Fadli Rahim dan Pasal Karet UU ITE
Lagi-lagi pasal karet (hatzai artikelen) dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) menelan korban. Kali ini korbannya adalah Fadli Rahim, seorang Pegawai Negeri di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gowa, Ia diduga telah melakukan delik pencemaran nama baik terhadap Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo.
Jika diperhatikan secara cermat dan teliti, terdapat enam poin utama dari tulisan Fadli yang terposting di grup line IKA SALIS 99, kiranya mengandung konten pencemaran nama baik. Pertama, dikatakan Gowa tidak inovatif. Kedua, Bupati Gowa many oriented. Ketiga, Bupati Gowa memerintah berdasarkan warisan kekuasaan (Power legacy). Keempat, Bupati Gowa tidak ada kebaikannya (tena kebajikan). Kelima, ada banyak investor yang tidak jadi karena bupatinya tidak diberi bagian. Keenam, apapun selalu saja atas nama Bupati (sanging dia mami)
Sebenarnya, kasus yang mendera Fadli Rahim terdapat dua ruang lingkup hukum yang menyertainya. Yaitu kasus hukum administrasi negara dan kasus yang berada dalam ranah hukum pidana.
Untuk kasus hukum administrasinya adalah penurunan pangkat atas dirinya (dari golongan III B ke golongan III A) dan mutasi atas Ibunya, yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di Kabupaten itu, karena SK (Surat Keputusan) yang telah diterbitkan oleh Bupati Gowa.
Terhadap SK tersebut, dalam kacamata hukum administrasi negara sudah pasti merugikan Fadli dan Ibunya. Sehingga ruang untuk menggugatnya agar SK tersebut dibatalkan adalah PTUN. Cuma saja berdasarkan UU PTUN, peluang Fadli untuk menggugat SK Bupati, agar dibatalkan/ dicabut kembali oleh Bupati sebagai pejabat eksekutif sudah tertutup. Sebab masa daluarsa mengajukan gugatan atas keputusan/ketetapan (beschikking) pejabat eksekutif yang merugikan individu berada dalam batas waktu 90 hari sejak diterima/diketahui oleh yang bersangkutan. Oleh karena SK yang merugikan Fadli dan Ibunya sudah lewat 90 hari, Itu artinya Ia tidak dapat mempermasalahkan lagi SK tersebut.
Sedangkan untuk kasus hukum pidananya, adalah delik pencemaran nama baik yang saat ini telah memasuki tahap persidangan.
In casu a quo bagaimana sesungguhnya tafsir hukum pidana dalam UU ITE yang menjerat Fadli terhadap perbuatannya yang telah disangka melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Gowa?

Sumber Gambar: tribunnews.com
Tafsir Sistematis
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 50/PUU-VI/2008 atas judicial review Pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Pasal 27 ayat 3 UU ITE mengalami pembatasan dalam klasifikasinya; sebagai delik aduan (klacht delicten). Meskipun pengklasifikasian ini terkesan tidak “logic”. Sebab dalam KUHP, tidak semua jenis delik penghinaan diklasifikasikan sebagai delik aduan. Dapat dicermati misalnya jika pencemaran naa baik tersebut, objek yang terhina adalah pegawai negeri, maka deliknya tergolong sebagai delik umum.
Konsekuensi hukum dari putusan MK tersebut, menyebabkan terhadap siapapun, baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun pegawai negeri, jika merasa ada yang “mencemarkan” nama baiknya. Yang telah dilakukan melalui ITE harus terlebih dahulu mengadukan atas perbuatan pencemaran itu ke pihak penyelidik, agar dapat diproses secara hukum.
Hal yang penting untuk diperhatikan terhadap Pasal 27 ayat 3 UU ITE, yakni tidak ada pasal maupun penjelasan dalam UU tersebut, yang dapat menguraikan secara jelas delik pencemarannya; bagaimana pengertian, penggolongan maupun unsur-unsurnya secara tegas.
Oleh karena itu jenis-jenis penafsiran yang dibolehkan dalam hukum pidana harus digunakan dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE itu. Model penafsiran yang dapat digunakan adalah jenis penafsiran sistematis.
Dengan menafsir semua unsur-unsur delik pencemaran yang terdapat dalam Pasal pencemaran (Psl 310 KHP) sebagai lex generalis maka harus termuat pula semua unsure-unsurnya pada Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Meskipun tidak dapat dipungkiri Pasal 27 ayat 3 UU ITE menjadi lex specialist atas Pasal 310, dalam hal cara melakukan (metode) perbuatan pencemaran itu, yang dilakukan melalui ITE.
Tidak Tepat
Terdapat kejanggalan atau ketidaktepatan penerapan pasal pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Fadli Rahim. Ketika pasal-pasal dalam UU ITE dan KUHP diurai lebih lanjut.
