Krisis Demokrasi Penundaan Pemilu

Sumber Gambar: modusaceh

 

KONFLIK Ukraina akibat agresi Rusia telah melahirkan situasi krisis di wilayah Baltik, Kaukasia, Asia Tengah, hingga Eropa Timur. Konflik itu sendiri tidak mudah ditunggalkan hanya pada casus belli 24 Februari 2022, yaitu ketika Moskow memerintahkan operasi militer ke bekas republiknya itu. Ada sejarah panjang hubungan Rusia dan Ukraina yang telah berumur lebih satu milenium yang tidak dipahami Amerika Serikat dan NATO.

*Pembusukan demokrasi*

Namun, 9.500 km jarak dari Kiev, di Jakarta beberapa elite partai politik mulai memunculkan ‘krisis baru’ dengan wacana penundaan Pemilu 2024. Wacana itu dimulai dari pernyataan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dilanjutkan oleh Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, dan terakhir Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan.

Ketiga ketua partai politik itu menunjukkan argumentasi bahwa perpajangan masa pemerintahan presiden sebagai hal normal. Hal ini berbeda dengan perasaan publik dan pejuang demokrasi bahwa pernyataan itu sebagai momentum kritis demokrasi, ketika demokrasi dibajak oleh elite untuk demi kepentingan oportunisme dan pragmatisme politik.

Gagasan yang tidak lazim dalam konteks demokrasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga menjalar di beberapa negara pada era milenium ketiga ini. Penyebabnya bukan saja akibat terdampak pandemi covid-19 ketika ide penyelamatan nasional dikedepankan bila dibandingkan dengan mempertahankan etika global seperti demokrasi, antikorupsi, dan penyelamatan lingkungan hidup. Masalah covid-19 mulai mengorbankan nilai-nilai demokrasi mereka.

Namun, jika diselisik lebih dalam, wacana mengorbankan demokrasi demi penanganan multiplikasi dampak covid sering hanya dalih dari rezim neoliberal yang dengan enteng menyebutkan ide-ide kebebasan sipil dan demokrasi bisa dikalahkan oleh tuntutan kesehatan publik (Colleen M Flood, (ed), 2020).

Di beberapa negara demokratis seperti Australia, Selandia Baru, Jerman, Prancis, dan Austria telah muncul pembangkangan sipil hingga penolakan kampanye vaksin oleh pemerintah yang dianggap tidak bisa mengukur keberhasilan pembiakan imunitas masyarakat (herd immunity). Di Indonesia sendiri, pada kasus vaksin dan swab sempat beredar isu kartel sehingga dianggap bagian dari komersialiasi paspor vaksin dan politisasi kebijakan kesehatan.

Artinya, tanpa covid-19 pun demokrasi memang mulai diserang oleh wacana oligarki dan otoriterisme yang titik respirasinya malah berasal dari pemimpin yang dipilih melalui pemilu. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) melihat bahwa sejak milenium ketiga mulai muncul anomali dari sistem pemilu yang alih-alih melahirkan kaum demokrat, yang hadir malah kaum ‘autokrat’ yang membajak demokrasi melalui ide populisme, karismatisme, oligarki, dan otoriterisme. Itu terlihat pada model pemerintahan Chávez di Venezuela dan juga dalam bentangan layar pemerintahan di Georgia, Hongaria, Peru, Polandia, Rusia, Turki, dan Ukraina. Yang paling parah ialah lahirnya presiden yang sama sekali bisa mengabaikan konstitusi seperti Donald Trump yang menyebabkan demokrasi malah meranggas dari negeri yang memeloporinya.

*Mutan antidemokrasi*

Memang wacana memperpanjang jabatan presiden dan penundaan pemilu ini ibarat mutan yang mulai kebal oleh nilai-nilai demokrasi. Sejak Jokowi berhasil terpilih kedua kali dalam jabatan presiden, mulai muncul kegamangan siapa yang akan melanjutkan pembangunan ala teknokratis ini. Akhirnya muncul gagasan absurd terkait politik karismatisme bahwa Jokowi memang tidak tergantikan.

Namun, apa pun justifikasinya, memperpanjang jabatan presiden sebagai kompromi presiden tiga periode sama dengan kembali pada romantisme politik ‘orang kuat’. Itu sama dengan mempertebal wacana antidemokrasi dengan menghidupkan otoriterisme dan populisme. Sosok-sosok yang dielukan di awal reformasi negaranya seperti Soeharto, Chavez, Erdogan, atau Putin akhirnya menjadi otoriter yang tidak menginginkan pergantian kekuasaan.

Hasil penelitian kuantitatif Lembaga Survei Nasional (LSI) 25 Februari – 1 Maret 2022 menunjukkan bahwa kepuasan terhadap kinerja Jokowi memang cukup besar, dan tertinggi pada November-Desember 2021 (72%-71,4%). Namun, sebagian besar publik tidak setuju dengan ide perpanjangan kekuasaan presiden. Publik menganggap Jokowi harus mengakhiri kekuasaannya pada 2024 (70,7%).

Jadi jelas wacana ini tidak berasal dari akar rumput, tapi dari elite. Ketika Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) mengemukakan bahwa 110 juta netizen setuju penundaan pemilu, terlihat sisi delusionalnya. Dari mana klaim ini sahih secara ilmiah, dan sejak kapan warganet bisa mengganti demos dan warga negara (citizen) bicara hal paling fundamental, yaitu mengganti konstitusi?

Harusnya respons warga digital digunakan untuk mengkritik problem kebijakan pemerintah yang belum menyejahterakan, dan tidak dibelokkan pada klaim-klaim antidemokrasi seperti menunda pemilu dan jabatan presiden tiga periode, sebagaimana pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Pandangan LBP menunjukkan bahwa autokrat sedang bekerja untuk memberangus demokrasi yang diperjuangkan reformasi 1998.

Padahal, Jokowi sendiri pernah menyatakan bahwa usulan jabatan presiden tiga periode sama dengan menampar mukanya, hanya digunakan oleh orang yang sedang cari muka kepadanya. Jangan sampai tamparan itu benar-benar terjadi. Bukan saja oleh orang yang sedang cari muka, tapi menjerumuskan demokrasi ke titik nadir.

Oleh:

TEUKU KEMAL FASYA

Dosen FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

MEDIA INDONESIA, 15 Maret 2022

Sumber: : https://mediaindonesia.com/opini/478104/krisis-demokrasi-penundaan-pemilu

You may also like...