Hipersemiotika dan Badai Korupsi Impor Daging PKS
Mereka berdalih, bahwa Ahmad Fathanah (AF) bukanlah kader PKS. Sama sekali tidak pernah direkrut sebagai anggota PKS. Tidak ada hubungannya dengan segala kegiatan tetek-bengek PKS. Jadi jangan sangkut-pautkan PKS dengan AF, yang telah disangka sebagai pelaku gratifikasi dalam kasus impor daging sapi. Namun lagi-lagi persepsi selalu memiliki muara tersendiri, fakta berbicara lain. PKS malah menjadi bulan-bulanan media. Hingga diprediksi elektablitasnya akan merosot tajam oleh beberapa lembaga survei 2 s/d 3 % saja.
Apa yang terjadi dengan PKS ? Apa karena PKS adalah partai yang mengemban misi keagamaan, sehingga dihajar habis-habisan, dengan tudingan koruptor ? Apakah PKS merupakan partai dari kumpulan sosok “malaikat” yang nyaris tidak bisa tersentuh dengan perbuatan dosa sedikitpun ? Boleh jadi pertanyaan tersebut dapat mewakili kegalauan beberapa elit politik PKS saat ini. Tapi dengan cara apa, sehingga perbuatan Fathanah, sudah dingkari berkali-kali, bukan kader PKS. Tetap menimbulkan badai terhadap partai padi yang diapit oleh dua bulan sabit itu ?
Jawaban yang paling tepat adalah pemainan “tanda” yang dijabarkan terhadap tanda lainnya. Untuk mendapatkan konklusi dalam tanda-tanda, kode, dan makna dalam rangka menciptakan tanda-tanda yang memiliki unsur kebaruan sekaligus kemewahan.
Semiotika
Permainan tanda dalam studi kebudayaan disebut dengan istilah semiotika. Umberto Eco mengatakan semiotika pada prinsipnya sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk berdusta (lie).
Tidak berarti Eco menyatakan bahwa semiotika merupakan teori kedustaan, lalu sama sekali didalamnya tidak ada substansi kebenaran. Sebab bila sebuah tanda tanda tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran maka ia tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan tanda kedustaan.
Jadi fenomena yang dipertontonkan oleh media massa. Dengan menobatkan Fathanah sebagai dalang korupsi PKS. Meskipun Fathanah bukan kader PKS. Namun bukankah Fathanah “berteman baik” dengan Lutfi Hasan Ishaaq (LHI). Merupakan tanda yang dapat digunakan untuk bercerita benar, sekaligus bercerita dusta.
Tanda yang dimainkan oleh Fathanah, bergerak dalam ranah impor daging sapi. Dan kebetulan menteri pertanian yang membidangi masalah impor daging, dari kader PKS. Dari sinilah Fathanah dianggap memainkan pengaruhnya. Terhadap LHI agar “menggoda” sang menteri, menggelontorkan surat izin bagi PT Indoguna. Menambah jumlah kuota impor daging sapi.
Fathanah dekat dengan LHI, Fathanah hendak menyogok LHI, Fathanah Korupsi, akhirnya LHI juga korupsi. Konklusinya: PKS korupsi.
Semiotika yang bergerak dalam permainan tanda, dan mencari fakta empirik melalui gerak oposisi binernya. Menyebabkan PKS berada dalam jebakan semiotika. Yang tidak bisa dilawan.
Karena itulah semiotika, menganut prinsip struktural. Di dalamnya tanda dilihat sebagai satu kesatuan yang bersifat material disebut penanda (signifier) dan sesuatu yang bersifat konseptual disebut sebagai petanda (signified).
Prinsip struktural atau semiotika struktural tidak menaruh perhatian pada relasi kausalitas antara suatu tanda dan causa primanya, antara bahasa dan realitas yang direpresentasikannya. Melainkan pada relasi secara total unsur-unsur yang ada di dalam sebuah sistem. Dalam konteks ini yang diutamakan bukan unsur itu, tetapi relasi diantara unsur-unsur itu.
