Anas dan Peniup Korupsi
Akhirnya Anas Urbaningrum ditahan oleh penyidik KPK, setelah hampir memasuki satu tahun berstatus tersangka kasus korupsi sport center Hambalang. Tindakan penahan KPK, ternyata melahirkan prokontra dikalangan masyarakat. Dalam sebuah forum diskusi dunia maya, seorang sahabat sekaligus pengurus organisasi Perhimpunan Pergerakan Indonesia Sulsel Muhammad Syaiful Simollah menegaskan bahwa penahan Anas merupakan pesanan Cikeas dan lembaga antirasuah tidak pernah memanggil Edhie Baskoro Yudhoyono, padahal saksi Yulianis pernah menyebut telah menerima aliran uang.
Terkait pernyataan tersebut, Penulis akan membedah dengan pendekatan ilmu hukum. Hal ini penting karena penahanan masuk ranah hukum acara pidana, bukan ilmu politik. Pertama, tindakan penahanan merupakan kewenangan penyidik. Di mana penyidik bisa melakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi.
Kalimat “serangkaian tindakan” yang dimaksud yakni menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana, melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian, menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seorang, memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, mengadakan penghentian penyidikan, mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab (vide Pasal 7 ayat 1 KUHAP).
Selain menahan tersangka masuk kewenangan penyidik, upaya penahan juga haruslah memenuhi alasan objektif dan subjektif. Alasan objektif, penahan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa diduga melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Alasan subjektif, perintah penahanan karena adanya keadaan menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Artinya adalah penahanan Anas Urbaningrum sah dilakukan bila memenuhi aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Di sisi lain, bila loyalis Anas masih bertahan bahwa penahanan adalah pesanan Cikeas, maka tersedia langkah hukum yang bisa diambil yakni melalui lembaga praperadilan.
Proses praperadilan merupakan kewenangan pengadilan negeri. Dimana sidang praperadilan berwenangan memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Semangat dari praperadilan adalah agar supaya penegak hukum tidak bertindak sewenang-wenang. Apalagi bila berhubungan dengan upaya paksa penangkapan dan penahanan. Suatu tindakan yang berhubungan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Sehingga tindakan penegak hukum tersebut haruslah secara bertanggungjawab dan menurut ketentuan undang-undang yang berlaku (due process of law).
Kedua, meminta KPK memanggil Edhie Baskoro Yudhoyono. Dalam proses penyidikan memang seorang penyidik berwenang memanggil pihak-pihak untuk diambil keterangannya. Akan tetapi, pihak yang dipanggil haruslah yang berkaitan atau mengetahui tentang suatu perkara. Contohnya orang yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri tindak pidana atau tersangka.
Kembali kepengakuan saksi Yulianis, tidak dengan serta merta penyidik KPK memanggil tanpa memvalidasi informasi terlebih dahulu. Apalagi bila ujung dari pengakuan agar ditetapkan sebagai tersangka. Maka untuk kesekian kalinya Penulis menegaskan bahwa penetapan seseorang menjadi tersangka harus berdasarkan 2 alat bukti. Alat bukti yang sah menurut KUHAP terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Khusus keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Selain dalam KUHAP, alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di mana petunjuk dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang berupa dengan itu, dan dokumen yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna (vide: Pasal 26A).
Bantu KPK
Pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya sepenuhnya diberikan kepada penegak hukum. Masyarakat harus berperan dalam hal melakukan upaya pencegahan maupun pengungkapan kasus menggarong uang negara. Rasionalisasinya karena masyarakat menjadi korban laku korupsi, karena perilaku ini berakibat bukan hanya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional. Atau dengan kata lain, korupsi telah menjauhkan masyarakat Indonesia dari yang namanya kesejahteraan. Oleh karena itu, Pemerintah telah memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang mau berperan serta.
Dalam konteks tersangka Anas Urbaningrum pun, bila memang betul-betul memiliki niat untuk memerangi korupsi. Guna membuktikan keterlibatan Edhie Baskoro Yudhoyono dalam kasus Hambalang dan pihak-pihak lain, agar seyogianya membantu KPK sebagai peniup korupsi (whistleblower/ justice collaborator). Tetapi kembali, apakah Anas berani “bernyanyi”.