Ihwal Pengebiran, Predator Seksual Anak
Sepakat! Bahwa data yang disajikan oleh KPAI dalam kurun waktu 2011-2014, angka kejahatan kekerasan seksual yang mencapai 42 – 58 persen. Kini perlu disikapi oleh negara secara cepat guna mengatasi dan mencegah angka kejahatan ini, yang meningkat terus-menerus. Paling tidak, negara sudah memberlakukan darurat kekerasan seksual terhadap anak. Dan kesigapan negara pun bagai gayung besambut, kini pemerintahan Jokowi-JK beserta dengan jajaran menteri terkait, menggaungkan hukuman kebiri bagi predator seksual anak.
Dari perspektif dan kacamata publik yang dihinggapi kemarahan, dendam kesumat terhadap pelaku, hukuman kebiri memang patut untuk didukung, apalagi hal itu jika dipandang dari keadilan yang pantas didapatkan bagi korban dan keluarganya.
Tetapi soalnya kemudian akan menjadi lain. Manakalah sasaran hukuman kebiri ditujukan agar pelaku menghentikan kejahatannya. Sebab tidak berarti ketika pelaku sudah dimatifkan saraf libidonya, entah melalui pengebiran/kastrasi fisik maupun kimiawi. Dengan serta merta kecenderungan untuk melakukan kejahatan seksual tersebut akan terhenti.
Sebab, memang secara biologis saluran pelampisan kelainan seksualnya sudah dimatikan, tetapi sungguh tidak ada jaminan “kejiwaannya”akan menyanggupi untuk tidak lagi mengulangi posisinya sebagai predator seksual yang mengancam keselamatan anak-anak di masa mendatang.
Justru perkaranya akan menjadi lain, pengebiran malah sebaliknya akan memicu efek brutalisasi. Sehingganya, buat apa juga hukuman pengebiran kemudian diterapkan kalau pada akhirnya tidak mampu menyadarkan pelaku dari kecenderungannya untuk kembali menjadi penjahat? Bukankah pemidanaan sejatinya juga untuk mengembalikan, seorang yang awalnya jahat, lalu dengan proses pemidanaan diharapkan untuk menjadi manusia yang suci, dan baik lagi dalam pergaulan sosial?
Pidana Penjara
Maka dalam konteks ini, niat pemerintah untuk menggulirkan Perppu terkait pengebirian predator seksual anak sepertinya patut dikaji ulang. Sebab di sisi lain hukum positif kita, baik UUD NRI 1945 maupun KUHPidana tidak menyedikan pintu akan penghukuman yang demikian.
UUD NRI sebagai norma tertinggi dalam peraturan perundang-undangan, secara expressive verbis memberikan jaminan bagi setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturuanan berdaasrkan perkawinan yang sah. Termasuk pada hak untuk berbuat atau tidak berbuat atas dirinya sebagai hak asasi. Oleh karena itu sangat musykil, kiranya pengebirian bisa diterapkan. Belum lagi soal lain, bagi istri pelaku misalnya yang juga memiliki hak untuk mendapatkan nafkah batin dari suaminya yang sudah terlanjur dimatikan organ seksualnya. Tidakkah hukuman ini justru merampas hak seorang istri, yang sama sekali tidak terlibat (samenspanning) dalam perbuatan jahat itu?
Hingga pada hukum penitensir yang mengatur masalah pemidanaan (KUHPidana), satupun jenis pemidanaan, juga belumlah mengakomodasi hukuman pengebiran masuk di jenis pemidanaan pokok ataukah jenis pemidanaan tambahan.
Pada hakikatnya hukum positif kita saat ini yang memang belum menyediakan hukuman kebiri bisa mengatasi laku brutal kekerasan seksual anak. Namun kita tidak boleh patah arang mencarikannya solusi hukum “jitu” sembari tetap bersandar pada hukum pidana yang prinsipilnya menjadi deterent effect, peringatan dini bagi calon pelaku kekerasan seksual anak pada masa-masa selanjutnya.
