Merindukan kembali Sahabat Anak Indonesia

Seto Mulyadi, Sumber Gambar: okezone.com

SAYA duduk hening di depan pesawat televisi. Mata saya menatap tajam layar kaca, tetapi mata hati saya menembusnya jauh-jauh lebih ke dalam. Raga saya di situ, tetapi batin saya menerawang ulang masa tiga empat puluhan tahun silam.

Di TV, sekian banyak tayangan yang disebut sebagai program anak-anak tumpah ruah. Karena itulah, sebagian kalangan menyebut dunia pertelevisian kita kini sudah lebih ramah anak jika dibanding beberapa tahun sebelumnya.

Pertanyaannya, ketika saya berkelana dari satu kanal ke kanal TV lainnya, mengapa cukup sulit menemukan kembali sosok-sosok semacam: Pak Kasur – Bu Kasur, Pak Tino Sidin, Pak Suyadi, dan tokoh-tokoh lainnya yang tercatat lestari sebagai sahabat, pecinta, dan pendidik anak-anak? Seketika saya galau, apakah memang telah terjadi semacam kemandegan dalam regenerasi pegiat anak di Tanah Air?

Mungkin lamunan saya terlalu kelam. Kenyataannya, organisasi-organisasi aktivis perlindungan anak terus bermunculan bagai cendawan di musim hujan. Kata orang, itu karena kini isu perlindungan anak dianggap cukup seksi. ‘Seksi’ yang banyak sekali tafsirannya. Yang negatif ialah bila individu ataupun organisasi perlindungan anak tersebut hanya hadir bukan untuk kepentingan terbaik bagi anak.

Namun, lebih sekadar untuk, katakanlah memburu proyek, mengejar kedudukan, ataupun jalan pintas meraih popularitas. Bila anak bukan merupakan sumber inspirasi utama, dan kesejahteraan anak bukan motivasi pertama, maka mudah sekali mengenalinya: Saat proyek selesai, apa pun hasilnya, mereka pun raib.

Beda dengan empat nama yang saya tulis di atas. Persistensi ialah roh utama yang hidup di inti sel mereka. Berkat persistensi, mereka pun kekal dikenang sebagai tokoh-tokoh sahabat anak sejati. Pak Kasur – Bu Kasur persisten sebagai guru serbabisa. Menyanyi ayo, menari oke, mendongeng mari.

Pak Tino Sidin persisten sebagai guru yang tiap kali muncul setengah jam di televisi selalu membawa kertas putih, krayon, topi di kepala, setumpuk gambar karya anak-anak seindonesia. Ini yang paling mengesankan setimbun pujian yang terwakili oleh satu kata yang beliau ucapkan berulang-ulang: “Bagus….!”

Nama Pak Suyadi barangkali tidak begitu dikenal. Apa boleh buat, boneka yang beliau ciptakan ternyata lebih ‘hidup’ ketimbang dirinya sendiri. Pak Suyadilah yang menghidupkan cerita boneka Si Unyil, berikut Pak Raden, Pak Ogah, Usro, Ucrit, dan boneka-boneka lainnya di desa khayalan yang bernama Desa Sukamaju.

Terpahat abadi

Tentu hebatnya masa lalu ialah kesanggupannya melahirkan sekian banyak tokoh yang juga terpahat abadi sebagai sahabat anak. Yang juga tidak bisa dilupakan ialah Nyonya Saridjah Niung atau lebih populer sebagai Ibu Soed. Bersiaran di radio, menggubah lagu, menjadi guru, membatik, dan banyak lagi kemampuan ibu yang satu ini.

Lagu-lagu bertema anak-anak yang beliau ciptakan saja sepertinya mencapai angka ratusan. Warisan adiluhung sedemikian rupa pastinya keluar dari hati dan jari tokoh yang—sekali lagi—mempunyai persistensi bagai gelombang samudera. Nyaris tak pernah putus, tak kenal henti, dan tak mau berakhir.

Nah, tampaknya inilah yang tidak tersedia di kanal-kanal televisi saat ini. Anggaplah stasiun-stasiun televisi berlomba menjadi televisi ramah anak. Namun, yang mereka siarkan hampir semuanya adalah produk-produk luar negeri. Produk-produk animasi, produk-produk yang tidak menggelorakan nasionalisme serta tidak mengajak pemirsa anak berinteraksi.

