Ujian Ketidaksempurnaan Demokrasi

Judul tulisan ini, tidaklah pernah bermaksud menolak sistem pemerintahan yang bernama demokrasi. Apalagi hendak menggantinya dengan ideologi yang lain, seperti ideologi fasis, komunis, totaliter, otoritarian, despotic dan segala macamnya. Namun dibalik itu semua, hanya sekedar untuk mengingatkan, alih-alih untuk sampai pada kesempurnaan titik akhir demokrasi tidak pernah tercapai. Semua pada akhirnya, masih selalu bersifat coba dan mencoba (trial and eror). Hanya masih dalam proses eksprimentasi dalam rangka menemukan formula paling cocok, untuk menyandingkan pemerintahan dan rakyat dalam kedudukan yang sama (equal)

Tengoklah perjalanan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) di tahun ini, begitu menyita banyak durasi waktu yang amat panjang. KPU sebagai penyelenggara Pemilu sudah pasti mengalami kelelahan luar biasa, publik atas nama rakyat juga dilanda kelelahan sedemikian rupa. Maka cukuplah Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang bersifat final and binding itu. Untuk menjadi masa rehat, beristirahat sejenak, bagi 200 juta rakyat Indonesia dalam mendapat kepastian; siapa pemimpin tertinggi di negerinya dan telah terpilih atas nama daulat rakyat. Tidak perlu lagi ada respon kekalahan yang lain, hingga mencoba menempuh jalur hukum dan politik yang keliru. Karena seperti yang diberitakan media akhir-akhir ini, kekalahan di MK lagi-lagi direspon untuk mengajukan gugatan di PTUN, MA. Bahkan muncul uji kebijakan politik melalui DPR, dengan “ancaman” untuk membentuk Pansus Pilpres.

Demokrasi dan Hukum

Harus diakui, mengharapkan demokrasi yang sempurna bukanlah perkara gampang. Demokrasi prosedural bisa saja semua sudah terpenuhi, namun hakikat dari pada demokrasi substansial belum tentu akan tercapai sebagai mana mestinya. Ini ibarat perdebatan di ranah ilmu hukum, yang selalu mempertentangkan pada intinya tujuan hukum, mana yang sebenarnya mesti diprioritaskan: apakah keadilan? Apakah kemanfaatan? Ataukah kepastian? Hingga dunia kiamatpun hendak memenuhi kesemuanya mustahil akan terbukti dalam kesempurnaan.

Kasus inipun sekiranya yang sedang menjadi ujian bagi MK. Ketika MK berada di dalam pusaran demokrasi juga pusaran hukum. Rakyat yang memilih pemimpinnya, populer dalam prinsip vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Kini, hasil Pilpres yang telah direkapitulasi KPU sebagai konkritisasi “suara Tuhan” telah diuji oleh Sembilan hakim konstitusi sebagai “wakil Tuhan”. Inilah situasi rumit ketika “wakil Tuhan” akan mengadili “suara Tuhan” itu sendiri.

Demokrasi pada sesungguhnya akan mengabaikan tujuan keadilan yang bermuatan filsufis. Demokrasi yang mengutamakan suara mayoritas (suara terbanyak), bukankah akan mengabaikan tujuan hakiki keadilan untuk golongan minoritas? Bukankah putusan MK yang menolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta disana terdapat pengabaian atas hak daulat rakyat dari 62.576,444 (46,85 persen) yang telah memilihnya? Tidakkah di sini MK telah mengabaikan “keadilan” dari sebuah hak yang melekat pada warga yang layak pilih, yaitu the right to vote?

Bukan hanya pada kasus yang kalah, menjadi indikator betapa sulitnya demokrasi dan hukum di ruang-ruang MK menjadi sulit dipersatukan. Meskipun saat ini MK menganggap dirinya, bukan lagi “Mahkamah kalkulator” melainkan juga Mahkamah untuk mengadili keadilan substantif. Atau dengan kata lain, MK tidak hanya akan menguji kesalahan hitung hasil Pemilu, tetapi disaat yang sama juga akan menilai hasil perhitungan suara Pemilu bisa salah (berubah) karena terpenuhinya apa yang disebut Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM) dalam mekanisme penyelenggaraan Pemilu.

Pada konteks inilah menjadi permasalahannya. Bahwa terpenuhinya TSM, namun tidak mempengaruhi secara “signifikan” suara pemenang yang telah ditetapkan KPU. MK akan menguatkan keputusan KPU dari hasil rekapitulasi suara tersebut. Tidak perlu ada pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa tempat yang terbukti adanya kecurangan. Lagi-lagi di sini, sudah jelas demokrasi yang berbicara adalah suara mayoritas terpenuhi. Sementara untuk tujuan hukum seperti kemanfaatan juga terpenuhi karena roda pemerintahan dalam era transisi akan efektif terlaksana. Pun kepastian hukumnya, sudah lahir ketika MK menjatuhkan putusan yang memang sifatnya final and binding.

Yang tersisa tinggal aspek “keadilan”. Dengan pengabaian MK untuk tidak memerintahkan PSU di beberapa tempat misalnya, di sana telah terjadi ‘pengabaian daulat rakyat untuk beberapa orang di tempat-tempat tertentu. Mereka yang mestinya memilih tidak dalam kondisi kecurangan (suasana intimidasi, mobilisasi, politik uang) tidak terpulihkan hak-haknya, agar kembali memilih menggunakan hak suaranya, berdasarkan kemauan dan kehendak bebasnya.

Ujian Demokrasi

Atas permohonan Prabowo- Hatta ke MK setidaknya terdapat gugatan yang diakui oleh MK. Yakni, ada beberapa pelanggaran dalam proses pemilihan di Papua, namun karena tidak terjadi di banyak tempat, maka kendati pemungutan suara diulang, kemenangan Jokowi-Jk tidak akan tergoyahkan. Dalil MK ini termasuk pada indikator, betapa sulitnya memang demokrasi akan berbanding lurus pada nilai-niali keadilan. Kalaupun terpenuhi cukuplah membenarkan postulat summum ius summa injuria (keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi).

Atas segala kerumitan dan kelelahan kita semua menanti Presiden dan Wakil Presiden terpilih, hingga berakhir dengan vonis MK pada Kamis kemarin. Ujian demokrasi dan keadilan yang selalu “tumpang tindih”. Demokrasi dan keadilan yang sulit dipersatukan, ibarat minyak dan air. Jalan terjal selanjutnya demokrasi dan keadilan akan diuji oleh pemerintahan terpilih itu.

Hanya dari perwujudan pemerintahan yang melahirkan Negara hukum kesejahteraan, pemerintahan yang mewujudkan kesemarataan di semua lini. Tertumpu harapan pada babakan selanjutnya, untuk menunggu demokrasi dan keadilan berada dalam satu jalan meraih kesempurnaannya. Maka tak salah, kalau demokrasi yang paling “bijak” atas segala kekurangannya. Bagi yang menang mesti merangkul pihak yang kalah, dan bagi yang kalah adalah berjiwa besar atas kekalahannya. Demikianlah ikhtiar demokrasi menuju pada kesempurnaannya.(*)

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...