Langka Maju-mundur Penguatan UU KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali dirundung malang, perihalnya, legalitas pijakan berdirinya yaitu UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK akan direvisi. Pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum dan Ham mengajukan revisi UU KPK yang diduga untuk menghilangkan kewenangan penyadapan dan memisahkan kewenangan penuntutan KPK. Publik pun bersuara lantang menentang Revisi UU KPK. Revisi dianggap sebagai upaya mengebiri dan memperlemah eksistensi KPK.
Meski demikan, sesungguhnya UU KPK sudah seharusnya direvisi. Namun arah revisi tersebut difokuskan untuk menambal kekurangan-kekurangan yang masih “bersemayam” dalam UU KPK. Mempertahankan beberapa kelemahan yang ada dalam ketentuan UU KPK saat ini justru akan menjadi senjata bagi koruptor untuk meloloskan dirinya.

Sumber Gambar: inilah.com
Langkah Mundur
Beberapa ihwal yang menjadi issue revisi dalam UU KPK adalah dengan menghapus kewenangan penyadapan KPK terhadap dugaan tindak pidana korupsi dan pemisahan kewenangan penuntutan dengan menyerahkan kepada kejaksaan. Jika kedua ihwal tersebut benar, maka revisi tersebut adalah langkah mundur.
Betapa tidak, dua hal tersebut selama ini menjadi senjata mematikan bagi KPK dalam “menembak” para terduga koruptor. Khusus untuk penyadapan, cara inilah sebagai jalan pembuka melakukan operasi tangkap tangan (OTT) bagi para pelaku korupsi. Modus korupsi yang terselubung menyulitkan untuk menemukan alat bukti guna mengungkap peristiwa korupsi.
Namun adanya OTT sedikit memudahkan bagi KPK untuk menemukan alat bukti tindak pidana korupsi. OTT adalah cara paling jitu untuk membuat bukti-bukti jelas dan lebih terang daripada cahaya (Incriminalibus Probantiones bedent Esse luce clariores). Sehingga jika kewenangan penyadapan dihilangkan, bagaimana mungkin KPK bisa melakukan OTT. Padahal diakui secara kolektif korupsi adalah kejahatan luar biasa, sehingga pemberantasannya pun harus dengan cara-cara yang luar biasa.
OTT dan penyadapan adalah salah satu cara luar biasa untuk memberantas tindak pidana korupsi. Dengan demikian, menghilangkan kewenangan untuk melakukan penyadapan adalah bentuk pelemahan terhadap KPK.
Begitu pun ihwal revisi untuk menghilangkan kewenangan penuntutan KPK adalah salah bentuk pengkerdilan dari marwah super body KPK. Proses penegakan hukum tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan hati-hati, terukur dan profesional. Membuka sedikit celah hukum maka akan menjadi bumerang bagi KPK mengingat lawyer para pelaku korupsi adalah lawyer ternama dan mumpuni.
Oleh karenanya diperlukan kerja yang berkesinambungan dan terkoneksi antara proses penyidikan dan penuntutan. Desahan nafas antara penyidikan dan penuntutan harus beriringan untuk menutup celah inkonsistensi proses penegakan hukumnya. Sehingga saat ini antara penyidikan dan penuntutan yang satu atap di KPK adalah langkah strategis dan tidak perlu lagi dipisahkan. Fakta pun membuktikan satu atapnya penyidikan dan penuntutan membuat KPK menjadi paripurna dalam menyeret para calon koruptor ke meja hijau. Jika kewenangan ini juga akan dihilangkan maka pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan mundur beberapa langkah ke belakang.
Langkah Maju
Sesungguhnya penolakan atas revisi UU KPK pun tidak sepenuhnya benar. Dasar argumentasinya adalah pertama banyak pasal-pasal dalam UU KPK yang kabur. Kedua, harus dilakukan penambahan pasal untuk memperkuat legitimasi dan eksistensi KPK. Realitas kekalahan KPK di berbagai praperadilan, gonjang-ganjing “kriminalisasi” komisionernya banyak disebabkan karena tidak kuatnya ketentuan yang ada dalam UU KPK misalnya mengenai ketentuan penyidik independen. Sehingga UU KPK haruslah direvisi ke arah yang lebih maju untuk memperkuat Institusi KPK.
Setidaknya ada beberapa ihwal yang menjadi titik fokus revisi UU KPK yaitu. Pertama, Sistem perlindungan bagi Komisioner, publik sering menyebutnya dengan hak imunitas. Ihwal inilah yang sering menguak ke publik ketika para komisioner ditersangkakan oleh pihak kepolisian dan diduga sebagai bentuk kriminalisasi. KPK dan publik menduga kasus-kasus tersangkanya para komisioner KPK karena ada pihak yang mendesain sebagai upaya perlawanan balik pelaku korupsi.
Berkaca dari dugaan itu maka perlu adanya perlindungan bagi para komisioner agar “tenang” melaksanakan tugas-tugas kejihadannya memberantas korupsi. Hal ini belum mendapat tempat di UU KPK saat ini. Sehingga dengan mudahnya para komisioner diciduk dengan perkara “sepele”. Alhasil, diciduknya para komisioner KPK mengganggu kinerja dan stabilitas KPK.
Kedua, Memperjelas makna kolektiaf kolegial, berapa jumlah komisioner yang harus mengambil keputusan, bagaimana jika terdapat komisioner yang berhalangan, dalam hal putusan apa saja kolektif kolegial diperlukan.
Ketiga, penyelidik, penyidik dan penuntut independen. Ketentuan ini mesti diperjelas mengingat pasal mengenai pengangkatan penyelidik, penyidik dan penuntut masih multi tafsir, oleh karenanya diharapkan revisi UU KPK memperjelas bahwa KPK dapat mengangkat penyelidik,penyidik dan penuntut diluar institusi kepolisian maupun kejaksaan. Ihwal ini menjadi poin penting mengingat KPK dilumpuhkan di medan praperadilan karena alasan penyidik independen. Jika tidak segera direvisi maka KPK terancam eksistensinya dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Keempat, Penambahan wewenang KPK dalam menuntut perkara pencucian uang yang bertalian dengan korupsi. Ketentuan ini untuk mempertegas putusan mahkamah konstitusi No 77/PUU-XII/2014. Selain itu, penyesuaian wewenang asset recovery dalam skala internasional sebagaimana yang diatur dalam UNCAC
Akhirnya, Hukum harus merespon keadaan dan kecanggihan motif berbagai kejahatan termasuk korupsi. Motif-motif yang dianggap melemahkan pemberantasan korupsi harus ditambal, agar pelaku korupsi tidak berlindung dibalik hukum yang lemah. Jika penegak hukumnya tidak responsif (progresif) maka UU harus bermetamorfosa untuk merespon keadaan dan mengikat aparat penegak hukum yang kaku dalam menemukan hukum. Karenanya Revisi UU KPK diperlukan ke arah yang responsif berdasarkan maksim Lex Reformanda.