Caleg Setengah Hati
Belum juga pemilu dihelat pada hari “H” Nya, lagi-lagi kita dibuat bertanya-tanya. Hasl liris KPU ada sekitar 140 nama calon sementara anggota DPR keberatan daftar riwayat hidupnya dipublikasikan. Kenapa dari sekian nama-nama itu tidak mau rekam jejak mereka diketahui oleh publik yang akan memilihnyApakah dibalik itu mereka punya rekam jejak “buruk”? Sehingga “enggan” agar publik mengetahui latar belakang mereka, karena kalau calon pemilih sudah tahu dari awal, maka calon-calon tersebut akan kandas di tengah jalan. Dan pupus sudah harapannya untuk “melenggang kangkung” di Senayan. Popularitasnya dinilai secara terang-terangan dan ditelanjangi oleh pemilih, padahal pemilu juga belum dihelat.
Minus Kaderisasi
Sengkarut masalah yang menimpa calon legislatif, jika ditarik kebelakang merupakan problem turunan dari Partai Politik. Sebagai organisasi satu-satunya yang akan mengajukan calon representasi politik di parlemen. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik terlalu bebas, memberi ruang kepada Partai Politik, untuk mengusung dan mengajukan bakal calon anggota legislatif meskipun bukan binaan kader.
Undang-undang Partai Politik menyerahkan sepenuhnya kepada Partai Politik itu untuk menentukan AD/ART sendiri dan melahirkan anggota Partai Politik terserah saja. Entah pada saat Partai Politik tersebut berada dalam fase pengajuan Daftar Calon sementara, kemudian tiba-tiba Parpol merekrut anggota Partai Politik. Ada yang berasal dari kalangan selebriti yang melek politik, kalangan bintang film, pengusaha yang tidak pernah mengetahui seluk-beluk perjuangan akan ideologi partai pengusungnya, spontan saja diberi nomor urut dan diajukan dalam Verifikasi KPU.
Kondisi ini rupanya, makin diperparah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Mulai dari verifikasi adminitrasi Partai Politik tidak ada prasyarat yang menentukan, Partai Politik harus menunjukan bukti telah melakukan kaderisasi atas semua anggota Partai Politiknya.
Apa yang bermasalah dengan munculnya para calon karbitan? Gara-gara caleg yang diusung bukan dari binaan kader, yang jelas Partai Politik yang mengusungnya sengaja “mengamini” untuk menutupi caleg yang diusungnya, karena memang tidak punya sisi yang dapat ditonjolkan. Ataukah kalaupun ada sisi yang dapat memberi insentif electoral bagi partai, karena caleg tersebut kaya misalnya, tetapi mantan Napi. Mustahil Partai Politik yang mengusungnya secara terang benderang, membuka rekam jejak, bografi caleg yang diajukannya, kalau tetap dibiarkan partai politik mengajukan caleg-caleg dadakan.
Kucing dalam Karung
Apa yang dipertontonkan oleh Caleg, keberatan jika diketahui riwayat hidupnya kemarin merupakan ketidaksigapan caleg sekaligus Partai Politik pengusngnya. Partai Politik yang sedianya menjadi ujung tombak melahirkan pejabat yang professional, berintegritas, apalagi memunculkan wajah-wajah baru sebagai caleg kredibel alternatif di atas kertas, belum juga ada tanda-tanda.
Tengoklah kesemrautan hampir semua Partai Politik yang telah dinyatakan lolos dari “lubang jarum” KPU. Saat mengajukan Daftar Caleg sementaranya menemui banyak kesemrautan administarif, ada caleg yang harus berurusan dnegan kasus hukum yang meliitnya, ada Caleg terdaftar di dua Dapil, ada Caleg yang terdaftar di dua Partai Politik. Menunjukan fungsi Partai Politik jalan ditempat. Jauh dari fungsi asalinya sebagai agregasi dan kepentingan politik, rekrutmen anggota Partai Politik, pendidikan dan komunikasi politik, agar dipraktikan secara nyata dalam menyukseskan pemilu yang demokratis.
Kalau saja seperti ini terus yang terjadi, Caleg enggan mempublikasikan biografinya, dari awal sudah mentaktisi syarat caleg agar lolos. Ini merupakan tanda tanda awal kesenjangan yang timpang antara rakyat dan calon wakil mereka di lembaga perwakilan, nantinya.
Nalar sehat kita akan menarik kesimpulan dalam status calon sementara saja, tidak mau membuka diri, bagaimana mungkin di saat mereka sudah terpilih akan memperjuangkan hak-hak rakyat, karena sedari awal memang tidak senang dengan model transparansi.
Membiarkan sengkarut ini, terus menerus, dimana Partai Politik dan para calegnya “berkongkalikong”, sebuah keniscayaan pemilih nantinya akan dipaksa memilih caleg, ibarat memilih kucing dalam karung saja. Kalau seperti ini boleh jadi kita akan mengulang sebuah peristiwa yang sama apa yang terjadi empat tahun terakhr hingga hari ini, di masa mendatangpun akan terulang lagi, banyak pejabat legislatif terseret dalam pusaran korupsi, karena sedari awal rakyat yang dapat menentukan caleg yang memiliki rekam jejak anti korupsi, semuanya pada disembunyikan.
Setengah Hati
Satu kata cocok atas sengkarut yang terjadi pada calon sementara anggota DPR tersebut, mereka setengah hati untuk menjadi wakil rakyat, apalagi berjuang untuk kepentingan rakyat.
Partai politiknya sudah setengah hati mengajukan bakal calon anggota legislatif, impasnya akan lahir parlemen setengah hati. Partai Politiknya setengah hati juga mengajukan Capres-Cawapres, lahirlah presidensialisme setengah hati seperti apa yang terjadi sekarang ini.
Akhirnya kita hanya memiliki bangsa Indonesia yang setengah hati pula. Ke depannya, nasib bangsa ini agar tidak setengah hati, hanyalah rakyat yang telah layak pilih yang akan menentukan “takdirnya”