Memprioritaskan Penyelesaian Polemik UU Cipta Kerja

Sumber Gambar: presidenri.go.id

Mahkamah Konstitusi telah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat pada November 2021. Putusan MK tersebut menyatakan bahwa keberadaan UU Cipta Kerja ini cacat secara formil sehingga DPR perlu untuk memperbaiki dalam jangka waktu dua tahun. Cacat formil ini pada akhirnya dapat menimbulkan potensi adanya cacat secara materiil dalam proses pelaksanaannya.

MK menekankan adanya partisipasi masyarakat yang luas terutama bagi masyarakat yang nantinya terdampak secara langsung. Partisipasi ini pun juga harus memenuhi tiga syarat, yakni hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan. Minimnya penerapan asas partisipasi ini mengindikasikan adanya pembuatan aturan yang tidak berorientasi pada kepentingan publik.

Alih-alih memperbaiki UU Cipta Kerja, DPR justru mengebut rencana revisi UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) untuk memasukkan metode Omnibus dalam UU tersebut. Padahal Putusan MK sama sekali tidak mengamanatkan adanya perubahan UU PPP, namun lebih menekankan untuk memperkuat partisipasi publik dalam segala proses pembuatan legislasi.

Dalam usulan revisi tersebut, badan legislasi DPR mengusulkan sejumlah pasal untuk mengakomodasi metode omnibus. Misalnya revisi Pasal 1, Pasal 42, Pasal 64, Pasal 96, dan penambahan judul sub bab pada Bab IV. Serta beberapa poin usulan perubahan yang mencoba merinci sistematika partisipasi publik.

Sebelumnya, penyusunan naskah akademis atas usulan revisi UU PPP ini juga menuai pro-kontra. Sejumlah ahli hukum yang diundang dalam seminar yang dilakukan DPR bukan ahli hukum tata negara. Mereka yang diundang yakni ahli hukum pidana, bisnis, dan pertanahan. Artinya partisipasi yang dimaknai dalam hal ini hanya orang yang diundang dalam seminar. Para ahli yang terdapat dalam beberapa kampus ini terkesan dimaknai sebagai pemberi legitimasi untuk menge-goal-kan revisi UU PPP.

Pemerintah meyakini adanya metode ini dapat menyederhanakan proses legislasi. UU PPP memang tidak melarang penggunaan metode ini, namun juga tidak mengenal secara langsung metode omnibus. Indonesia yang menganut sistem civil law menggunakan tiga sumber hukum, yakni undang-undang, peraturan turunan, dan kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum. Sehingga dalam menggabungkan aturan lazim memakai metode kodifikasi yang membuat suatu kitab yang berisi gagasan hukum yang sistematis, jelas, tidak bertentangan, dan tidak repetitif.

Kita bisa melihat bahwa UU Omnibus ini belum terbukti efektif menyederhanakan regulasi. Misalnya UU Minerba yang telah direvisi pada Juni 2021, namun ada pasal-pasalnya yang masuk dalam UU Cipta Kerja (Jusuf, 2020). Tak ayal pengesahan dan implementasinya selama ini selalu mengundang kontroversi.

Serangkaian fenomena di atas tentunya semakin menurunkan marwah wakil rakyat kita. Persepsi masyarakat akhirnya semakin diyakinkan oleh ulah pembuat kebijakan sendiri yang tak henti-hentinya mengundang keributan di ruang publik. Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia pada November 2021 tentang tingkat kepercayaan publik terhadap institusi negara, DPR termasuk urutan kedua paling bawah setelah partai politik dengan angka hanya 61%. Survei Charta Politika juga menunjukkan hal yang serupa. Hanya 58,6% responden yang percaya kepada DPR dengan urutan kedua terbawah.

Capaian yang telah dikerjakan oleh DPR pun juga patut dievaluasi. Meskipun target program legislasi nasional cenderung meningkat, namun kualitas produk legislasi pun juga patut dipertanyakan. Artinya target undang-undang tidak hanya dilihat dari segi kuantitas, namun juga kualitas. Masih banyak rencana legislasi yang lebih mendesak justru terbengkalai. Misalnya saja RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan RUU Penanggulangan Bencana. Sedangkan UU Cipta Kerja yang banyak menuai kritik publik justru dikebut.

Skala Prioritas

Putusan MK secara kodratnya mempunyai sejumlah karakter pembeda dibanding peradilan umum atau biasa. Itulah sebabnya MK biasa disebut the guardian of the constitution, sebagai pengawal konstitusi. MK menjadi satu-satunya benteng penjaga moral yang berhak menilai apakah produk legislasi kita sesuai atau mangkir dari cita-cita konstitusi sebagai hukum tertinggi.

Kita mengenal sifat putusan MK yang final dan mengikat. Final berarti langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan, tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut. Sedangkan mengikat yaitu putusan MK tidak hanya berlaku bagi beberapa pihak, tetapi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam hal ini, para pihak telah menempuh upaya pencarian keadilan yang ditautkan pada hukum dengan derajat supremasi tertinggi sebagai tolak ukur, yaitu UUD NRI 1945. Tidak ada lagi proses peradilan lain dengan dasar dan tolok ukur hukum yang lebih tinggi derajatnya selain di MK (Suroso, 2014). Tak melaksanakan putusan MK pada hakikatnya adalah sebuah pelanggaran undang-undang, bahkan pelanggaran terhadap hukum tertinggi.

Pemerintah bersama DPR harus memahami skala prioritas penyelesaian polemik UU Cipta Kerja ini. Kita semua menyadari memang begitu banyak tugas rumah DPR yang harus diselesaikan. Namun jangan lupa bahwa Putusan MK memberikan waktu dua tahun untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Sedangkan dua tahun tersebut bukanlah waktu yang lama untuk memperbaiki sekelas UU Cipta Kerja yang secara struktur terdiri dari 15 bab yang berisi 186 pasal dengan 1.187 halaman.

Diperlukan diskusi yang mendalam yang melibatkan berbagai kalangan untuk merumuskan produk perundang-undangan yang berkualitas. Menumbuhkan hukum yang partisipatif berarti memperkuat demokrasi. Begitulah kira-kira amanat konstitusi kita bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

 

Oleh:

Ahmad Adi Susilo; Kepala Divisi Advokasi MCW

DETIKNEWS, 4 Maret 2022

Sumber; https://news.detik.com/kolom/d-5967315/memprioritaskan-penyelesaian-polemik-uu-cipta-kerja.

You may also like...