Hukum Penundaan Pemilu

Agus Riewanto: Dosen FH dan Pascasarjana Ilmu Hukum UNS
Wacana penundaan Pemilu 2024 menjadi satu atau dua tahun mencuat kembali, salah satunya usulan dari Ketua Umum PKB Abdul Muhamimin Iskandar dan sebelumnya Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadila. Alasan penundaan pemilu karena mengganggu stabilitas ekonomi dan agar momentum perbaikan ekonomi tidak hilang dan tidak terjadi freeze untuk mengganti stagnasi selama dua tahun masa pandemi. (Kompas, 24/2/2022).
Wacana penundaan pemilu ini mendapat respons publik yang beragam. Ada yang sepakat, ada pula yang menolak, namun hanya bermuara pada argumentasi politik dan ekonomi. Padahal, pemilu merupakan agenda kenegaraan yang fundamental. Maka, wacana ini seharusnya diposisikan dari perspektif hukum ketatanegaraan. Sehingga, penolakan dan kesepakatan atas wacana ini berkepastian hukum dan hukum menjadi pemutus akhir dari wacana pelik kenegaraan.
Perspektif HTN tunda pemilu
Dalam hukum tata negara (HTN) kita tak terdapat peraturan (kekosongan hukum) yang mengatur soal penundaan pemilu, baik di level konstitusi (UUD 1945) maupun undang-undang (UU).
Lihatlah faktanya, Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan: (1) “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 (lima) tahun sekali” dan (2) “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wapres dan DPRD”.
Selanjutnya Pasal 167 Ayat (1) UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan, “Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.” Dengan tak diaturnya penundaan pemilu bukan berarti tak boleh ditunda, karena HTN merupakan ilmu yang mengikuti dinamika problem kenegaraan melalui akomodasi fakta-fakta empirik: sosial, ekonomi dan politik.
Maka terdapat asas HTN laws change by precedent (hukum dapat berubah karena peristiwa tertentu). HTN selalu menyediakan solusi hukum jalan keluar (exit law) pengaturan baru.
Jalan keluar HTN
Karena pemilu merupakan agenda fundamental bernegara maka exit law yang disediakan HTN adalah melalui perubahan konstitusi (UUD). Menurut George Jellinek (1962), perubahan konstitusi bisa dilakukan melalui dua acara. Pertama, verfassungsanderung, dilakukan dengan cara formal yang ditentukan dalam konstitusi.
Kedua, verfassungs-wandelung, dilakukan tidak berdasarkan cara formal yang ditentukan dalam konstitusi, melainkan melalui jalur non formal atau peristiwa luar biasa seperti, revolusi, kudeta (coup d’etat), konvensi dan keadaan darurat.
Perbedaan pokok antara perubahan formal dan non formal konstitusi terletak pada pengaruhnya terhadap teks konstitusi. Perubahan formal tentu saja mengubah bunyi teks konstitusi, sedangkan perubahan non formal konstitusi tidak mengubah teks konstitusi, hanya mengubah makna dan atau praktik (kontekstualisasi) atas norma konstitusi.
Sedangkan menurut KC Wheare, (1992) ada beberapa cara mengubah konstitusi. Antara lain, pertama, some primary forces (beberapa kekuatan yang bersifat primer), dan kedua, judicial interpretation (penafsiran konstitusi oleh pengadilan).
Ubah konstitusi informal
Dalam konteks kekinian pemikiran George Jellinek dan KC Wheare sangat relevan dipertimbangkan. Mengubah ketentuan Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 dengan menambah klausul “menunda Pemilu” dengan perubahan secara formal verfassungsanderung, sesuai ketentuan Pasal 37 UUD 1945 sulit terwujud, karena akan membuka kotak pandora pada keinginan banyak pihak untuk mengubah semua isi konstitusi yang dapat berakibat kegaduhan politik tak berkesudahan.
Mengubah konstitusi bisa dilakukan secara informal (verfas -sungs-wandelung) melalui dua acara. Pertama, melalui some primary forces (beberapa kekuatan yang bersifat primer), misalnya, salah satu kekuatan pendorongnya adalah negara dalam keadaan darurat pandemi Covid-19 dan berdasar pertimbangan obyektif keuangan negara terkonsentrasi untuk penanggulangan Covid-19 sehingga tak mampu membiayai pemilu.
Penundaan pemilu di suatu negara, bukanlah hal yang tabu. Beberapa negara, telah melakukan penundaan pemilu dengan alasan pandemi. Setidaknya berdasar data Institute for Democracy and Electoral Assistance/IDEA (2020) terdapat 48 negara atau 53,79 persen dari 193 negara anggota PBB menunda pemilu karena Pandemi Covid-19, baik pemilu tingkat pusat maupun lokal.
Kedua, melalui judicial interpretation (penafsiran konstitusi oleh pengadilan). Dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki otoritas menafsirkan konstitusi sebagaimana diatur di Pasal 24C UUD 1945. MK pernah menorehkan sejarah melalui putusannya menafsirkan teks UUD 1945 setara dengan mengubah UUD 1945.
Misalnya, Putusan MK No. 008/PUU-II/2004 terkait uji materi UU No 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, ada penafsiran MK yang mengubah secara tak langsung teks UUD 1945, khususnya berdampak pada bunyi Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945.
Memastikan tunda pemilu
Maka exit law yang disediakan HTN guna memastikan boleh-tidaknya penundaan pemilu ini dapat dilakukan melalui uji materi (judicial review) ke MK atas ketentuan Pasal 167 Ayat (1) UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan batu uji Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 dikaitkan dengan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Memaknai Pasal 22E Ayat (1) ini, memang seharusnya kewajiban pemilu adalah setiap lima tahun sekali, jika negara dalam keadaan normal. Namun dikaitkan dengan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945, bagaimana jika realitasnya negara tidak normal?
Mungkinkah dibuka opsi ketatanegaraan menunda/mengundurkan jadwal pemilu? MK dapat berperan karena memiliki kewenangan untuk menafsirkan maksud dari Pasal 22E Ayat (1) dan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 bahwa Pemilu Presiden dan Wapres, DPR, DPD dan DPRD dilaksanakan lima tahun sekali, dan apakah dapat dilaksanakan tidak lima tahun sekali karena dalam keadaan darurat Covid-19?
Putusan MK ini dapat menjadi dasar hukum bagi boleh-tidaknya penundaan pemilu. Putusan MK yang akan memberikan tafsir perihal boleh dan tidaknya penundaan pemilu, juga sebagai jawaban atas kekosongan hukum ketatanegaraan dalam pengaturan penundaan pemilu, baik dalam UUD 1945 maupun dalam UU Pemilu dan sekaligus menjadi pemutus akhir perdebatan masalah fundamental kenegaraan untuk kepastian hukum. ●
Oleh:
AGUS RIEWANTO ; Assosiate Professor Hukum Tata Negara UNS, Ketua Departemen Kerja Sama dan Hubungan antar Lembaga Pengurus Pusat PP APHTN-HAN
KOMPAS, 1 Maret 2022
Sumber : https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/02/28/hukum-penundaan-pemilu