Beberapa ketidaktepatan itu diantaranya; Pertama, dalam postingan Fadli di group line sama sekali tidak menyebut nama Bupati bersangkutan (misalnya Ichsan Yasin limpo), Fadli hanya menuliskan kalimat “Bupati Gowa”. Sehingga pasal yang tepat untuk diterapkan terhadap Fadli Rahim adalah Pasal 207 (kejahatan terhadap kekuasaan umum, dimana objek yang terhina adalah Bupati). Oleh Putusan MK No: 013-022/PUU-IV/2006 dan Putusan No: 14/PUU-VI/2008, Pasal 207 KUHP tidaklah dicabut oleh MK, tetapi MK menafsirkannya sebagai delik aduan.
Lebih lanjut MK memberikan catatan atas Pasal 207 KUHP yang menyatakan “penuntutan terhadap pelaku pelanggaran atas Pasal 207 KUHP oleh aparat penyelenggara negara memerlukan penyesuaian di masa depan sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengenai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP.” Satu hal kesalahan fatal JPU yang menangani kasus Fadli, nampaknya Bupati yang mengadukan pencemaran baik atas Fadli dengan mengatasnamakan diri sebagai badan kekuasaan pemerintah (berdasarkan surat laporannya yang menggunakan kop Garuda tertanda kabupaten Gowa) JPU justru tidak menerapkan Pasal 207 KUHP. Anehnya, JPU malah menggunakan Pasal 310 KUHP yang mana objek terhina dalam pasal tersebut hanya individu.
Kedua, meskipun JPU menggunakan Pasal 310 ayat 1 KUHP sebagai bagian sistematis dengan Pasal 27 ayat 3 dalam menjerat Fadli. Lagi-lagi kesalahan JPU makin fatal, sebab perbuatan hukum yang dilakukan Fadli adalah menulis konten yang diduga pencemaran nama baik atas bupati di grup line yang sifatnya tertutup. Sementara Pasal 310 ayat 1 KUHP merupakan ketentuan penghinaan, metode penghinaannya dengan lisan. Jika penghinaan itu sekiranya dilakukan secara tertulis seharusnya menggunakan Pasal 310 ayat 2 KUHP
Ketiga, penafsiran dengan cara sistematis atas Pasal 27 ayat 3 UU ITE terhadap Pasal 310 ayat 1 KUHP, adalah terdapat dua unsur yang penting untuk diuraikan. Yaitu apa yang dimaksud dapat diakses (dalam UU ITE) dan apa yang dimaksud akan tersiarnya tuduhan itu. Tampaknya untuk kasus Fadli, tidaklah memenuhi unsur, konten pencemaran nama baik tersebut dapat diakses (oleh siapa saja), sebab group line-nya bersifat tertutup. Di dalam laman line itu hanya terdiri dari 7 orang yang secara otomatis konten penghinaannya tidak dengan gampang di buka/diakses oleh siapa saja yang hendak melihatnya. Dengan demikian salah satu unsur dalam Pasal 27 ayat 3 UUITE tidak terpenuhi. Dan kalau berpatokan pada asas legalitas sebagai hukum pidana yang stricta, maka Fadli seyogianya tidak dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Selanjutnya, karena konten penghinaan itu tidak dapat diakses oleh siapa saja (groupnya tertutup), berarti dengan sendirinya pula unsur diketahui umumnya tuduhan itu, sebagaimana salah satu unsur dalam Pasal 310 KUHP, maka dari awal ketika Fadli menulis penghinaan Ia tidak ada maksud/niat agar kata-kata penghinaanya sekiranya akan tersiar. Sehingga Pasal 310 ayat 1 yang menjerat Fadli, tidaklah terpenuhi unsur; akan diketahui umum konten pencemaran nama baik terhadap Bupati Gowa itu.
Hal ini pun dibenarkan oleh Adam Chazawi (2013) dalam kasus yang hampir serupa saat mengemukakan bahwa “bila seorang menerima suatu E-mail dari orang lain, kemudian atas kehendaknya sendiri Dia mentransmisikan isi E-mail itu ke dalam facebookmya atau twitternya, maka sesungguhnya orang yang wajib bertanggungjawab adalah Dia sendiri. Karena Dialah sebagai penyebab langsung tersebarnya isi E-mail tersebut di dunia maya.”
Dengan demikian, dalam kasus yang menimpa Fadli, seharusnya pun kalau mau ditelisik siapa yang bertanggung jawab, ketepatannya adalah pada siapa yang menyebarkan konten penghinaan yang terdapat di group line. Orang tersebutlah yang dapat dipidana berdasarkan Pasal 310 ayat 1 jika penyebarannya dilakukan secara lisan, dan ayat 2-nya jika penyebarannya dilakukan secara tertulis. *