Nyaris tidak ada program TV yang di sepanjang jam tayangnya menghadirkan manusia hidup yang menjadi pemandu sekaligus sahabat bagi anak saat memirsa siaran tersebut.

Sampai di sini sepertinya saya harus angkat topi dan berterima kasih kepada TVRI. Memang TVRI adalah satu-satunya stasiun televisi yang eksis pada masa itu. Namun, TVRI, dalam tema tulisan ini, menjadi luar biasa istimewa bukan karena itu.

TVRI menjadi paten punya karena ia juga memiliki keteguhan hati untuk serius dan terus-menerus memasukkan anak-anak ke dalam kerja kreatif mereka. Porsi bagi tokoh-tokoh sahabat anak di atas sesungguhnya tidak banyak. Hanya sekitar tiga puluh menit per pekan per orang. Namun, di sinilah kehebatannya: TVRI punya persistensi, bertemu dengan figur-figur yang juga bermodalkan persistensi, keluarannya sungguh-sungguh mengesankan di mata dan di hati.

Bereinkarnasi
Saya sengaja menyusun tulisan ini, alasannya sederhana. Bulan depan kita akan kembali memperingati Hari Anak Nasional. Setiap kali berbicara tentang anak, setiap waktu merayakan Hari Anak Nasional, kita tak pernah lupa untuk mengajak anak menatap ke masa depan.

Pada hari itulah, cita-cita, harapan, dan doa-doa kebaikan kita gantungkan setinggi langit bagi anak-anak kita. Namun, tampaknya kita sering lupa mengingat kembali jasa para sahabat anak:  Pak Kasur, Ibu Kasur, Ibu Soed, Pak Tino Sidin, Pak Suyadi, dan lainnya.

Saya bersyukur kepada Allah SWT karena telah memberikan saya banyak kesempatan untuk berguru bahkan meneladani nama-nama tadi. Namun, itulah yang saya tulis sedari mula, sepeninggal beliau-beliau semua. Siapakah yang berhasil terpatri di hati anak-anak Indonesia sebagai Pak Kasur-Bu Kasur era millennium baru, Pak Suyadi zaman now, Pak Tino Sidin kekinian, dan Ibu Soed generasi gawai?

Pun televisi manakah yang sudi menyalakan kembali sukma TVRI sebagaimana tiga empat puluhan tahun silam? Saya mendambakan nama-nama besar di jagat perlindungan anak itu, berikut stasiun televisi sebagai pendukungnya, bereinkarnasi mulai hari ini.

Untuk itulah, tulus saya mengajak kita semua untuk di Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli nanti, apa pun selebrasi yang akan kita selenggarakan, mari luangkan waktu barang tiga lima menit untuk tepekur dan mengirim doa kepada tokoh-tokoh yang lebih dari pantas untuk menerima penghargaan sebagai Pahlawan-pahlawan Sahabat Anak Indonesia itu.

Dari alam sana boleh jadi Pak Tino Sidin, Ibu Soed, Pak Suyadi, serta Pak Kasur-Bu Kasur turut menantikan kehadiran pendatang-pendatang baru yang sudi merasukkan persistensi perlindungan anak—bukan hal lain—ke dalam jiwa mereka. Pun, sudah berdekade-dekade, mereka sebagaimana saya juga mengimpikan adanya stasiun-stasiun televisi masa kini dengan persistensi setara TVRI tempo doeloe.

Betul bahwa kita memiliki bonus demografi luar biasa, tetapi jangan lalai, bangsa dengan demografi sespesial itu akan berjaya manakala mereka mampu menghargai jasa para pahlawan mereka.

Semoga pemerintah berkenan mempertimbangkan sungguh-sungguh penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada nama-nama besar tadi, mewakili kategori pegiat perlindungan dan sahabat anak. Terima kasih, “Guru-guruku” tercinta!

 

Oleh:

Seto Mulyadi

Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI),

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

 

Media Indonesia, Jumat, 08 Jun 2018

 

 

You may also like...