LGBT Melanggar Hukum?

Sumber Gambar: radarsukabumi.com

Setelah Deddy Corbuzier diancam dan diteror gara-gara podcast tentang LGBT, muncul perdebatan menarik di sejumlah media massa antara Menko Polhukam Mahfud MD dan ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, soal apakah LGBT melanggar hukum Indonesia?

Menurut Mahfud MD, tidak ada hukum yang dilanggar oleh LGBT. Sebaliknya, Chudry berpendapat LGBT melanggar hukum.

UUD 1945 menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi para anggota kelompok minoritas. Secara khusus yang terkait dengan perlindungan hak minoritas terdapat pada 28A, 28C (Ayat 2), 28E (Ayat 2), dan 28I (Ayat 2,3).

Salah satu undang-undang yang mengatur hak minoritas adalah adalah UU No 39/1999 tentang HAM. UU ini menjamin secara rinci berbagai hak-hak asasi warga negara meskipun hak-hak minoritas tidak secara jelas dielaborasi. Pasal 7 memberikan peluang ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional. Lebih jauh, bahkan warga negara bisa menggunakan hukum hak asasi internasional untuk klaim haknya.

Namun, kenyataannya, jaminan hak bagi kelompok minoritas, terutama terkait orientasi seksual dan identitas jender, sampai hari ini masih sangat kontroversial. Pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas jender kerap terjadi. Sekalipun sudah ada jaminan dalam konstitusi dan berbagai UU yang menyatakan persamaan warga negara di depan hukum, tetapi mereka yang memiliki orientasi seksual dan identitas jender di luar mayoritas akan menjadi sasaran persekusi.

Di Indonesia masih banyak peraturan perundang-undangan yang sangat berpotensi merenggut hak-hak dasar kelompok karena perbedaan orientasi seksual, misalnya UU No 1 /1974 tentang Perkawinan dan UU No 44/2008 tentang Pornografi. Di tingkat daerah dapat ditemukan sejumlah peraturan daerah yang diskriminatif terhadap kelompok orientasi seksual tertentu (Lihat, Choirul Anam, et.al, Upaya Negara Menjamin Hak-Hak Kelompok Minoritas di Indonesia Sebuah Laporan Awal, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2016).

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, prinsip-prinsip moral menjadi sangat penting untuk diakomodasi dalam hukum positif apabila martabat kemanusiaan dan kesejahteraan umum masyarakat terancam atau dibahayaka, jika prinsip-prinsip moral itu dilanggar atau diabaikan misalnya korupsi, pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, dan sebagainya. Tentu, semua ini sudah jelas sehingga tidak perlu dipersoalkan.

Yang kita pertanyakan apakah negara berwenang membuat undang-undang yang melarang orang yang melakukan suatu perbuatan yang dianggap bertentangan dengan norma-norma moral tertentu walau perbuatan itu tidak merugikan kesejahteraan umum, misalnya LGBT? Apakah tugas negara menjaga dan menyempurnakan moral seseorang atau warga masyarakat walau dari segi keselamatan masyarakat dan kesejahteraan umum tidak ada hubungannya?

Dalam kasus yang rumit, misalnya suatu hak menurut rumusan HAM dijamin, tetapi menurut pandangan mayoritas masyarakat setempat perbuatan itu dapat digolongkan immoral. Dalam konteks ini, mengindentifikasi moral bukan soal menghitung berapa suara atau membuat jajak pendapat bahwa yang terbanyak suara pasti yang benar. Kita perlu berdiskusi, berefleksi melakukan pendalaman filosofis.

Tentang hubungan hukum dan moral, ada perdebatan menarik yang bisa menjadi inspirasi para legislator, yakni perdebatan antara Devlin dan Hart. Devlin setuju perbuatan yang immoral diatur dan ditindak secara hukum, sebaliknya Hart tidak setuju.

Menurut Devlin, sebuah perbuatan dapat digolongkan immoral ditentukan oleh manusia yang berakal sehat (the reasonable person). Untuk mencapai itu, pandangan moralitas publik dapat dijadikan hukum. Negara, kata Devlin, memiliki kewenangan untuk menjaga dari kerusakan moral (Lebih lengkapnya, baca pandangan Devlin dalam bukunya yang berjudul The Enforcement of Morals, Oxford: Oxford University Press, 1993).

