “jenis kelaminya”. Demokrasi yang hanya bertumpuh pada aspek siapa yang mendapat apa, dan bagaimana caranya, tidak tampil sebagai ideologisasi yang menciptakan demokrasi sesungguhnya. Juga didalangi oleh “ruang publik” yang berdimensi firtual. Bisa dibayangkan penciptaan dan gaya komunikasi yang diambil alih oleh ruang firtual, dalam hal ini media sosial jauh lebih cepat pengaruhnya dari pada partai politik jika dituntut “terjun” ke lapangan membentuk image dan gestur politik sendiri. Inilah yang disebut sebagai gejala telepolitics.
Istilah telepolitics pertama kali dipopulerkan oleh Michael Baumann, ahli studi kebudayaan yang mengungkapkan, debat calon presiden yang pada 26 September 1960 yang baru perma kali disiarkan melalui media TV sebagai awal perkembangan telepolitics di negeri paman sam itu. Sebanyak 70 juta pemirsa memelototi layar televisi menyaksikan John F. Kennedy sebagai Capres baru dari Partai Demokrat melawan wapres Richard Nixon yang disung Partai Republik sebagai Capres. Kennedy tampil lebih artikulatif, dengan gaya komunikasi yang memukau, lebih muda, dan jauh lebih tampan. Sebaliknya Nixon lupa merapikan rambut dan jenggotnya. Pemirsa TV sebagian besar menasbihkan Kennedy sebagai pemenag debat. Sebaliknya pendengar radio justru mendaulat Nixon sebagai pemenang debat karena dianggap lebih menguasai materi ketimbang kennedy. Anehnya, kemenangan debat melalui TV yang kemudian mengantarkan Kennedy ke gedung putih.[1]
Michael Bauman (2007), mengemukakan telepolitics adalah bergesernya peran partai politik dan munculnya dominasi media, terutama TV, dalam memersuasi pemilih. TV mampu menyelinap ke ruang domestik keluarga dan memerantarai hubungan yang lebih bersifat interpersonal. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan politik konvensional yang mensyaratkan kehadiran seseorang, interaksi melalui TV lebih bersifat one-way traffic communication, lebih praktis dan tidak merepotkan pemilih.[2]
Selain TV, ruang publik dari jejaring sosial juga memainkan peranan yang penting dalam pembentukan citra partai politik sehingga “terkesan” dalam memori kolektif publik, baik popularitas dan elektabilitasnya bagi ceruk pasar pemilih dapat meningkat tajam gara-gara jejaring dunia maya.
Cyberspace[3] sebagai ruang publik telah melumpuhkan partai politik yang tidak memilki keterampilan memainkan ruang-ruang jejaring sosial ini. Mulai dari facebook, twitter, hingga pemasangan website partai politik tidak kalah geliatnya dapat mempengaruhi sebuah image partai politik. Saat ini tidak ada lagi satupun partai poltik di negeri ini, yang tidak memiki website, yang sengaja digunakan sebagai alat propaganda politik.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)[4] telah terbukti pada Pemilu 2009 telah membuktikan, bahwa betapa berfungsinya telepolitics mempengaruhi pemilih kaum elit sehingga PKS berhasil mendulang suara 7, 77 % (57 kursi DPR) pada waktu itu.
Awal pemilu tahun 2014 ini juga ditunjukan oleh Partai NasDem mengantarkan dari beberapa survey, diprediksi bakal menjadi partai menengah nantinya. Tidak ketinggalan Partai Golkar akhir-akhir ini, ARB yang mendapat insetif telepolitics “elektabilitas” hingga mendongkrak namanya sebagai Capres yang memilki popularitas diurutan kedua, dibawah Megawati Soekarnoputri. Padahal diawal Januari Tahun 2013 masih berada diangka satu digit saja. Ini artinya, semakin mengukuhkan media dan jejaring sosial, tidak dapat dipungkiri memegang peranan penting membentuk elektabilitas citra partai politik serta personalitas Capres yang diusungnya.
Dibalik itu semua, fenomena telepolitics yang memainkan jejaring media dan serangan cepat udaranya. Amat berbahaya, karena menciptakan kredibilibiltas partai, hanya sekedar “polesan” media saja. Boleh jadi media menjadi alat yang menghipnotis ceruk pasar pemilih terhadap partai politik dan calon yang diusungnya hanya “seolah-olah” layak dipilih.
Di samping itu, gejala telepotics ini, juga dikhawatirkan akan menafikan “prinsip keseimbangan” bagi partai politik mempengaruhi pemilih dalam menentukan calon yang kredibel, agar layak dipiih. Oleh karena itu selain solusi yang ditawarkan sebelumnya di atas. Masih perlu penataan metode iklan kampanye. Gejala telepolitics yang dapat mengakibatkan “kompetisi tidak sehat” bagi partai politik, seyogianya semua partai politik dalam memampilkan iklan media dikelola oleh sistem hukum yang jelas. Negara dapat memberikan insentif dana bagi partai politik peserta pemilu untuk pemasangan iklan di media, dengan menghadirkan regulasi pembatasan (limitasi) durasi waktu, jumlah iklan, fase tayang iklan kampanye semua Partai Politik itu.
Pseudodemokrasi adalah kesemuan nilai dan prinsip demokrasi yang diciptakan oleh partai politik sehingga tujuan ideal demokrasi tidak menemukan identitas aslinya. Pseudodemokrasi terjadi, karena partai politik tidak menunjukan ideologi yang jelas, krisis kader atau figur yang akan direkrut sebagai pejabat publik, termasuk kartelisasi partai politik dengan nilai pasar yang diaminkan oleh media dan jejaring sosial. Sehingga yang muncul dipermukaan demokrasi yang serba ideal, namun hanya polesan citra dan gestur saja.
Partai politik yang sedianya berfungsi sebagai perekat ideologi dan sublimasi dari keanekaragaman masyarakat justru menciptakan partai poitik yang tidak jelas “jenis kelaminnya”. Partai politik hanya bertumpu pada gaya politik purba, siapa mendapatkan apa dan bagaimana caranya.
Dua fakta yang menarik, demokrasi yang dimainkan oleh partai politik baik dalam fakta yang sesungguhnya parpol menjalankan berbagai fungsinya, juga dalam pembentukan “image” dan gestur politik melalui telepolitics, partai politik telah menghilangkan makna demokrasi. Oleh karena itu diperlukan reformasi partai politik melalui perbaikan sistem pengelolaan partai politik, hal yang demikianlah dapat dilakukan sehingga demokrasi tidak menjadi “semu” dan absurd lagi (pseudodemocracy).
[1] Burhanuddin Muhtadi, 2013, Perang Bintang 2014, Bandung, Noura Books. Hlm 126.
[2]Ibid, Hal. 123.
[3]Bacaan lebih lanjut kajian ini dalam buku yang ditulis oleh Yasraf Amir Piliang yang berjudul Dunia yang Berlari Mencari Tuhan-Tuhan Digital yang diterbitkan oleh Grasindo, terutama pada halaman 46.
[4] Burhanuddin Muhtadi, 2012, Dilema PKS Suara dan Syariah, Jakarta, Gramedia,. Hlm 199.