Prematur Demokrasi

Tuntutan rakyat akibat akumulasi kekecewaan yang besar terhadap kepemimpinan Soeharto yang dinilai sebagai pemimpin diktator dan krisis ekonomi yang parah diwaktu itu memaksa Soeharto lengser dari tampuk kekuasaannya, gerakan-gerakan sosial seluruh rakyat diakomodasi oleh kepentingan mereformasi pemerintahan ke sistem demokrasi adalah harga mati bagi rakyat Indonesia saat itu.

Sangat jelas penyebabnya Indonesia dikatakan sebagai negara demokrasi yang lahir secara prematur, diawali dengan pergeseran kekuasaan Presiden Soeharto (Orde Baru) ke Habibie (Era Reformasi) maka berubah pula kondisi pemerintahan Indonesia. Habibie pada saat itu diharapkan mampu mengembalikan situasi ekonomi-politik dalam negeri. Akan tetapi, ketidakpercayaan masyarakat akan kepemimpinan Habibie membuat kekuasaannya pada saat itu mengalami krisis legitimasi. Tak banyak kelebihan yang dimiliki oleh Habibie untuk menopang legitimasinya selain bahwa dirinya adalah anak emas Soeharto, yang disuatu ketika pernah menyebut sang diktator sebagai “mentor politik”-nya.[1]

Otonomi Daerah mungkin menjadi prestasi dan pengakuan perwujudan hak rakyat yang dilakukan Habibie, akan tetapi otonomi daerah juga banyak menimbulkan masalah-masalah di daerah. Otonomi daerah “setengah hati” yang diberikan pemerintah pusat adalah gambaran buruk bagi lahirnya demokrasi di Indonesia. Perbaikan birokrasi melalui penerapan pelayanan publik yang baik guna mensejahterakan rakyat masuk dalam hal perpolitikan nasional juga merupakan bagian dari upaya kemandirian bangsa ini menghadapi reformasi sesungguhnya.

Sejak kelahirannya pada tahun 1998, Indonesia sudah mempunyai pra syarat untuk menjadi negara penganut demokrasi, seperti adanya partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, serta lembaga yudikatif. Dalam UUD 45 juga sudah tersirat “Kedaulatan Ditangan Rakyat” yang berarti kuasa rakyat untuk melakukan kontrol atas sistem politik yang ada wajib hukumnya, dan kekuasaan harus tunduk pada kuasa suara rakyat.

Masih “Menyusui”

            Ada pertanyaan yang mungkin menyesakkan dada dalam setiap kita menghela nafas dan disaat itupula pertanyaan dilontarkan, yakni: “Jika Amerika Serikat membutuhkan waktu lebih dari satu abad untuk menjadi “Bapaknya Demokrasi”, kira-kira Indonesia butuh waktu berapa lama untuk menjadi “Keponakannya” ? pertanyaan ini mungkin bisa dijawab dengan logika yang sifatnya prediktif, bahkan orang “awam” pun akan tertawa ketika diberi pertanyaan seperti itu. Sebagai sebuah bangsa yang besar, Indonesia seharusnya mampu menunjukkan kedewasaannya dalam berpolitik, sebagai perumpamaan, seorang bayi yang baru lahir ke dunia masih membutuhkan ASI (air susu ibu) untuk kelangsungan hidupnya, sampai saat ini penulis dalam kehidupan nyata tidak pernah melihat, mendengar, bahkan dalam mimpi sekalipun belum pernah berjumpa dengan bayi yang sejak lahir tidak menyusui dan langsung bisa berlari-lari layaknya manusia dewasa, nah, dalam konteks kenegaraan, bangsa Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru, tepatnya memasuki Era Reformasi, bangsa Indonesia terburu-buru untuk melakukan reformasi total yang bersifat fundamental, dari segi politik, Indonesia pada saat itu masih mengalami “trauma” atas “pemasungan” yang diberlakukan pada zaman Soeharto dengan tindakan represifnya, pengerahan aparat keamanan untuk mengawasi masyarakat dalam menyuarakan hak-hak politiknya. Pada segi pranata sosial, Horton dan Hunt mengartikan pranata sosial sebagai suatu hubungan sosial yang terorganisir yang memperlihatkan nilai-nilai dan prosedur-prosedur yang sama dan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar teertentu dalam masyarakat, bangsa Indonesia terlalu cenderung berada pada posisi dilematis akibat kesenjangan sosial yang terlalu lebar dan merupakan dampak dari penumpukan harta yang dilakukan oleh penguasa pada saat itu. Birokrasi mempunyai peran yang penting pada proses transisi tersebut, tidak bisa dibayangkan seandainya pada saat itu pemerintahan birokrasi tidak memainkan peran politiknya, dalam kondisi seperti ini seharusnya rakyat Indonesia masih terus “menyusui” agar dapat berdiri sebagai kesatuan bangsa yang besar, dengan harapan bisa menjadi “Keponakannya” Amerika Serikat dalam hal demokrasi.

            Negara tidak memiliki legitimasi dihadapan rakyatnya, kekacauan politik, sosial, dan ekonomi yang disebabkan oleh paksaan negara terhadap rakyatnya melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini disebabkan oleh karena negara tidak mampu memainkan peranan penting dalam mengatur, menertibkan, dan mendisiplinkan masyarakat. negara berdiri berada dalam satu krisis sejarah politik pasca Orde Baru yang digugat sehingga ada ketakutan-ketakutan dan ketidakpercayaan diri, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Konsep negara seperti yang diteorikan oleh Weber, yakni satu institusi yang berhasil memiliki manopoli hukum untuk menggunakan kekerasan fisik di suatu wilayah tertentu, dan menjadi praktik bernegara di Indonesia pada masa Orde Baru telah mengalami perubahan.

            Sebagai negara demokratis, negara wajib menjamin kelangsungan hidup rakyatnya, rakyat tidak bisa dibiarkan hidup dalam kesusahan, kemelaratan, serta ketertindasan dari negara. Rakyat sebagai objek pembangunan dalam sebuah negara harus dapat dilihat secara objektif sehingga ada jaminan Hak Asasi Manusia (HAM), Reformasi yang didalamnya terdapat hak rakyat dan kewajiban negara, amandemen Undang Undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengatur semakin tegas mengenai hak asasi manusia di dalam Pasal 28A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Artinya, kepada siapapun, diberikan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya, ketika hak tersebut hendak/sedang/telah dirampas oleh orang lain. Penyempurnaan ketentuan tersebut, terdapat pada ketentuan Pasal 28C ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Jadi, jelas tanggung jawab negara untuk menghilangkan ketakutan yang ada pada rakyatnya. Rakyat adalah objek mendasar dan menjadikan tujuan negara untuk melaksanakan kewajibannya sebagaimana diamanatkan Undang-Undang, rakyat harus dilihat secara universal, rakyat adalah warga negara yang harus dihormati, rakyat tidak boleh menjadi korban pelanggaran Undang-Undang yang dilakukan oleh elit politik.


[1] Abdul Gaffar Karim. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2006. Hal. xvii

Novalliansyah Abdussamad, S.IP.

DOSEN FISIP UNISAN GORONTALO

You may also like...