Siapa Biang Kerok Kisruh DPR?
Banyak yang mengira pasca pertemuan primus interperes masing-masing kubu, diantaranya pertemuan Jokowi dengan Prabowo Subianto, kemudian disusul temu kunjung Jusuf Kalla dengan Aburizal Bakrie (ARB), lalu dengan Amien Rais. Bahwa perseteruan sengit Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) akan reda, dan kembali mendingin.
Nyatanya, prediksi itu kemudian nampaknya meleset dari perkiraan-perkiraan sebelumnya. Justru sebaliknya yang terjadi, kedua kubu kembali bersitegang dalam memperebutkan jatah pimpinan alat kelengkapan DPR.
Babakan kerunyaman DPR ini, bisa dikatakan merupakan episode perseteruan sebelumnya, mulai dari kisruh pemilihan pimpinan DPR, pemilihan Pimpinan MPR, hingga yang muncul sekarang adalah perebutan posisi strategis Alat Kelengkapan Dewan (AKD).
Parahnya lagi oleh KIH kemudian “memboikot” sidang paripurna pemilihan alat kelengkapan DPR, dengan belum mengirimkan nama-nama anggota DPR dari keanggotaan mereka yang akan mengisi alat kelengkapan.
Puncaknya kemudian, KMP tetap “memaksakan” penetapan alat kelengkapan DPR karena menurutnya syarat kuorom pengambilan keputusan sudah terpenuhi, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 284 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR yaitu dengan kehadiran enam fraksi di DPR (Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan PPP). Itu artinya; syarat kuorum lebih dari setengah jumlah anggota DPR sudah dianggap terpenuhi.
Ironisnya, KIH menanggapi balik, bahwa kuorum itu tidak terpenuhi oleh karena nama-nama alat kelengkapan DPR yang disetor fraksi PPP tidak sah, tidaklah mewakili hasil kongres PPP di Surabaya, bahkan kepengurusan dan keanggotaan PPP atas hasil kongres itu, yang sudah pula disahkan oleh kementerian hukum dan HAM Yasonna Laoly, KMP mengabaikannya. Atas persepsi KIH ketidaksahihan nama-nama alat kelengkapan di kubu KMP itu, buntutnya KIH lalu membentuk pimpinan DPR tandingan.
Biang Kerok
Banyak pasti yang memberi penilaian kalau tiga episod kekisruhan KMP vs KIH, hanya menyalahkan anggota DPR-nya, ataukah minimal para pembesar partainya (Ketua Umum). Tetapi dalam hemat Penulis, justru memandang sebab-musabab dari semua kekisruhan itu, adalah kegagalan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materil UU MD3. Hakim MK yang mengadili dan memutus uji materil UU tersebut, terkesan formalis-legalistik, hukum kemudian dipandang kaku, hukum tertutup, untuk selanjutnya dapat ditafsirkan demi kemaslahatan umum.
Bisa dibayangkan kembali, ketika hakim MK (minus dua hakim yang disenting opinion) dalam amar putusan atas uji materil UU MD3, terkait mekanisme pemilihan pimpinan DPR, kemudian disimpulkannya mekanisme pemilihan itu sebagai “open legal policy”. Sekarang, apa yang terjadi? Di parlemen bukan lagi “hukum” yang menjadi panglima, tetapi politiklah yang menjadi panglima di sana. Bukankah semua kekisruhan di DPR itu mestinya sedari awal MK dapat mencegahnya, andaikata MK berani mengambil keputusan hukum yang progresif?
Apa yang dimaksud keputusan hukum yang progresif di sini? Harus diketahui bahwa UU MD3 dan Peraturan Tatib DPR pembahasannya sarat kepentingan. Dalam tataran para penggiat studi hukum kritis, bahwa UU kadangkala nirfilsufis ketika lahir karena kuasa dan pengaruh bahasa. UU tersebut kemudian hanya menguntungkan sepihak, dan teks bahasanya sengaja ‘dibiaskan” juga, demi langgengnya kekuasaan.
