Operasi Tangkap Tangan? (Tanggapan Balik Atas Tulisan Edi Abdullah, S.H., M.H.)

Tulisan saya di Tribun Timur, Edisi 30 Januari 2017 ditanggapi oleh Edi Abdullah, S.H., M.H., dihalaman tribun yang sama, edisi 31 Januari 2017  (“Alhamdulillah, semoga saya tidak salah menuliskan beliau”), seorang pakar hukum, bergelar Magister Hukum. Patut diapresiasi tanggapan beliau, sebab dari tulisannya memacu saya untuk lebih banyak belajar lagi.

Saya menilai tanggapan bang Edi jauh dari kedalaman substansi tulisan saya yang mencoba menyingkap beberapa aktor lain yang kemungkinan besarnya sebagai pelaku tindak pidana suap pula dalam proses lahirnya hingga diimplementasikannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan tersebut, sebagaimana terkait dengan dugaan suap atas Patrialis Akbar (PAK) Basuki Hariman (BHR), karena UU a quo sedang diuji materilkan di MK.

Singkatnya, tanggapan bang Edi, semata-mata tidak hanya tertuju kepada saya saja, akan tetapi termasuk kepada beberapa media yang acapkali menggunakan istilah Operasi Tangkap Tangan.

Beberapa tulisan pakar hukum, di media nasional: Eddy OS  Hiariedj, Mahfud MD, dan Marwan Mas, sudah sering pula sebenarnya menggunakan istilah tersebut, istilah Operasi Tangkap Tangan. (Baca tulisan Eddy OS Hiariej, “Operasi Tangkap Tangan.” 7 Oktober 2013, Kompas; Baca juga tulisan Mahfud MD, “Akbarnya Patrialis,” 29 Januari 2017, Sindo; Baca juga tulisan Marwan Mas, “Hakim Konstititusi Tak Gentar,” 30 Januari 2017).

Sumber Gambar: Tribunnews.com

Sumber Gambar: Tribunnews.com

OTT

Dalam tulisan saya, sama sekali tidak mengatakan PAK tertangkap tangan oleh KPK. Saya menuliskan kalimat “…”Operasi Tangkap Tangan (OTT)” yang menyeret PAK….”

Kiranya istilah tertangkap tangan (dalam KUHAP) dan Operasi Tangkap Tangan perlu dibedakan, termasuk istilah “tangkap” dengan “tertangkap” perlu dibedakan pula dari terminnya, agar Bang Edi bisa memahami betapa pentingnya proses hukum acara atau hukum pidana formil mengalami perkembangan ketika modus operandi sebuah kejahatan berkembang.

Seorang pakar hukum sekaliber Bang Edi, seharusnya teliti dan tidak terpenjara dengan Undang-undang semata, tetapi harus memikirkan juga dinamisnya perkembangan kejahatan sehingga membawa pada konsekuensi perubahan “politik hukum pidana,”  baik pada hukum pidana materil maupun hukum pidana formil.

Saya tidak mengerti, bang Edi sebagai pakar hukum berada di aliran pemikiran hukum yang mana, entah aliran pemikiran hukum yang positivistik atau aliran pemikiran hukum realis (empiris). Sebab diawal tulisannya yang terkesan menanggapi tulisan saya, sangat terpaku pada pengertian tertangkap tangan dalam KUHAP, namun di akhir tulisannya ia menekankan pentingnya elemen hukum  (aturan, penegak hukum, dan masyarakat) dalam mencapai hukum yang berkeadilan. Selebihnya, Bang Edi hanya menuliskan rekam jejak PAK yang tidak perlu saya tanggapi.

Saya mengakui bahwa dalam KUHAP maupun dalam Undang-undang KPK, sedari dulu memang tidak ada istilah Operasi Tangkap Tangan. Satu-satunya pendefenisian hanya istilah “tertangkap tangan” sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 18 KUHAP.

