Perilaku Hukum Kasus Bansos

Pasang surut penanganan kasus Bansos Sulsel menimbulkan banyak pertanyaan. Kasus korupsi yang merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah ini, baru mempidana Anwar Beddu. Disaat yang sama kecurigaan itu semakin memuncah, kala penetapan tersangka Andi Muallim (29/10/2013) sehari pasca kedatangan Ketua KPK Abraham Samad di Makassar.

Kasus Bansos memang merupakan salah satu kasus korupsi daerah yang juga disorot komisi antirasuh, selain kasus korupsi pengadaan lahan Celebes Convention Centre. Pengungkapan kasus lamban disinyalir karena adanya anasir-anasir non hukum yang ikut mempengaruhi. Walaupun Chaerul Amir yang menjadi pelaksana tugas Aspidsus Kejati Sulselbar pernah menegaskan kedua kasus besar tersebut, tidak ada nuansa politis.

Pendekatan Sosiologi Hukum

Leletnya pengungkapan suatu perkara tindak pidana bisa dikaji dengan menggunakan kacamata sosiologi hukum. Suatu pendekatan yang mempelajari fenomena hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik hukum, menjelaskan mengapa dan bagaimana praktik-praktik hukum terjadi, sebabnya, faktor-faktor yang berpengaruh, latar belakang dan sebagainya (Satjipto Rahardjo, 1986; 310-311).

Lebih jauh untuk menjelaskannya digunakan teori Donald Black. Seorang pakar perilaku hukum yang memperkenalkan aspek variabel yang menimbulkan diskriminasi hukum. Pertama, stratifikasi yaitu aspek vertikal dari kehidupan sosial, atau setiap distribusi yang tidak seimbang dari kondisi-kondisi yang ada, seperti makanan, akses ke tanah atau air, dan uang.

Kedua, morfologi yaitu aspek horizontal, atau distribusi dari orang dalam hubungannya dengan orang lain, termasuk pembagian kerja di antara mereka, integrasi dan keakraban yang berangsung diantara mereka.

Ketiga, kultur yaitu aspek simbolik, seperti religi, dekorasi dan “folklor”. Keempat, Organisasi yaitu aspek korporasi, atau kapasitas bagi tindakan kolektif. Kelima, pengendalian sosial (Social control) yaitu aspek normatif dari kehidupan sosial, atau definisi tentang perilaku yang menyimpang dan tanggapan terhadapnya, seperti larangan, dakwaan, pemidanaan dan kompensasi.

Ditarik masuk ke kasus Bansos Sulsel sudah dapat dipastikan teori diskriminasi hukum telah terjadi. Kasus Bansos yang mulai ditangani Kejati pada tahun 2010 sampai sekarang, baru menyentuh Bendahara dan Sekretaris Provinsi Sulsel. Padahal dalam catatan penulis, penerima dana Bansos tidak hanya pada level eksekutif tetapi juga anggota legislatif daerah yang menikmatinya. Contohnya pengakuan salah satu anggota DPRD Makassar yang telah mencairkan dana bantuan sosial pemerintah Sulsel dan menggunakannya untuk keperluan pelatihan lokakarya.

Fakta ini memperlihatkan bahwa pedang penegakkan hukum hanya tajam bagi orang-orang yang memiliki stratifikasi rendah. Karena untuk mereka yang dengan status sosial tinggi, memiliki relasi kekuasaan nan kaya memiliki tamen untuk melindungi diri dari sanyatan pedang keadilan.

Langkah Berani        

Dalam sebuah dialog hukum forum publik sosialisasi komisi kejaksaan bertema “launching eksaminasi publik dan hasil pemantauan kinerja jaksa di pengadilan”, yang diselenggarakan Anti Corruption Committee Sulawesi (17/4). Anggota majelis eksaminasi dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum dalam perkara korupsi Bansos Sulsel 2008 Marwan Mas menegaskan bahwa pihak Kejati harus berani melakukan langkah-langkah progresi menindak semua penggarong uang negara sesuai asas equality before the law.

Pernyataan yang menurut hemat Penulis sangatlah mendasar melihat realitas penegakan hukum kasus Bansos. Pertama, dakwaan JPU mengungkap banyak pihak yang terlibat dan harus dimintai pertanggungjawaban pidana. Tidak hanya Anwar Beddu dan Andi Muallim melainkan juga sejumlah anggota legislatif Sulsel periode 2004-2009. Serta beberapa pengurus lembaga swadaya masyarakat fiktif karena telah ikut menikmati dana tersebut.

Khusus anggota legislatif daerah sudah menjadi rahasia umum, kalau mereka berlomba-lomba mengembalikan uang yang diterimanya. Hanya saja sampai sekarang belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka baru. Pihak penyidik menafikkan ketentuan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 4 menegaskan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Artinya melihat penerapan hukum terhadap Anwar Beddu dengan menggunakan dakwaan primer melanggar Pasal 2 dan dakwaan subsidair Pasal 3 UU Korupsi, maka secara otomatis pihak-pihak yang mengembalikan dana Bansos tidak bisa dikecualikan dari jeratan hukum pidana.

Kedua, belum menyentuh pucuk pimpinan. Dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 jelas menyatakan penanggungjawab pengelolaan keuangan adalah kepala daerah dan sekretaris daerah sebagai coordinator pengelolaan keuangan. Seharusnya jaksa melakukan penyidikan lebih jauh guna mengejar bentuk perbuatan dan pelaksaan kewenangan mereka masing-masing. Apalagi selaku kepala daerah telah lalai berdasarkan kewenangan dan kewajiban untuk membuat dan menetapkan Peraturan Kepala Daerah tentang Pedoman Tata Cara Pemberian dan Pertanggungjawaban Bantuan Sosial (vide Pasal 133 ayat 3).

Ketiga, tuntutan Jaksa terhadap Anwar Beddu sangatlah ringan, berujung kepada penjatuhan sanksi pidana 1 tahun 3 bulan penjara. Walhasil terpidana pertama kasus Bansos Sulsel berakhir happy ending. Oleh karena itu, seyogianya ini menjadi cambuk bagi Kejati untuk berani mengungkap seluruh pihak-pihak yang terlibat dan menuntut pidana maksimal. Karena hanya cara itu, bisa menghilangkan keraguan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum.

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...