Jauh sebelumnya, mestinya masalah perebutan kekuasaan di DPR pasti dapat dihindari andaikata semua hakim MK yang mengadili, a quo berani untuk menerobos, menjungkirbalikan, atau mendekonstruksi (meminjam istilah Derrida) UU MD3, agar faktor kepentingan “kuasa” dan “teks” dalam UU tersebut digugurkan.
Namun apa mau dikata, toh sekarang nasi sudah menjadi bubur. Hakim MK yang cenderung terpaku atas dogma objektivisme dan formalisme. Akhirnya hakim yang mestinya menjadi “wasit” atas nama keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hanya membiarkan DPR membentuk aturan untuk dirinya sendiri.
Padahal dalam logika normalpun, seorang/ lembaga yang membentuk aturan untuk dirinya sendiri, pasti aturan itu diusahakan untuk berpihak kepadanya. Celakanya, DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang bisa-bisa menjadikan rakyat sebagai korbannya, jika terus-menerus mereka pada perebutan “kue’ kekuasan. Sampai kapan mereka akan bertindak demikian, kemudian akan berkerja untuk rakyat?
Oleh karena itu, jangan salahkan ketika ada kemudian yang menuding, termasuk saya sendiri. Kalau kisruh yang tidak pernah berkesudahan di gedung Senayan hingga saat ini. Semuanya terjadi, disebabkan oleh gagalnya MK menjadi pengawal UU, demi pengutamaan khalayak publik. Dan akhirnya tibalah kita pada sebuah kesimpulan; “ini semua terjadi karena MK biang keroknya.”
Living Constitution
Kembali pada masalah sebelumnya, bagaimana sebaiknya MK mengambil peran sebagai upaya preventif mencegah terjadinya DPR terbelah (deadlock), seperti yang terjadinya sekarang ini?
Hukum yang baik adalah hukum yang tidak berjalan tertatih-tatih di belakang kenyataan. Karena itu, mestinya sebelum terjadi kekisruhan tersebut. Sejatinya MK harus memikirkan segala kemungkinan itu jauh hari sebelumnya. Bukankah salah satu tujuan hukum dalam dinamisasinya, hukum itu pula harus predictiable ? Toh ini bukanlah perkara sulit untuk dipikirkan dalam ‘legal reasoning” para hakim MK.
Bahwa seyogianya hakim MK melihat UUD dalam satu kesatuan dengan sistem perundang-undangan lainnya adalah bahagian dari konsep living constitution. David A. Straus dalam bukunya “The Living Constitution” mengemukakan “konstitusi analog dengan makhluk hidup (living organism) yang tidak statis tetapi mampu beradaptasi dengan tuntutan perkembangan atau perubahan dari waktu ke waktu, meskipun tanpa dilakukan amandemen secara formal.”
Maka dengan berangkat dari pendapat Straus tersebut, sudilah kiranya hakim MK pada waktu itu, agar menciptakan hukum untuk pembagian proporsional pimpiinan DPR, pimpinan MPR, hingga alat kelengkapan DPR. Lebih konkretnya lagi, alangkah elok dan prestisiusnya; seandainya semua hakim MK, sepakat menciptakan teks hukum (pasal) yang berbunyi “setiap fraksi dapat mengajukan calon pimpinan DPR, calon pimpinan MPR, dan calon alat kelengkapan DPR yang kemudian dapat dipilih secara musyawarah mufakat ataukah melalui voting.” Saya kira tafsiran demikian merupakan tafsir yang lekat dengan makna “living constitution”. Sebab ketika semua anggota DPR, setiap fraksi merasa diperlakukan adil atas “hukum” yang selalu menjadi panglima. DPR dipastikan akan aman-aman saja. Dan lebih cepat lebih baik mereka dapat bekerja untuk rakyat.(*)