Penyakit “Birokrasi”
Max Weber seorang Sosiolog Jerman awal abad ke-19 menulis karya besar yang dikenal sebagai konsep tipe ideal birokrasi. Konsep ini tidak bicara tentang bagaimana peran birokrasi terhadap politik begitu juga sebaliknya, tapi hanya menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu secara profesional dan rasional dijalankan.
Dewasa ini peran dan fungsi dari birokrasi lebih cenderung berorientasi kepada kepentingan pribadi dan golongan. Padahal sebagai pelayan masyarakat kecenderungan seperti itu tidak perlu ada dalam proses penyelenggaraan pelayanan birokrasi.
Penulis mempunyai pengalaman “pahit” yang dialami oleh masyarakat kelas menengah, pada saat pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) dikantor birokrasi. Saat tiba, memang posisi masyarakat antri untuk mendapatkan pelayanan dari pegawai kantor birokrasi. Ironisnya datang seseorang tanpa perlu mengantri kemudian langsung dilayani oleh pegawai birokrasi, tanpa menunggu waktu yang lama KTP orang tersebut lebih dulu selesai dibandingkan dengan masyarakat yang terlebih dahulu mengantri. Sontak hal ini membuat salah satu dari masyarakat yang mengantri marah karena ketidaksenangannya dengan perilaku pegawai birokrasi itu. Masyarakat tersebut mengatakan “bagaimana Negara kita bisa maju kalau birokrasinya seperti ini” kira-kira begitu keluhan ataupun luapan emosi yang dilontarkan oleh masyarakat tersebut. Setelah mendapatkan perlakuan diskriminatif oleh pegawai birokrasi. Pengalaman harusnya dapat kita jadikan guru yang paling baik. Pepatah itu mungkin tepat untuk dijadikan langkah awal bagi birokrasi dalam melakukan evaluasi guna memperbaiki kinerjanya.
Pada hakekatnya fungsi birokrasi adalah mengatur dan melayani. Tapi, pada kenyatannya fungsi pelayanan belum mendapatkan perhatian. Disebabkan posisi mengaturnya yang lebih dominan dan menonjol. Apalagi kecenderungannya untuk mementingkan pribadi dan golongan (nepotisme). Max Weber dalam pemikirannya menyiratkan pemisahan politik atau pengambilan keputusan dengan administrasi atau pelaksanaan peraturan, diharapkan cabang administratif akan dengan patuh (obey) mengabdi dan melayani rakyat sesungguhnya. Birokrasi ideal semacam ini yang dimaksudkan oleh Weber.
Pemberian “upah” terhadap pelayanan juga masih sering dijumpai dalam birokrasi ketika menyangkut kepentingan, padahal sebagai abdi Negara pegawai birokrasi diberikan “gaji” oleh Negara termasuk hak untuk mendapatkan pensiunan dan pengembangan karir (promosi jabatan) berdasarkan senioritas. Jadi “pamrih” tidak bisa dijadikan dorongan bagi birokasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sehingga semua peluang yang ada digunakan untuk mendapatkan “penghasilan tambahan” apalagi dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, bukankah dalam realitasnya pegawai birokrasi “lebih bergaya” dibandingkan dengan pegawai lainnya. Kalau hal semacam ini terus dibiarkan, ujung-ujungnya masyarakatlah harus membayar mahal untuk mendapatkan pelayanan umum yang diperlukannya.
Dalam realitas sosial memang sulit mengharapkan netralitas birokrasi. Kebijakan public (public policy) yang dikeluarkan birokrasi cenderung bias pada kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas. Orientasi pada status ini berbau feodalisme dan secara tidak langsung menciptakan kelas dalam masyarakat. Sikap diskriminatif inilah yang akhirnya melahirkan perlakuan-perlakuan yang berbeda terhadap segmen-segmen masyarakat tertentu.
Semua masalah diatas tersebut sangat kontradiksi dengan tujuan pembentukan dan fungsi dari birokrasi, karena menimbulkan kesenjangan antara tujuan ideal pembentukan birokrasi dengan aktualisasinya. Padahal birokrasi menjadi dominan karena dualisme fungsi yang dimainkannya, yaitu : sebagai abdi masyarakat, sebagai pelaksana kebijakan pemerintah dan sebagai penentu kebijakan, dan juga kemudian tidak mengalienasi keputusan-keputusan birokrasi dari prinsip-prinsip akuntabilitas. Dimana keputusan birokrasi tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Sebagai abdi masyarakat. Sudah selayaknya birokrasi lebih mementingkan dan mengutamakan kepentingan dan kebutuhan masyaraka. Tanpa membeda-bedakan status yang disandangnya. Fungsi pelayanan harus dijalankan dan dioptimalkan birokrasi guna memberikan haknya kepada masyarakat. Bukankah wajah birokrasi secara umum ditentukan oleh peran birokrasi pelayanan sewaktu menjalankan tugasnya. Dalam menjalankan fungsi pelayanannya kepada masyarakat, birokrasi harus menghindari pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap masyarakat yang dilayani. Sehingga akan menimbulkan dan menjamin perilaku yang adil bagi semua anggota masyarakat.
Birokrasi akan berfungsi sebagai sarana yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan secara efektif dan efisien. Ketika semua karakteristik tersebut dijalankan dengan baik. Sekarang masyarakat pada umumnya tidak lagi membutuhkan pengaturan dari birokrasi. Tapi yang terpenting masyarakat mendapatkan pelayanan. Tanpa adanya sikap diskriminatif dalam birokrasi. Masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah harus mendapatkan pelayanan yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan dan keperluannya. Untuk dapat mengoptimalkan kebutuhan dan keperluan masyarakat. Tentunya diperlukan kesiapan dan kedewasaan dari birokrasi dalam merespon segala tuntutan masyarakatnya. Jangan sampai birokrasi hanya dijadikan “wadah” bagi sekelompok orang untuk terus meningkatkan kesejahteraan hidupnya sendiri.