Hart menanggapi pandangan Devlin dengan menunjukkan bahwa pendapat Devlin dapat digolongkan ke dalam pendukung moralitas positif. Hart memilih moralitas kritis dibandingkan moralitas positif. Pendekatan Hart berjasa, jika kita tidak kritis, ada bahaya membela prasangka masyarakat atau kepentingan golongan mayoritas yang berkuasa dengan mengatasnamakan moral (Baca, HLA. Hart, Law, Liberty, and Morality, New York: Vintage Books, 1966).

Perselisihan dua filsuf itu membantu kita bagaimana mempertanyakan klaim kebenaran umum yang sudah mapan misalnya, apakah perbuatan yang bertentangan dengan moralitas publik dapat mengancam keberadaan masyarakat itu sendiri? Apakah apabila mengabulkan hak akan mengakibatkan bahaya bagi moralitas publik?

Pertama, kesempurnaan moral seseorang bukan wewenang negara dan masyarakat. Kedua, negara melalui hukum tidak akan sanggup untuk menyempurnakan moral seseorang. Moral berada di ranah batin atau motif internal, sementara hukum di ranah eksternal. Bagaimana mungkin hukum formal yang berada di ranah eksternal mampu menjangkau hingga ke ranah batin? Hukum formal hanya mampu menjangkau kepatuhan fisik sehingga memaksa moral sesuai dengan regulasi hukum hanya melahirkan para munafik. Sekarang menjadi jelas, masalah moral harus dipecahkan dengan etika (ilmu tentang moral), bukan dengan hukum semata. Apalagi dengan main hakim sendiri.

Ketiga, kalau negara berusaha memaksakan hukum masuk mengatur pada wilayah yang paling privat dari manusia, maka itu sebenarnya berarti bahwa sekelompok orang yang berkuasa mau memaksakan pandangan moral sendiri kepada minoritas.

Esensi manusia adalah ketika manusia dilucuti satu per satu aksesorisnya (ras, bangsa, jenis kelamin, kelas sosial dan sebagainya), maka yang tersisa adalah esensi kemanusiaannya.

Semua orang memiliki hak asasi tanpa memandang latar belakang apa pun. Hak-hak asasi tersebut bersifat inheren dan siapa pun tidak dapat mencabut atau memberikan secara sukarela. Negara tidak berwenang menentukan segala-galanya, tugasnya terbatas kepada penyelenggaraan kesejahteraan umum. Negara tidak mempunyai wewenang untuk mengatur orientasi seksual seseorang. Apalagi, organisasi massa. Hak asasi manusia menjamin setiap orang menentukan tolak ukur moralitas bagi dirinya selama semua itu tidak membahayakan orang lain.

Jika kita gegabah, menyerahkan urusan moralitas kepada negara, kelemahannya memandang negara terlalu suci dan mempercayakannya sebagai kepala rumah tangga moral membuat kita tidak bisa membedakan mana kepentingan rezim dan mana kepentingan negara. Apabila negara mewajibkan warganya sesuai dengan standar moral tertentu, padahal itu tidak lebih dari usaha orang-orang yang memegang kekuasaan dalam negara, bukankah itu sama dengan memaksakan cara pandang moralnya agar diikuti oleh warga masyarakat? Apabila negara atau warga masyarakat memaksakan masuk mencampuri pandangan dan sikap moral seseorang atau warga masyarakat, bukankah itu sama dengan totalitaritarianisme terselubung dengan rupa fasisme religius?

Sebaiknya, bangsa ini perlu membiasakan diri dengan berefleksi (mempertanyakan secara kritis), berpikir dan berdiskusi menghadapi masalah pelik di masyarakat, daripada sebentar-bentar mengedepankan amarah.

Oleh:

Widodo Dwi Putro

Dosen Filsafat Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram

KOMPAS 20 Mei 2022

Sumber : https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/05/18/lgbt-melanggar-hukum

You may also like...