Penguatan Parlemen: Menuju Sistem Otoriter Era Reformasi

Pasca jatuhnya rezim Orde Baru yang di “nahkodai” oleh Pak Harto, Indonesia mengalami transisi politik yang cukup “menyeramkan” di Era Reformasi, tanpa penanaman nilai-nilai demokrasi yang notabene adalah produk kapitalisme barat, bangsa Indonesia bergejolak, dan berada dalam euforia politik yang “menakutkan”. Kebebasan Politik, budaya, serta agama, merupakan legalisasi masuknya nilai-nilai barat ke Indonesia, yang berarti, liberalisasi besar-besaran.

Euforia ini, jika tidak dikendalikan akan berdampak dan mempunyai potensi terhadap disintegritas sebuah bangsa. Contohnya, sistem multipartai yang dalam pelaksanaan pemilihan umum kerap kali “menipu” rakyat dengan “jual-jualan” image partai, ketika partai A mengatakan paling bersih dan paling peduli terhadap rakyat, maka disaat itupula datang partai B dengan slogan tak jauh berbeda, hal ini akan terus ber-metamorfosis secara continue tanpa ada tujuan jelas, dan tentunya bagi kontestan pemenang pemilu, penerapan sistem otoriter terbuka lebar. Contoh lainnya, ketika rakyat tidak dapat menilai para pemimpinnya secara rasional, maka tidak ada kecerdasan yang terdapat pada elit-elit politik.

Parlemen sebagai sebuah lembaga rakyat yang “suci” harus mampu melahirkan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat dan anti penindasan terhadap rakyat, oleh sebabnya, para elit yang berada dalam parlemen harus cerdas dan sensitif terhadap nasib dan kelangsungan hidup rakyatnya. Saat ini pragmatisme elit parlemen semakin menjadi-jadi, hari ini berkata: “Kita ini dipilih rakyat, jadi kita milik rakyat”, seminggu kemudian menjadi “penjilat”, hal ini bisa dialami oleh elit yang tidak memiliki power politik di parlemen dan cenderung memiliki kedekatan dengan penguasa.

Bagi sebagian rakyat “awam”, tingkah laku para elit politik di parlemen adalah biasa-biasa saja, tapi bagi rakyat yang mempunyai kualitas secara intelektual, elit politik parlemen adalah “tikus-tikus” yang tidak mereka pilih dalam hajatan demokrasi, akan tetapi berkat vote rakyat “awam” melenggang mulus menjadi wakil mereka di parlemen. Dalam keadaan seperti ini menjadi evaluasi kritis bagi para intelektual-intelektual untuk “melawan” penerapan dan pembiaran “kebodohan” yang melilit bangsa ini.

Koalisi besar yang dilakukan Partai Demokrat pada pemilu Presiden 2009 yang berhasil mendudukkan SBY sebagai Presiden, mempunyai potensi mengalienasi kepentingan rakyat dan lebih mengedepankan kepentingan kelompok, Partai Demokrat dan mitra koalisinya merupakan mayoritas dalam parlemen, sedangkan mayoritas yang tidak menghargai hak-hak kebebasan minoritas justru merupakan ancaman terhadap eksistensi demokrasi itu sendiri.[1] Inilah yang perlu dikhawatirkan oleh bangsa Indonesia, bisa jadi ini adalah jalan menuju sistem otoriter Era Reformasi.

Penguatan Parlemen adalah terusan dari kesepakatan koalisi sebelum pemilu, perbedaan mendasar ada pada substansi perjuangannya, kalau koalisi partai politik perspektifnya adalah bagaimana menyatukan visi dan misi masing-masing partai, kemudian menggabungkan kekuatan dalam menghadapi serta memenangkan pemilu, sedangkan pengutan parlemen adalah penguatan fraksi-fraksi di parlemen dengan tujuan “menjaga” dan “mengawal” kebijakan-kebijakan.


[1] Muhammad Taufiq. Terorisme Dalam Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2005.  Hal. 14

Novalliansyah Abdussamad, S.IP.

DOSEN FISIP UNISAN GORONTALO

You may also like...