Menghitung Pemidanaan Si Penelantar Anak (UP dan NS)

Penelantaran anak di Cibubur yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri berinisial UP dan NS cukup menyita perhatian publik dua pekan terakhir. Kasus ini membuka mata kita semua betapa tidak menjadi jaminan pangkat akademik selagi berpendidikan tinggi akan menjadi orang tua efektif untuk anak-anaknya.

Alih-alih menjadi orang tua yang baik, justru UP dan NS bertindak sebaliknya. Ayah dan Ibu itu malah menelantarkan anaknya. Parahnya lagi berdasarkan hasil tes urine, keduanya juga dinyatakan positif mengonsumsi Narkoba.

Berdasarkan hasil penyelidikan dan olah TKP akhirnya UP dan NS ditetapkan sebagai tersangka dalam dua dugaan tindak pidana, yakni tindak pidana penelantaran anak dan tindak pidana Narkotika.

Masing-masing dugaan tindak pidana tersebut diatur dalam ketentuan khusus (lex specialist). Tepatnya mereka dikenakan Pasal 112 ayat 2 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UUN). Selain itu dikenakan pula Pasal 77 B Jo (Junto) Pasal 76 B dan Pasal 80 Jo Pasal 76 C Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA).

Taruhlah misalnya UP dan NS kelak terbukti berdasarkan fakta-fakta persidangan lalu dituntut Pasal 112 ayat 2 UUN dan juga dituntut Pasal 77 B Jo Pasal 76 B UUPA.

Pasal 112 ayat 2 menegaskan “dalam hal memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”

Sedangkan Pasal 77 B UUPA menegaskan “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B (menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Tentu yang menimbulkan tanda tanya diantara kita semua dari dugaan perbuatan pidana yang dilakukan UP dan NS: Bagaimana cara menghukum mereka berdua dengan perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri dengan ancaman pidana juga berbeda? Apakah metode penghitungan ancaman pidananya langsung saja ditotalkan? Sehingga UP dan NS dipidana selama 25 tahun. Jawabannya, tidaklah demikian. Berikut ulasan hukumnya.

Sumber Gambar: jephman.wordpress.com

Sumber Gambar: jephman.wordpress.com

Stelsel Pemidanaan

Persoalan mendasar yang perlu diketahui sebelum menaksir hukuman si penelantar anak dan pecandu narkotika a quo, bahwa pelaku di sini melakukan perbuatan lebih dari satu perbuatan pidana, terjadi pembarengan perbuatan pidana yang disebut concursus realis atau meerdaadse samenloop.

Dalam hukum pidana pengaturan tentang metode penghitungan hukuman terhadap pembarengan perbuatan memuat enam ketentuan (Pasal 65 s/d Pasal 70 KUH Pidana).

Untuk dugaaan perbuatan pidana yang dilakukan oleh UP dan NS terkait dengan stelsel pemidanan, terkualifisir berdasarkan Pasal 66 KUHP. Pasal 66 ayat 1 KUHP menegaskan, “dalam hal pembarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimun pidana yang terberat ditambah sepertiga.” Sedangkan Pasal 66 ayat 2 KUHP menegaskan “pidana denda dalam hal itu dihitung menurut lamanya maksimun pidana kurungan pengganti yang ditentukan untuk perbuatan itu.”

Paling tidak berdasarkan konstruksi Pasal 66 KUHP, andaikata UP dan NS tidaklah dijatuhkan hukuman seumur hidup. Berarti dapat dijatuhkan dua pidana pokok. Yakni baik pidana penjara maupun pidana denda.

Untuk pidana penjara tindak pidana Narkotika yang menggunakan stelsel pemidanaan absolut (defenite sentence), in qasu tidak dapat digunakan tuntutan batas tertinggi dari ancaman pidana dalam Pasal 112 ayat 2 UUN, yaitu 20 tahun kemudian diikuti dengan pemberatan ditambah sepertiga. Berdasarkan Pasal 12 ayat 4 KUHP seorang tidak boleh dihukum melebih 20 tahun.

Berarti standar mulai menghitung dari 5 tahun hingga 15 tahun saja. Taruhlah hakim menggunakan angka 6 tahun sebagai standar untuk menambah pemberatan, berarti UP dan NS dipidana penjara selama 9 tahun. Masa 9 tahun tersebut diperoleh berdasarkan batas standar ancaman pidana terberat 6 tahun ditambah sepertiga, sehingga hasilnya menjadi 9 tahun.

Khusus untuk pidana denda in qasu a quo juga dapat dijatuhkan selain pidana penjara, karena ketentuan Pasal 112 ayat 2 UUN terdapat frasa “dan”: “…pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun “dan” pidana denda maksimum…”

Pun dibalik itu UUN, ternyata masih terdapat kemudahan bagi mereka yang terjerat atas keentuan a quo. Bahwa jika tidak mampu membayar denda, cukup memenuhi “kurungan pengganti” paling lama dua tahun (Vide: Pasal 148 UUN).

In concreto, UP dan NS dianalogikan tidak mampu membayar denda, berarti keduanya akan menjalani masa hukuman penambahan dari kurungan pengganti lagi.

Berdasarkan Pasal 148 UUN yang menggunakan frasa “paling lama” berarti UP dan NS dapat menjalani hukuman kurungan pengganti dibawah 2 tahun. Misalnya hakim menggunakan kurungan pengganti selama 5 bulan, berarti jumlah pemidanaan yang akan dijalani oleh UP dan NS selama 9 tahun lima bulan.

Penaksiran hukuman denda ini pada hakikatnya selaras pula dengan penegasan Pasal 66 ayat 2 KUHP sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa terkait pidana denda, maka lamanya adalah “pidana pengganti yang ditentukan” bila pidana denda tindak dipenuhi.

Pencabutan Perwalian

Selain hukuman pidana yang dincamkan kepada UP dan NS. Keduanya juga mendapat hukuman yang lain berupa pencabutan kekuasaan orang tua, lebih konkretnya pencabutan kuasa asuh (Penulis lebih sepakat menggunakan “hak pengasuhan”).

Hanya saja pencabutan hak tersebut tidak bisa melalui proses pidana dengan bersandar pada dua alasan hukum. Pertama, baik dalam UUN maupun dalam UUPA atas pencabutan hak demikian tidak diikutkan dalam masing-masing ketentuan ancaman pidananya, sebagai pidana tambahan. Kedua, terhadap pembolehan pencabutan kekuasaan orang tua tidak boleh dilakukan oleh hakim pidana terhadap orang-orang yang baginya diterapkan undang-undang hukum perdata (Vide: Pasal 37 ayat 2 KUHP). Artinya pencabutan kekuasaan UP dan NS sebagai pengasuh atas kelima anaknya hanya dapat dilakukan melalui penetapan Pengadilan Agama (Pengadilan Negeri jika nonmuslim) dalam kompetensi perdata.

Apapun hasilnya nanti, setelah UP dan NS mempertanggungjawabkan segala perbuatan pidananya, semoga proses pidana akan merehabilitasi dirinya menjadi orang tua (Ayah-Ibu) yang tulus, pengasih, dan penyayang teruntuk sang buah hatinya.*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...