Hak atas Tanah Bagi Masyarakat Daerah Pesisir

Sumber Gambar: mongabay.co.id

Sebagai salah satu bentuk dari pelaksanaan prioritas pemerintah di bidang reforma agraria, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bermaksud memberikan hak atas tanah bagi masyarakat yang bermukim di perairan pesisir. Maksud tersebut terlihat dari diskusi-diskusi Road to Wakatobi, Gugus Tugas Reforma Agraria Summit 2022 berdasarkan studi kasus pemukiman di atas air di Kepulauan Riau dan Suku Bajo.

Perdebatannya adalah apakah ada hak atas tanah di perairan pesisir? Dan apakah Kementerian ATR/BPN dalam pemberian hak atas tanah di perairan pesisir harus berdasarkan perizinan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan?

*Konstitusionalitas*

Hukum agraria di Indonesia tidak berorientasi daratan saja. UUD 1945 menyatakan, ”Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.” Selanjutnya, UUD 1945 juga menyatakan ”negara kepulauan yang berciri Nusantara”. Adapun UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) menyatakan, ”Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.”

Kesatuan tanah, air, dan rakyat dalam negara bangsa kepulauan dalam kenyataannya ada yang berupa masyarakat (lokal, tradisional, dan adat) yang bermukim dan berpenghidupan di atas perairan pesisir secara turun-temurun. Berdasarkan kenyataan tersebut, negara sudah seharusya memberikan pengakuan terhadap hak-hak tersebut tanpa proses perizinan.

Pemberian hak atas tanah bagi masyarakat yang bermukim di perairan dimungkinkan berdasarkan Pasal 1 UUPA 1960 yang menyatakan bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air, serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi. Pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.

Struktur pemukiman masyarakat di perairan pesisir posisinya di permukaan air, dengan kayu tonggak penyangga yang terletak di kolom air, dan tertancap di tanah di bawah kolom air. Tonggak yang tertancap di tanah di bawah air inilah yang menunjukkan adanya penguasaan dan penggunaan tanah di bawah perairan pesisir.

Problemnya adalah PP No 8/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, serta PP No 43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak atas Tanah, keduanya adalah aturan pelaksana dari UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, telah mempersyaratkan bahwa pemberian hak atas tanah di perairan pesisir harus berdasarkan perizinan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Hal yang harus digarisbawahi di sini adalah UU Cipta Kerja mengatur tentang kemudahan perizinan dan kemudahan berusaha, bukan dalam rangka mengatur pengakuan hak atas tanah masyarakat di perairan pesisir. Di sisi lain, UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat termasuk aturan pelaksananya.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil yang menghapus HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) adalah salah besar jika diartikan larangan pemberian hak bagi masyarakat adat di perairan pesisir. Sebab, yang dilarang adalah pemberian konsesi agraria di perairan pesisir yang dapat menimbulkan pengkavlingan atau privatisasi, diskriminasi secara tidak langsung, menghilangkan hak tradisional yang bersifat turun temurun, dan mengancam penghidupan nelayan.

Perubahan HP3 menjadi izin, kemudian diubah oleh UU Cipta Kerja menjadi perizinan berusaha, tetaplah tidak boleh melanggar koridor yang telah diputuskan oleh MK yang merupakan konstitusionalitas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu: Tidak menghilangkan penguasaan negara, dapat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, pengusahaannya tidak boleh mengabaikan hak individu, hak kolektif, hak masyarakat adat dan hak-hak lain yang dilindungi konstitusi serta hak badan usaha, dan pengusahaannya tidak boleh mengabaikan kearifan lokal, atau nilai-nilai luhur yang masih berlaku.

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa adanya hak-hak masyarakat yang bermukim di perairan pesisir harus mendapat pengakuan dari negara. Pengakuan hak tersebut bukanlah pemberian perizinan berusaha, bahkan perizinan berusaha tidak boleh melanggar hak-hak masyarakat yang bermukim di perairan pesisir.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat merealisasikan hal tersebut di atas di dalam perencanaan perairan pesisir. Pembentukan perencanaan perairan pesisir, sebagaimana putusan MK dalam pengujan UU No 27/2007, haruslah melibatkan peran serta masyarakat.

Di dalam putusan MK tersebut dinyatakan bahwa tidak mendudukkan masyarakat sebagai peserta musyawarah melanggar hak-hak konstitusional yang potensial, yaitu 1) pembungkaman hak masyarakat; 2) pelanggaran hak publik di kemudian hari; 3) perlakuan yang membedakan; dan 4) mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memajukan dirinya dan memperjuangkan haknya secara kolektif

Putusan tersebut kini juga diperkuat dengan putusan MK dalam pengujian UU Cipta Kerja terkait partisipasi masyarakat yang lebih bermakna, yaitu hak rakyat untuk didengar pendapatnya; hak untuk dipertimbangkan pendapatnya; dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

*Reforma agraria perairan*

Pengakuan hak masyarakat di perairan pesisir dalam kerangka reforma agraria tidak hanya berhenti pada pemberian hak atas tanah tempat masyarakat bermukim di perairan pesisir. Pengakuan juga harus diberikan untuk ulayat laut dan teritori nelayan tradisional yang didukung pembaruan tata kelola perairan pesisir, laut, dan wilayah penangkapan perikanan yang memungkinkan akses yang berkeadilan bagi masyarakat adat, nelayan kecil, nelayan tradisional dan BUMDesa dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil serta perairan Indonesia.

Hal sebagaimana tersebut di atas sesungguhnya akan mendorong partisipasi masyarakat perdesaan pesisir dalam menjaga kedaulatan efektif di perairan dan pulau pulau kecil terluar, penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi, pelestarian ekosistem perairan, dan SAR di perairan.

 

Oleh:

GUNAWAN ; Penasihat Senior IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), Steering Committee KNPK (Komite Nasional Pertanian Keluarga), Dewan Nasional SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit), dan Dewan Pengawas Bina Desa

KOMPAS, 14 Maret 2022

Sumber: : https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/12/hak-atas-tanah-bagi-masyarakat-di-perairan-pesisir

You may also like...