Meramal Gugatan “Presidential Threshold” Yusril
Bak gayung bersambut, antara politik dan hukum, kini bertemu dalam titik yang sama. Apa yang dinisbatkan oleh para pakar politik modern juga diamini oleh para ahli hukum tata Negara pula. Pakar politik seperti Giovani Sartory, Arrendt Lijphart dan Scott Mainwaring, menganjurkan bahwa sedianya Negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil, agar tercipta pemerintahan yang kongruen (eksekutif dan legislatif) maka salah satu jalannya adalah desain pemilu serentak. Keuntungan dengan menggunakan model pemilu serentak, berarti mengeliminasi koalisi yang bersifat pragmatis dan transaksional antara partai politik pemenang legislatif dan Presiden terpilih nantinya.
Berbanding lurus pula dengan ahli hukum tata Negara di Indonesia, seperti Saldi Isra, Irman Putra Sidin, Yusril Ihza Mahendra mengakui kalau Pasal 22 E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 memang menghendaki pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Artinya baik Pemilihan Presiden maupun pemilihan anggota legislatif (dilaksanakan dalam waktu satu hari yang bersamaan).
Jika pada awalnya kedua pendapat yang sejalan itu, hanya berada dalam tataran teoritik, belum pernah direalisasikan dalam setiap perhelatan pemilu pasca reformasi dan amandemen UUD. Kini terjawab sudah harapan untuk mempersatukan antara pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, melalui putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh Efendy Gazali cs.
Presidential Threshold
Ironisnya putusan tersebut, oleh karena pertimbangan jika dilaksanakan dengan sesegera mungkin, dianggap dapat “merecoki” sistem penyelenggaran pemilu sekarang yang sudah berjalan, MK menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu legislatif serta pemilu presiden (dan wakil presiden) baru berlaku pada 2019.
Saya tidak ingin larut dalam perdebatan, pro dan kontra terkait dengan konstutusional tidaknya pemilu 2014. Terkait dengan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU No 42/2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi (inkonstitusional). Lalu kenapa pemilu 2014 tetap saja bersandar pada UU Nomor 42 Tahun 2008 ?
Satu hal yang jauh lebih penting lagi, untuk dicermati bersama, terlupakan oleh hakim MK, kenapa dalam amar putusan tersebut tidak diuraikan, kalau dengan berlakunya pemilu serentak maka syarat Presidential Threshold, seyogianya juga dengan serta merta tidak berlaku lagi? Bukankah dengan berlakunya pemilu serentak, otomatis syarat Presidential Threshold tidak ada guna-gunanya lagi. Logikanya bagaimana mungkin masih ada pembatasan pengajuan calon presiden berdasarkan hasil pemilihan legislatif, sementara pengajuan calon presiden bersamaan waktunya.
Dugaan saya, sengaja MK tidak mencantumkan dalam Putusan No 14/PUU-XI/2013 ini, tentang penghapusan syarat Presidential Threshold, karena pokok perkara yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra yaitu penghapusan Presidential Threshold dalam UU No. 42 tahun 2008 yang bertentangan dengan Pasal 6 (A) UUD, lebih tepat terjawab pada putusan, dari gugatan yang diajukan oleh Yusril.
Amar putusan tentang penghapusan Presidential Threshold tidak akan menjadi soal kalau juga diberlakukan untuk pemilu 2019. Yang bermasalah jika MK ternyata mengabulkan gugatan Yusril diberlakukan mulai pada pemilu 2014.
Hanya dimungkinkan, penghapusan syarat Presidential Threshold tersebut berlaku untuk pemilu 2019. Kalau sekiranya lagi-lagi MK, berdalilh bahwa yang namanya penghapusan Presidential Threshold dapat diberlakukan jika pemilu serentak sudah dilaksanakan..
Namun, bagaimana jika MK berpendapat lain? Seperti dalil tidak adanya mekanisme penyelenggaraan pemilu yang terganggu kalau penghapusan Presidential Threshold sudah mulai diberlakukan sekarang. Bukankah, waktu bagi partai politik untuk mengajukan calon presiden sebagaimana yang sudah termuat dalam SK KPU, sama sekali tidak ada masalah, sekalipun semua partai politik mengajukan capres gara-gara tidak adanya lagi syarat Presidential Threshold.
Perlu Diantisipasi
Jika benar, memang tidak ada lagi pembatasan Presidential Threshold untuk pemilu 2014 nantinya. Berarti ada dua belas partai nasional yang dapat mengajukan masing-masing Capres. Dan ada beberapa hal yang perlu diantisipasi. Pertama, bagaimana nasib partai politik yang tidak lolos angka parliamentary threshold, sehingga satu kursipun tidak ia peroleh di Senayan, apakah tetap dapat mengajukan juga calon presidennya? Merujuk ke Pasal 6 A UUD 1945, bahwa “partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden” berarti tidak ada alasan hukum yang bisa mengeleminasi partai politik yang tidak lolos Parliamentary Threshold itu untuk mengajukan Capresnya. Tentu, hal ini secara politik jelas akan mengaburkan tujuan dari pada pemilu serentak untuk mencipatkan pemerintahan yang kongruen, karena partai politik pemenang legislatif boleh jadi, dari presiden terpilih, tidak ada partai politik pendukungnya di parlemen. Kecuali terbangun lagi koalisi dengan beberapa partai politik pemenang suara yang berjumlah banyak dengan Capres, yang kemungkinan besar akan terpilih. Namun itu tetap mengalami kesulitan sekaligus dampak pemerintahan yang setengah hati, sekalipun ada koalisi demikian, karena koalisi yang tercipta lagi-lagi hanya koalisi karena kepentingan.
Kedua, dengan terbukanya peluang bagi 12 partai untuk mengajukan masing-masing Capresnya tentu menjadi pekerjaan berat bagi KPU, yang tidak sebanding dengan pemilu sebelumnya (2004, 2009). KPU harus memverifikasi semua syarat administrasi dan keabsahan Capres yang akan menjadi peserta pemilhan umum Presiden.
Karena itu, jika memang MK hendak mengabulkan gugatan Yusril dan ternyata berlaku untuk pemilu 2014, harus dengan cepat gegas MK segera membacakan putusannya, agar KPU dari awal dapat mempersiapkan diri, sebelum tahap verifikasi Capres tiba waktunya. Tidak hanya itu, dalam tahap ini mesti ada perubahan jadwal masa verifikasi Capres, karena bakal Capres yang diajukan berjumlah banyak dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Dalam hemat penulis, tetap menaruh dugaan, suatu waktu jika MK ternyata mengabulkan gugatan Yusril dan memberlakukan untuk pemilu 2014. Saya tetap berpandangan sangat “riskan” dan memiliki beberapa dampak. Boleh jadi ada yang akan menilai MK tidak konsisten pada putusan sebelumnya. Tetapi memberlakukan untuk pemilu 2019 juga akan mendapat sorotan dari partai kecil, yang lagi-lagi menilai MK telah “blunder” dan mengingkari sendiri pertimbangan putusannya.
Apapun itu, putusan MK yang bersifat final and binding, jangan pernah kita kehilangan akal untuk menyikapi beberapa implikasinya, dan segera merumuskannya dalam peraturan perundang-undangan demi perbaikan demokarasi dan bangsa kita ke depannya. Bukankah semua putusan pengadilan yang sudah dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum berlaku asas res judicata pro veritate habetur. (*)