Persoalannya bukan pada penyuapan terhadap AF oleh direktur PT Indoguna. Bukan juga pada rencana percobaan penyuapan oleh AF terhadap LHI. Tetapi relasi yang saling berkelindan antara AF, Direktur PT Indoguna, dengan PKS. Bukan keistimewaan jika hanya AF yang korupsi. Keistimewaan tanda dari bangunan korupsi ketika PKS berhasil dijadikan sebagai organisasi Parpol korup.
Kenapa demikian? karena partai memiliki nilai komoditas, dapat dikapitalisasi. Sehingga menarik untuk menciptkan tanda-tanda baru, untuk menghilangkan demarkasi benar/salah, asli/palsu. Hanya diutamakan membangun kesempurnaaan simulasi, agar tercipta relasi korupsi yang muaranya mengarah pada “jantung” kredibiltas PKS.
Sebuah tanda dalam hal ini tidak memalsukan tanda “korupsi” tetapi yang dipalsukan adalah realitasnya PKS, betulkah PKS merupakan partainya para orang korup ? Disinilah citra, image, gestur memainkan realitas yang akan diciptakan selanjutnya. Riwayat PKS sudah tamat karena tanda yang diciptakan (besih, peduli, profesional), diingkari sendiri. Melalui bangunan relasi yang ditampakan sendiri dengan tanda-tanda imajinasinya.
Daging, Sapi, Luthfi, Rani, Ayu, Vita, Tri Sefti…(dst)
Hipersemiotika jauh lebih kejam efeknya dalam menyimpulkan dan merekayasa tanda-tanda baru. Hipersemiotika tidak lagi bergerak dalam tanda yang terstruktur, melainkan menekankan pada perubahan tanda. Mengutamakan produksi tanda ketimbang reproduksi kode dan makna.
Produksi semiotik sebagai ciri hipersemiotika ibarat sebuah relasi yang di dalamnya tidak lagi digantungkan pada konvensi, kode, atau makna yang ada. Hipersemiotika membiak tanpa batas dan tanpa pembatasan lewat sebuah mesin produksi semiotik, yang terus berputar tidak pernah berhenti.
Pemaknaan semiotik yang melampaui batas demikian. Akhirnya bahasa yang dipergunakanpun, mestinya memiliki perbedaan (difrence). Dihancurkan dengan permainan bahasa (language game). Hipersemiotika menciptakan terus menerus alam rimba raya permainan tanda sebagai komoditi. Tanpa perlu mengikatkan diri pada sistem yang tetap. Semata-mata bergerak dalam rangka memproduksi keterpesonaan, kesenangan, gairah, dan ekstasi dalam permainan itu sendiri.
Beberapa teks diciptakan sebagai tanda yang mengilustrasikan perilaku PKS “sejajar dengan “sapi”. Lahirlah istilah PKS sebagai partai yang terkenah getahnya “politik dagang sapi”. Mari kita mengamti ketika Luthfi disepadankan dengan nama seperti daging, sapi, Rani, …Selanjutnya dilebur, dimutasikan kata-kata itu dalam simulakrum. PKS di ibaratkan Partai (Kesandung Sapi). Inilah fenomena hipersemiotika yang ditunjukkan melalui penciptaan tanda-tanda baru. Meskipun sebagai tanda palsu, tetapi “kepalsuan” juga adalah bagian dari kebenaran itu sendiri.
Ketika hipersemiotika dominan dalam menghasilkan tanda dipermukaan saja (bukan pada tanda yang memiliki kedalaman). “Daging” sapi yang dikorupsi oleh oknum PKS diparodi dengan “fisik” dan raga seorang perempuan.
Seolah-olah komoditi perempuan yang hadir dalam korupsi impor daging “identik” dengan harga daging perkilogram yang dikorupsi. Inilah sebuah situasi hipersemiotika sukses menemukan dirinya di saat fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kebenaran, kepalsuan, keaslian (orisinalitas), isu, realitas, tidak lagi berlaku dalam kehidupan tertib sosial di dunia ini.***