Kutukan Kabinet Jokowi-JK
Akhirnya Jokowi-JK memenuhi janji untuk mengumumkan porto folio kabinetnya pada Senin 15 September 2014 kemarin. Struktur kabinet Jokowi-JK terdiri atas 34 menteri dengan rincian; 19 kementerian tetap; 6 kementerian berubah nama; 6 kementerian gabungan; dan 3 kementerian baru. Kursi menteri, terangnya akan diisi oleh 18 profesional dan 16 Partai Politik. Kemudian posisi wakil menteri yang ada di era SBY-JK dihapus, hanya posisi Kementerian Luar Negeri yang dipertahankan Wakil Menterinya.
Berbagai desas-desus kemudian muncul atas pengumuman kabinet Jokowi-JK. Ia dituding mengalami situasi “ambivalen” untuk menentukan kabinet yang tidak sesuai dengan janjinya dahulu kala.
Alih-alih, pemerintahannya hendak dibangun dengan koalisi tanpa syarat, tetapi ternyata berbanding terbalik dari janji sebelumnya.
Dalam hemat Penulis, saya termasuk orang yang tidak pernah optimis, kalau sekiranya Jokowi-JK dapat menyusun kabinetnya tanpa syarat.
Kutukan
Adalah “dosa turunan” yang tidak dapat dielakkan dari konsensus ketatanegaraan kita, yang terlanjur menganut presidensialisme-multipartai. Dan dalam waktu yang sama Partai Politik untuk mengusung Calon Presiden/ Calon Wakil Presiden juga “terikat” oleh ketenatuan syarat Presidential Threshold (PT), yang pada akhirnya meniscayakan koalisi.
Tentu hal ini tidak akan terjadi, jika tidak ada syarat PT sebagai prasyarat utama mengusung Capres-Cawapres. Atau dengan kata lain, seandainya semua Partai Politik yang lolos dalam verifikasi KPU (sebagai peserta pemilu) semua diberi peluang, satu-persatu untuk mengusung Capres-Cawapres. Maka tidak mungkin ada bargaining position dalam penyusunan struktur kabinet seperti itu.
Peristiwa politik yang dipertontonkan akhir-akhir ini oleh Jokowi-JK, dengan mengumumkan kabinet yang terdiri dari dua golongan: profesional murni dan profesional partai. Tidak salah kalau kita mendiagnosanya, sebagai kutukan yang sedari awal memang harus diterima bagi siapapun Presiden terpilih.
Dengan merunut persoalan mendasarnya, presidensialisme multipartai plus syarat koalisi, merupakan “embrio” kutukan yang tidak dapat dihindari oleh Jokowi-JK. Bahwa dalam politik memang “tidak ada makan siang gratis” yang kemudian “didekonstruksi” dengan basis argumentasi “tidak salah merekrut kabinet dari unsur Partai Politik, karena Partai Politik-lah yang bekerja keras hingga mengantarkan Presiden terpilih.”
Andaikata pula tidak ada kesalahan yang ditimbulkan oleh Partai Politik, yang mengalami defisit kepercayaan publik (deparpolisasi). Akibat terdapatnya beberapa “oknum kabinet” yang merupakan unsur Parpol terseret dalam pusaran korupsi hingga menjadi pesakitan KPK. Maka mungkin saja, terusungnya beberapa kabinet yang berasal dari unsur partai tidaklah dipermasalahkan, dan menjadi beban kabinet Jokowi-JK.
Maka dari itu, keterpenjaraan kabinet Jokowi-JK bukan hanya dibebani faktor ‘koalisi” tetapi dibebani juga dengan rusaknya kepercayaan publik atas Partai Politik akhir-akhir ini.
Berkali-kali misalnya JK melakukan “pembelaan diri”; bahwa sejatinya, banyak juga orang-orang profesional dari partai (maka munculah istilah kabinet proefesionalisme partai). Namun toh “telur memang sudah membusuk”, memang Partai Politik jelek kehadirannya. Sehingga siap tidak siap, Jokowi-JK tetap harus menanggung peradilan opini tersebut.
Pemerintahan Jokowi-JK, disamping harus “memutar otak” membentuk kabinet harapan publik tanpa mengutamakan Partai. Juga pada saat yang sama harus memikirkan pula kabinet yang kuat, efektif, dan ahli yang bersumber dari partai, bukan hanya yang menjadi pendukungnya (Nasdem, Hanura, PKB, dan PKPI) dahulu. Demi mengamankan kebijakannya kelak di parlemen, lagi-lagi membuka “harapan koalisi” dari partai-partai yang berada di gabungan Koalisi Merah Putih (KMP). Enam belas calon kabinet yang disediakan untuk Partai Politik, menjadi “umpan politik” Jokowi-JK, membuka episode koalisi berikutnya.
Kabinet Bifukrasi
Dalam kondisi demikian, jelas tergambar kalau kabinet Jokowi-JK yang merupakan unsur Parpol terpecah dalam dua gerbong. Pertama, gerbong kabinet partai yang bersumber dari pengusung awal. Kedua, gerbong kabinet partai “pendatang” baru.
Ketika kabinet profesional murni yang bukan direkrut dari unsur Parpol, tetapi dari golongan tekhnokrat/ profesional (golongan akademisi, ahli, dengan latar belakang yang mumpuni) digabungkan dengan kabinet unsur partai, inilah yang disebut sebagai kabinet bifukrasi. Ada sebuah pembuktian, lahirnya kabinet bifukrasi merupakan tuah yang tidak dapat dilepaskan dari “kutukan” presidensilisme multipartai karena adanya persyaratan koalisi. Bahwa presidensialisme multipartailah yang “mengutuk” pemerintahan Jokowi JK pada akhirnya menganut apa yang disebut kabinet bifukrasi
Harapan untuk melahirkan kabinet, semuanya berasal dari unsur profesional adalah sebuah kemustahilan. Kini, tertinggal “satu peluru”, yang tersimpan bagi Jokowi-JK untuk membentuk kabinet menjadi kabinet ahli (zaken cabinet), yaitu; beranikah dia “memaksa” kabinet yang berasal dari keanggotaan Partai Politik, untuk melepaskan jabatan strategisnya di partai dimana ia berasal.
Jika kelak tidak ada keberanian itu, maka siap-siap kabinet Jokowi-JK akan mengalamai nasib serupa dengan kabinet Indonesia Bersatu Jilid II sebelumnya Satu-persatu mungkin anggota kabinetnya, yang berasal dari “utusan parpol” akan dijemput dan/atau menjadi korban “pesakitan” komisi anti rasuah berikutnya. (*)