Penghianatan di Hari Anak Nasional, Makassar Bukan Kota Layak Anak

 

Sumber Gambar: Tribun-Timur.com

Berdasarkan Keppres RI Nomor 44 Tahun 1984, disepakatilah 23 Juli sebagai hari perayaan anak nasional. Dan bersamaan dengan momentumnya itu, kita kemudian patut berbangga diri dengan dinobatkannya Kota Makassar sebagai tuan rumah Forum Anak Nasional untuk tahun ini. Terlebih lagi di puncak acara akan dihadiri Presiden RI, Joko Widodo.

Saya berkeyakinan penuh bahwa Joko Widodo adalah pribadi yang menaruh banyak perhatian terhadap perlindungan hidup dan tumbuh kembangnya anak-anak kita. Beliau adalah sosok penyayang keluarga, selalu menyempatkan waktu untuk bermain bersama dengan anak cucunya, Jean Ethes. Bahkan sudah ter-framing di media, Jokowi dengan Jean Ethes laksana dua sisi koin yang sulit dipisahkan. Sekali-kali kita menyaksikannya, berkampanye di depan kerumunan massa pendukung, sembari menggendong anak cucu.

Tak hanya itu, di masa pemerintahannya pulalah kemarin Joko Widodo telah memproduksi Perppu Perlindungan Anak sebagai sinyal “neraka” bagi semua calon predator seksual anak. Berikut dengan segala syarat kesalahan yang menyertainya, hukuman penjara diperberat, bahkan pelaku dapat dikebiri jika kejahatan seksual yang dilakukannya tergolong sadis.

Alasan Kemanusiaan

Namun semua kepercayaan itu, kini runtuh seketika, saya seperti disambar gledek di siang bolong begitu membaca berita, Presiden Joko Widodo mengabulkan grasi terpidana Neil Bantleman. Berseloroh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, itu “karena alasan kemanusiaan.”

Kemanusiaan yang mana? Apakah kemanusiaan Neil Bantleman seorang ataukah kemanusiaan dari anak muridnya yang telah dijadikan korban sodomi. Logika sehat macam apa yang terbangun, sehingga Neil Bantleman dikatakan masih memiliki rasa kemanusiaan. Seorang guru (Jakarta International School: JIS) pula, dengan tegahnya meninggalkan trauma dan menghancurkan masa depan seorang anak, lalu kita masih menyisakan alasan kemanusiaan untuknya.

Entahlah, yang pasti ini penghianatan, di saat menjelang hari peringatan anak nasional. Joko Widodo justru meninggalkan luka dan pil pahit bukan hanya untuk korban dan keluarga akibat aksi biadab para predator anak. Namun seluruh anak-anak Indonesia, kini kembali terwanti-wanti dalam sergap dan ancaman kekerasan seksual, sebab pelaku begitu gampang diberi maaf dan pengampunan.

Pada konteks itu kemudian, mohon maaf untuk tidak mengatakan kita sedang berbasa-basi, tetapi perayaan hari anak nasional terselenggara laksana lagu Nina Bobo atau dongeng pengantar tidur, guna menciptakan suasana aman dan nyaman buat anak-anak, sekejap mata berkedip saja.

Arah jarum jam mari kita putar mundur bersama. Sepanjang pemerintahan Jokowi bersama JK, beruntun dan terus berjibaku, selalu hadir kasus-kasus kekerasan anak setiap tahun. Berdasarkan data yang dilansir dari laman KPAI, 2014 sebanyak 5066 kasus, 2015 sebanyak 4309 kasus, 2016 sebanyak 4622 kasus, 2017 sebanyak 4579 kasus, dan 2018 sebanyak 4885 kasus.

Makassar Bukan Kota Layak Anak

Dan dari jumlah kasus tersebut, izinkan pula kepada saya untuk mengingatkan para pemangku kepentingan di Kota Makassar, berhubung sedang giat-giat dan kukuhnya berebut jatah anugerah penghargaan kota layak anak. Pantaskah kota ini yang telah didaulat sebagai tuan rumah Forum Anak Nasional, disematkan sebagai Kota Layak Anak?

Saya tidak perlu menjawab bahwa pantas atau tidak, silakanlah perhatikan kembali angka statistik kekerasan anak yang telah terjadi di Kota Makassar, sebagaimana dilansir Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Makassar: angka kekerasan terhadap anak pada 2015 tercatat 1.025 kasus, kemudian naik menjadi 1.175 kasus, selanjutnya menjadi 1.406 kasus pada 2017, dan pada 2018 sebanyak 1300 kasus. Belum lagi, jika angka-angka tersebut diukur berdasarkan wilayah semua Kabupaten/Kota se-Provinsi Sulsel, malahan Kota Makassar berada diperingkat pertama, yang disusul Kabupaten Bulukumba kemudian Kabupaten Soppeng.

Tak ketinggalan, jangan lupakan pula episode dan akhir cerita dari sejumlah kasus Anak Berkonflik Hukum (ABH) di Kota Makassar yang berujung di pengadilan, ternyata lebih banyak yang di sanksi pidana ketimbang sanksi tindakan. Sedari awal UU Sistem Peradilan Pidana Anak sudah mengultimatum, sanksi pidana hanyalah alternatif terakhir (ultimum remidium), faktanya ABH dominan digiring ke bui. Data yang pernah saya kumpul, pada 2015 kasus ABH, disanksi penjara sebanyak 658 kasus, sanksi tindakan 123 kasus. Lalu pada 2016, disanksi penjara sebanyak 123 kasus, sanksi tindakan sebanyak 92 kasus.

Tak ada maksud menghalang-halangi Kota Makassar untuk tidak didapuk sebagai Kota Layak Anak. Akan tetapi kita perlu tahu diri, sebagaimana petuah Bugis yang berbunyi, taroi siri alemu, magai naelo ande tea eco (sisahkanlah malu dalam dirimu, kenapa mau makan tapi tidak mau bekerja). Mau rangking pertama, tetapi tidak pernah belajar dan berbenah. Mau mendapatkan penghargaan, tetapi tak ada kerja yang ternilai sebagai ukuran daerah yang ramah anak.

Tiba-tiba serasa saya ingin membuang muka, kemana rasa malu ini saya mau simpan. Saya sedang membayangkan ribuan anak dari seluruh provinsi di atas kendaraan (bus kota) sedang berarak-arakan menuju pantai Akarena dalam rangka mengikuti kegiatan outbond forum anak se-Indonesia . Saya sedang membayangkan Presiden RI beserta rombongan dalam pengawalan menuju Lapangan Karebosi  guna menghadiri puncak acara.

Tetamu undangan itu, malah kita hidangkan jejeran anak jalanan dalam profesinya masing-masing sebagai pengemis atau pengamen di bawah kolong langit dan panasnya terik mentari. Adilkah kita kepada anak-anak itu? Ataukah jangan-jangan kita lebih layak disebut sebagai penghianat di hari anak nasional.*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...