Narasi Teror dan Kekerasan
Pernahkah kita berpikir? bahwa teror dan rentetan kekerasan yang beruntun dua bulan terakhir ini. Dibalik itu hanyalah rekayasa, skenario, dan permaian (game) dari oknum yang tidak bertanggung jawab. Dalam rangka menciptakan citra dan kesadaran palsu.
Hanya selang beberapa hari pasca konflik KPK Vs Polri. Jutrungnya menggiring Polisi dalam jurang kenistaan. Pada saat yang sama SBY sebagai kepala negara lebih “memihak” pada KPK. Kemudian deretan teror dan rentetan kekerasan tersulut di mana-mana.
Menarik untuk dikaji, adalah fenomena “alienasi” kepolisian oleh Presiden. Sehingga polisi harus berjuang sendiri. Mati-matian untuk memulihkan citranya yang terlanjur buruk di mata publik.
Perjuangan rehabiltasi citra oleh kepolisian nampaknya, tidak membutuhkan durasi yang lama. Bisa dilihat dari fenomena teror dan kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini.
Berawal dari 22 Oktober tiba-tiba terjadi peledakan bom di Poso. Daerah yang dulunya memang dikenal sebagai sarang terorisme. Sekitar pukul 06.15 WITA di pos lalu lintas dekat SMA Kristen, Kelurahan Kasintuvu, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, telah terluka dua orang, yakni polisi lalu lintas Bripda Rusliadi dan Satpam BRI Muhammad Akbar.
Selang lima hari kemudian, 27 Oktober, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri (Densus 88 Antiteror Polri) meringkus 10 terduga teroris sekaligus di empat provinsi, dari DKI Jakarta hingga Jawa Timur. Tiga orang ditangkap di Palmerah, Jakarta Barat. Dua orang di Bogor/ Jawa Barat. Tiga orang di Solo/ Jawa Tengah. Dan dua orang di Madiun/ Jawa Timur.
Dua peristiwa teroris yang terjadis secara beruntun. Rupanya tak cukup bagi kepolisian. Dapat mempegaruhi psikologi masyarakat. Agar berhasil menggiring opini publik. Bahwa fungsi kepolisan sebagai lembaga pengendali stabilitas negara masih dianggap penting. Jangan pernah remehkan polisi.
Tidak sampai peritiwa teror saja sang “sutradara” memerankan skenario-skenario itu. Lagi-lagi peristiwa kekerasan layaknya sengaja direkayasa, diciptakan, dan dikondisikan didua tempat yang berbeda.
Pertama, lokasinya di Lampung. Meskipun Lampung telah lama dikenal sebagai kota yang nyaman, jauh dari hiruk-pikuk kekerasan. Namun ironisnya pada Minggu 2 Oktober, perang antar kampung yang berbeda suku terjadi di sana. Penyebabnya dipicu oleh pelecehan terhadap dua gadis warga Desa Agom oleh pemuda Desa Balinuraga. Warga Desa Agom meminta pertanggungjawaban atas pelecehan itu. Insiden ini menyebabkan empat orang tewas, puluhan lainnya luka-luka dan sejumlah rumah pun dibakar massa.
Lokasi yang kedua, di Provinsi SULTENG, perang antar warga kembali pecah di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Kejadian yang berlangsung pada Minggu 4 November malam itu, setidaknya membuat sekitar 15 rumah dibakar. Bentrokan tersebut diduga dipicu perselisihan dua pemuda yang akhirnya meluas hingga berujung ke tawuran. Ratusan pemuda yang terlibat tawuran menggunakan parang, tombak, ketapel, dan senjata api rakitan.
Narasi
Memang tidak ada yang salah dengan pemberantasan terorisme. Pemberantasan kekerasan oleh Polisi. Jika dilihat dalam kacamata perspektif kepentingan nasional. Karena terorisme dan kekerasan telah mengoyak kepentingan keamanan vital nasional. Termasuk menelan korban yang tak berdosa.
Tapi menarik untuk disimak, rentatan teror dan kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Karena bertepatan dengan kisruh KPK vs Polri yang akhirnya menggiring pada pencitraan polri. Yang kian hari semakin memudar.
Tidak dapat dinafikkan bahwa teror serta kekerasan yang beruntun itu kemungkinan adanya sebuah narasi yang tersembunyi. Momen yang kebetulan (coincidence). Dari beberapa peristwa teror dan kekerasan yang terjadi secara bruntun.
Narasi yang tersembunyi itu adalah teror dan kekerasan, seolah-oleh sengaja diciptakan oleh oknum polisi yang tidak bertanggung jawab. Hanya semata untuk mengembalikan atau memulihkan citra lembaganya. Maka inilah yang disebut narasi terorisme, narasi kekerasan, simulasi teror, simulasi kekerasan.
Teror dan kekerasan dirancang serta dinarasikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Namun hati nurani dan mata publik melihat. Seolah bertanya, kenapa setiap penangkapan pelaku teror, yang terlihat di media (dalam acara konfrensi) hanya sisa-sisa dari pelaku kejahatan teror ? Langung ada mayat, korban yang berjatuhan baik dari pihak polisi maupun dari pihak teroris. Langsung ada barang bukti, bahan racikan bom, seperti tabung gas, uranium, foto sang buron, dan lain-lain.
Barang-barang bukti itu kemudian disorot oleh puluhan kamera wartawan. Namun dugaan lain berkata. Jangan-jangan semua bukti-bukti pelaku teror itu hanya skenario dan narasi yang tersembunyi (absurd) oleh polisi. Karena Publik malah beropini. Justeru katanya bom itu/ senjata yang tertanam itu. Dan ditemukan oleh polisi adalah mereka sendiri yang menyimpan dan menanan senjata itu di sebuah lokasi yang tak terdeteksi.
Dalam ranah kekerasan di Lampung dan Sigit misalnya. Kenapa juga kekerasan yang terjadi di Lampung dan di Sigit sengaja dibiarkan berlarut-larut. Hingga menelan korban dan kerugian materil. Ada kesan Polisi sengaja terlambat datang. Karena siapa yang dapat menghentikan konflik yang dilatari persoalan sepeleh. Kemudian digiring ke isu etnis. Kalau bukan kepolisian.
Narasi teror dan narasi kekerasan. Adalah sebuah narasi yang“absurd”. Namun mata dan analisis perlu semakin dipertajam, karena Narasi tersebut tiada lain adalah pembentukan citra palsu (false image). Dan kesadaran yang dihasilkannya juga adalah kesadaran palsu (false Conscciousness).
Fenomena semacam ini bukanlah teror murni tetapi simulasi teror. Bukanlah kekerasan murni melainkan simulasi kekerasan, yang dibina dan sengaja diciptakan karena memang kondisi masyarakat kita. Adalah masyarakat yang heterogen.
Akhirnya dalam dunia realitas seperti ini. Melihat gejala teror dalam tabir gelap, dalam kepalsuan, dan serba abu-abu. Masyarakat perlu diajarkan membaca gejala-gejala, menafsirkan tanda-tanda (sign). Komunikasi massa harus digalakkan untuk menyingkap deviasi citra, kebohongan dan pemalsuan kebenaran.
Masyarakat harus lihai melihat permainan “oknum” tertentu dalam menarasikan teror dan kekerasan. Teror yang sengaja dikemas dengan ideologi, etnis dan agama tertentu. Karena kita tidak mau terjebak dalam pusaran kekerasan. Hanya karena mesin politik telah bercampur baur dengan mesin teror serta mesin-mesin kekerasan.***