Konstitusi adalah Saya

Anwar Usman bersama sang istri Idayati (Sumber: tribunnews.com)

Setelah UU Mahkamah Konstitusi (MK) diundangkan menjadi UU Nomor 7 Tahun 2020, Mahkamah Etik MK hingga kini belum terbentuk. Alhasil, etika dan moral sembilan hakim konstitusi kini tak ada lagi yang menafsirkan. Meminjam apokrifa Prancis, l’etat c’est moi (raja adalah saya), bisa jadi sekaranglah saatnya Indonesia memasuki era l’constitution c’est moi. Konstitusi adalah saya.

Di Amerika Serikat, Ketua Supreme Court of the United States bertemu Presiden AS hanya sekali yaitu saat mengambil sumpah Presiden AS. Setelah itu, Ketua MK dengan 8 hakim agung lainnya tidak pernah lagi bertemu, baik untuk acara kenegaraan atau acara tidak resmi/keluarga.

Pembatasan superketat ini bukannya tanpa alasan. Mengingat Supreme Court, di sini MK/MA, memiliki kekuasaan yang sangat super. Di antaranya mengadili UU hasil kesepakatan Pemerintah-DPR, membubarkan parpol, mengadili kemenangan pilpres/pemilu hingga pemakzulan presiden. Super power. Layaknya Thor dengan palu Mjolnir-nya.

Karena kekuasaan yang super power itu, maka satu-satunya syarat menjadi hakim konstitusi di Indonesia adalah ‘negarawan’. Definisi yang hingga kini masih diperdebatkan tapi nyata tercantum dalam UUD 1945. Syarat ini tidak ada dalam klausul persyaratan menjadi hakim agung atau presiden sekali pun.

Gara-gara kekuasaan palu hakim konstitusi yang maha dahsyat itulah, maka pembuat UU MK jilid pertama langsung memberi pagar dengan membentuk pengawas terhadap hakim konstitusi. DPR kemudian memberi amanat ke Komisi Yudisial (KY) agar mengawasi hakim konstitusi dan hakim agung.

Namun UU ini tidak berumur panjang. Sejumlah hakim agung tidak terima dan mengajukan judicial review. Pada Agustus 2006, MK mengadili dirinya sendiri yaitu tidak bisa disemprit oleh KY. Salah satu alasannya, hakim konstitusi hanya menjabat selama 5 tahun.

Hakim konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hakim Konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan hakim konstitusi, yang bersangkutan masing- masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para hakim konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran KY sama sekali;

Dengan putusan itu, MK juga menegaskan diri sebagai lembaga ‘untouchable’ di Indonesia karena hakim konstitusi tidak termasuk sebagai pihak yang diawasi eksternal.

Putusan ini menjadi angin segar yang ‘menghanyutkan’ bagi MK. Pengawasan eksternal kembali tertutup. Entah kebetulan entah tidak, muncul tsunami menghantam Gedung MK dengan tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK karena menerima sejumlah suap. Akil Mochtar akhirnya dipenjara seumur hidup.

Belakangan, hakim konstitusi Patrialis Akbar juga kena OTT KPK. Berawal dari golf bersama teman, lalu berlanjut makan malam dengan jejaringnya. Pintu-pintu etika pun jebol. Prahara ini melahirkan Perppu MK yang salah satunya menghidupkan lagi lembaga pengawasan eksternal terhadap tingkah laku hakim.

Perppu tersebut mengamanatkan KY lagi untuk mengawasi tingkah polah hakim konstitusi. Perppu itu disetujui DPR menjadi UU. Tapi sudah bisa diduga, UU itu dibatalkan oleh MK dengan memutar argumen dari kaset lama dari Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006.

Setelah itu, MK membuat lembaga pengawasan internal. Kondisi semakin suram karena Dewan Pengawas MK hingga kini vakum usai lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2020. Menurut Jubir MK Fajar Laksono, Dewan Etik Hakim Konstitusi akan segera bertransformasi menjadi Majelis Kehormatan MK sebagaimana amanat UU 7/2020. Tapi dua tahun berlalu, masa transformasi itu belum selesai jua.

Siapa Penafsir Etik?

Dalam asas dasar pengadilan, dikenal adagium paling dasar ‘tiada orang dapat menjadi hakim untuk kasusnya sendiri’ (in propria causa nemo judex) atau ‘tiada seseorang bisa menjadi hakim jika ia sendiri adalah pihak di dalamnya’ (nemo judex in sua causa). Karena, sifat manusia yang paling hakiki merasa dirinya paling benar. Oleh sebab itu, maka yang bisa menjadi hakim bagi hakim bukan di hakim sendiri.

Seorang hakim butuh cermin untuk memantaskan diri. Apakah sudah rapi dasinya, atau sudah tepat gaya rambutnya. Cermin ini menjadi hakim yang paling jujur bagi hakim. Hingga muncul sarkasme cermin dalam dongeng Snow White the Seven Dwarfs. Di mana si cermin selalu bilang bahwa si ibu tiri Snow White-lah yang paling cantik di dunia. Mirror,mirror on the wall, who’s the fairest of them all?

Dalam dunia pengadilan, kode etik itu tertuang dalam cermin bernama The Bangalore Principles of Judicial Conduct. Kode etik ini berlaku internasional, tidak mengenal batas kedaulatan negara. Cermin ini berlaku 24 jam bagi hakim, dari mulai bangun tidur hingga akan tidur lagi. Oleh sebab itu, hakim kerap dipanggil Yang Mulia, karena harus menjaga kemuliaannya tanpa kenal cuti/jam kerja, hingga pensiun.

Namun dalam 2 tahun terakhir, cermin itu tertutup kelambu di MK. Tidak ada lagi saluran bagi masyarakat untuk melaporkan hubungan semenda Ketua MK-Presiden RI, umpamanya. Di berbagai kesempatan, Ketua MK menilai dirinya sendiri bila hubungan semendanya dengan Presiden adalah konstitusional. Pernikahan adalah hak konstitusional, maka menjadi konstitusional pula segala akibat hukumnya. Toh, Jokowi tidak mencalonkan diri lagi menjadi Capres 2024.

Dalam pembukaan Pekan Raya Jakarta (PRJ) di Kemayoran, Kamis (9/6), Ketua MK yang datang bersama istrinya juga tampak akrab dengan salah seorang menteri yang kerap masuk bursa survei calon Presiden 2024. Foto dan pencitraan sang menteri sudah beredar di berbagai media. Segudang alibi pembenar pasti sudah dipersiapkan dan sah-sah saja. Tapi bagaimana bila belakangan orang tersebut menjadi pihak di MK dan duduk di kursi capres?

Wallahu a’lam bi as-showab. Yang pasti, l’constitution c’est moi menjadi pintu masuk l’etat c’est delabre.

 

Andi Saputra

editor hukum detikcom

DETIKNEWS, 13 Juni 2022

Sumber:

https://news.detik.com/kolom/d-6124727/konstitusi-adalah-saya.

You may also like...