Kendala Panwaslu dalam Pengawasan Pemilu (Refleksi Pemilukada Provinsi Gorontalo)

Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Gorontalo telah berjalan dengan lancar. Telah terpilih Gubernur dan Wakil Gubernur harapan masyarakat, untuk mengemban tugas yang mulia dalam mensejahterakan masyarakat Gorontalo.

Pemimpin yang telah mendapatkan mandat (mandate) dari rakyat secara demokratis. Sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi Negara Indonesia yakni Undang-Undang Dasar 1945 “bahwa demokrasi merupakan acuan dalam mengembangkan bentuk pemerintahan Indonesia.”

Keberhasilan penyelenggaraan Pemilukada Provinsi Gorontalo baru-baru ini, tergantung pada kinerja penyelenggara pemilu. Dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) selaku pelaksana dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) sebagai lembaga pengawasan yang mengawasi jalannya tahapan pelaksanaan Pemilukada sebagaimana di tegaskan dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Bila di analogikan Pemilukada dengan permainan bola, maka Panwaslu adalah wasitnya. Begitu pentingnya posisi seorang anggota Panwaslu dalam mengawasi pelaksanaan pemilukada, sehingga tidak mengherankan bila lembaga ini sering menjadi sorotan.

Kendala-kendala Panwaslu dalam Pemilukada Gorontalo

Setelah ditetapkannya pasangan paket Rusli Habibie dan Idris Rahim pada tanggal 24 November 2011 oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi Gorontalo sebagai pasangan yang terpilih, yakni Gubernur dan Wakil Gubernut Gorontalo. Menandakan bahwa segala tahapan pemilukada provinsi gorontalo telah usai. Dibalik kesuksesan penyelenggara pemilu dalam melaksanakan pemilukada yang jujur dan adil ini, tentunya banyak kendala-kendala yang juga diadapi oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini Pengawas Pemilukada.

Pertama, Panwaslu bersifat Ad Hoc yang berimplikasi terhadap keterlambatan pengawasan disetiap tahapan pemilukada. Hal tersebut dapat dilihat dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang menegaskan bahwa Badan Pengawas Pemilu di pusat bersifat tetap, sedangkan Panwaslu bersifat Ad Hoc (sementara).

Kedua, Perekrutan anggota. Dibeberapa kabupaten Provinsi Gorontalo terlambat melakukan perekrutan anggota Panwaslu kecamatan, sehingga dalam hal pemutakhiran data pemilih oleh Komisi Pemilihan Umum tidak terpantau dan terawasi sama sekali. Padahal pemutahiran data pemilih merupakan hal yang sangat penting untuk diawasi.

Ketiga, Sumber Daya Manusia. Besarnya tanggung jawab anggota Panwaslu tidak seimbang dengan jumlah anggota yang akan melakukan pengawasan dilapangan. Dari segi jumlah anggota Panwaslu sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 2007 hanya beranggotakan 3 orang saja, sedangkan luas Kabupaten dibandingkan dengan jumlah TPS yang akan diawasi sangatlah banyak.

Dalam penelitian yang penulis lakukan disebuah kantor Panwaslu Kabupaten, ternyata ditemukan fakta bahwa anggota Panwaslu Kecamatan masih banyak menggunakan Ijazah Paket C dan usia rata-rata 40-60 tahun. Melihat tugas seorang anggota Panwaslu Kecamatan yang harus menerima laporan dan menelaah laporan tersebut, dengan menggunakan pendekatan hukum (UU Nomor 32 tahun 2004), nyatanya bahwa  pengawasan oleh Panwaslu tidaklah efektif.

Keempat, segi Anggaran. Salah satu faktor penunjang dalam melakukan pengawasan tentunya, membutuhkan anggaran dalam menjalankan setiap aktifitasnya. Sama halnya dalam pemilukada Gorontalo baru-baru ini, banyak penyelenggara Pemilukada merasa malas dalam menjalankan tugasnya, dengan alasan bahwa anggarannya sedikit bila dibandingkan dengan Pemilu Legislatif tahun 2009.

Hemat penulis melihat beberapa permasalahan Pemilukada baru-baru ini, Perlu merevisi UU Nomor 22 tahun 2007 dengan melakukan perubahan mengenai status Panwaslu harus bersifat tetap (tidak Ad Hoc), dan jumlah anggota menjadi 5 (lima) orang seperti halnya anggota KPU Kabupaten. Pemilukada tidak perlu lagi diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Akan tetapi, perlu dengan regulasi tersendiri. Sehingga anggarannya bukan lagi dari APBD tetapi bersumber dari APBN. Disamping itu, dalam pengaturan tersendiri Pemilukada kelak,  pendidikan dan usia haruslah menjadi standar dalam penerimaan anggota Panwaslu Kabupaten/ Kecamatan.

Kesempurnaan dan berjalannya Pemilukada, jelaslah ditentukan oleh regulasi yang sempurna, olehnya itu dibutuhkan undang-undang Pemilukada yang tidak berpatokan pada undang-undang Pemda lagi. Harapan itu, tergantung dari pejabat legislatif dan eksekutif ini. Apakah mereka masih memihak kepada kepentingan publik ? Bukankah negara kita mengakui prinsip-prinsip demokrasi…wallahu wa’lam bissowab.

 

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...