Namun hingga sekarang saya tetap berpendirian bahwa PAK terjaring Operasi Tangkap Tangan. Tertangkap dalam Pasal 1 angka 18 KUHAP menunjukan pada arti “keadaan” (sedang melakukan tindak pidana, telah melakukan tindak pidana, diserukan oleh khalayak sebagai pelaku tindak pidana, ditemukan benda yang diduga keras telah digunakannya untuk melakukan tindak pidana). Sedangkan istilah “tangkap” saja menunjukan sebagai kata kerja (pekerjaan, kewenangan) kepada pejabat berwenang “untuk melakukan penangkapan.” Sehingga dengan terdapatnya kalimat yang mendahului “tangkap tangan” yaitu kata “operasi” berarti Operasi Tangkap Tangan menunjukan pada proses atau tindakan yang lebih awal dilakukan oleh KPK sebelum melakukan penangkapan.

Tindakan apakah yang harus dilakukan oleh KPK sebelum melakukan penangkapan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana penyuapan? Di sinilah yang menjadi nilai pembedanya kejahatan korupsi sehingga kerap digolongkan sebagai extra ordinary yang penanganannya harus dengan cara ekstra pula, KPK diberikan keistimewaan (kewenangan khusus) dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan, kalau sekiranya terdapat seseorang yang diduga sedang atau memulai tindak pidana suap-menyuap (Pasal12 ayat 1 huruf a UU KPK)

Bang Edi harus pintar-pintar melihat rangkaian suatu peristiwa kejahatan, agar tidak selamanya terkungkung dalam pikiran tekstualnya, bahwa pada dasarnya tidak memungkinkan semua kejahatan bisa tertangkap tangan pelakunya. Bang Edi silahkan merenungkannya sendiri, bagamaina peristiwanya, sehingga seorang pejabat dapat tertangkap tangan sedang disuap?

Pada kenyataannya, tindak pidana penyuapan amat sulit bagi pelakunya tertangkap tangan. Oleh karena biasanya antara pemberi suap sebagai causa proxioma dan penerima suap selalu melakukan silent operation untuk mewujudkan kejahatannya. Bahkan sedapat mungkin dari yang menyuap dan yang disuap akan meniadakan bukti-bukti kalau tindak pidana tersebut telah dilakukan (Eddy OS Hiariej: 2017). Dalam konteks inilah, untuk memberantas praktik korupsi seperti suap-menyuap haruslah dilakukan dengan silent operation, yaitu dengan melalui penyadapan sebagai bagian dari tahapan Operasi Tangkap Tangan.

Operasi Tangkap Tangan bertujuan mengkonkretkan serangkaian tindakan penyadapan yang telah dilakukan sebelumnya, sehingga bukti permulaan yang diperoleh akan menjadi bukti permulaan yang cukup. Dalam arti perkara tersebut sudah siap, adequate untuk diproses secara pidana karena memiliki minimal dua alat bukti.

Syarat Penangkapan

Permasalahan selanjutnya dalam hal Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan oleh KPK: Apakah KPK perlu atau dipersyaratkan untuk memperlihatkan surat tugas dan menyerahkan surat perintah penangkapan kepada seorang yang diduga sebagai pelaku dalam tindak pidana suap? Ini sangat jauh  dan (mungkin) tidak pernah terlintas dari pemikiran bang Edi sebagai pakar hukum. Sayang sekali ruang tulisan ini terbatas, padahal saya ingin menjelaskan pula esensi dari pada asas praduga bersalah dan praduga tak bersalah yang kemungkinannya belum dipahami baik-baik oleh Bang Edi.

Terangnya, Surat Tugas dan Surat Perintah Penangkapan itu haruslah disediakan oleh KPK sebelum menangkap seseorang. Sebab selain “Operasi Tangkap Tangan” itu yang memang bukan bagian dari pengertian tertangkap tangan berdasarkan KUHAP, oleh KPK sebenarnya juga telah memiliki waktu yang lebih banyak untuk menyediakan Surat Tugas dan Surat Perintah Penangkapan disaat melakukan tindakan “operasi” berupa penyadapan, termasuk di saat membuntuti sang pelaku sampai mewujudkan tindak pidana suap-menyuapnya.

Surat Tugas bagi penyelidik KPK, dan Surat Perintah Penangkapan yang harus diberikan kepada sesorang yang diduga keras melakukan tindak pidana suap (korupsi) adalah hak yang terkait dengan jaminan akan kepastian hukum, sebelum ia dibawah untuk diperiksa selama 24 jam. Dengan lengkapnya surat tugas dan surat perintah penangkapan bagi penyelidik KPK, juga menguntungkan bagi KPK sendiri, ketika tersangka hendak mengajukan upaya praperadilan.*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...