Dalam hemat penulis, toh bukan dengan hukuman mati, bagi pelakunya menjadi teralienasi sebagai hantu yang menakutkan dan bisa merenggut kebahagiaan anak-anak. Bagaimana misalnya dengan menerapkan hukuman seumur hidup, yang sudah menutup pintu kejahatan bagi pelaku, tidak ada kesempatan lagi bergumul di alam bebas yang sewaktu-waktu dikhawatirkan menjadi residivis kekerasan seksual anak? Saya kira penjara seumur hidup lebih cocok.
Ataukah setidak-tidaknya formulasi pengancaman pidana dilakukan pemidanaan yang sekeji-kejinya sesuai dengan kejahatanya yang amat dimurkai (Quae sunt minoris culpae sunt majoris infamiae). Bagaimana caranya? Yakni dengan menerapkan stelsel pengancaman pidana definite sentence. Yakni, stelsel pemidanaan yang bersifat absolut, sehingga tidak dimungkinkan diskresi hakim. Seperti pengancaman pidana penjara selama 20 tahun. Tanpa lagi mengunakan batas antara; sekurang-kurangnya atau sesiangkat-singkatnya, tetapi langsung dipatok harus 20 tahun.
Hanya saja dengan pemberlakuan stelsel pemidanaan definite sentence in qasu a quo, perlu diikuti dengan hukuman tambahan pengumuman putusan hakim, bisa di koran-koran, atau lebih efektinya lagi, pemasangan pengumuman sebagai terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan mengikutsertakan foto-fotonya, mulai di tingkat Provinsi, Kabupaten, Kota, Desa, Kelurahan, RT, hingga di tingkat RW.
Dasar argumentasi pentingnya pengumuman putusan hakim tersebut, agar setiap orang bisa mengetahui aktor-aktor predator kekerasan seksual, sehingga dengan sendirinya orang tua akan mengantisipasi secara dini ”resiko kekerasan seksual” yang akan mengancam anak-anaknya, kapan dan dimana saja.
Revitalisasi Pemasyarakatan
Adakalanya kita menjadi latah, ingin menggampangkan persoalan hukum dengan langkah taktis saja. Tetapi tidak pernah melihat akar penyebabnya. Mengapa mantan narapidana, khususnya yang berasal dari pelaku kejahatan seksual anak, cenderung untuk kembali pada kebiasaannya menjadi penjahat lagi? Sudah efektifkah sistem pemasyarakat kita yang diharapkan untuk: (1) memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri; (2)Membuatnya menjadi jerah melakukan kejahatan-kejahatan;?
Sebagai jawaban sementara, tujuan pemasyarakatan yang terdiri dari: “pengidentifikasian, pembimbingan, asimilasi, dan lepas bersyarat,”dalam probablitasnya” ada yang gagal.
Boleh jadi, sangat wajar untuk mempertanyakan kembali, tidak efektifkah “bimbingan” khusus untuk narapidana pelaku kekerasan seksual anak? Seberapa besarkah dilibatkannya psikiater, psikolog forensik, rohaniawan, totalitas untuk menjadi teman bincang/konseling bagi pelaku-pelaku itu, sehingga jiwa dan pikiran para pelaku, benar-benat telah tersucikan dari tak pantasnya untuk melakukan dosa/kejahatan yang amat sekeji itu.
Andaikata jawabannya, belum maksimal. Maka frekuensi kekerasan seksual anak yang semakin meningkat selama ini, kesalahannya ada di sistem pemasyarakatan. Dan solusinya, segeralah merevitalisasi “pembinaan” pemasyarakatan di setiap Lapas yang sedang dihuni warga binaan, karena statusnya sebagai terpidana kekerasan seksual terhadap anak. Kini pilihannya: revitalisasi ataukah kebiri?