Menyoal Kasus Susianti: Retribusi atau Denda?

Pemerintahan Daerah Kabupaten Bone kembali disoroti, gara-gara oknum Bidan di kecamatan Cina mewajibkan seorang warga yang bernama Susianti membayar sebanyak Rp. 750.000,00. Susianti diwajibkan membayar sebanyak itu, konon karena persalinannya tanpa pelayanan Bidan puskesmas setempat.

Hampir semua pemberitaan yang mengangkat isu Susianti ini, sulit membedakan kalau sejumlah uang yang telah disetor ke Bidan tersebut, apakah sebagai retribusi ataukah denda? Padahal tidaklah memenuhi kedua-duanya.

Dalam tulisan ini, dengan tidak bermaksud untuk membela Susianti atau sebaliknya hendak membela oknum Bidan tersebut. Kiranya menjadi penting untuk menjelaskan posisi dan status hukumnya masing-masing. Pertama, bagaimana perbedaan retribusi dengan denda?; Kedua, apakah pemungutan retribusi oleh sang Bidan kepada Susianti telah sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bone sebagai pedoman dalam pemungutan retribusi pelayanan kesehatan di daerah tersebut?

Sumber Gambar: makassar.tribunnews.com

Sumber Gambar: makassar.tribunnews.com

Retribusi Vs Denda

Kendatipun dalam pemenuhan kewajiban atas masalah hukum retribusi dan denda, masing-masing prestasinya dengan cara menyerahkan sejumlah uang tertentu, akan tetapi memliki perbedaan dari maksud dan tujuan pemungutannya. Retribusi dapat di pungut oleh Pemerintah Daerah atas jasa atau pelayanan langsung yang diberikannya dan dinikmati oleh seseorang. Sedangkan denda, hanya dapat dikenakan terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, sebagai konsekuensi perbuatan tercelanya telah merugikan kepentingan negara (publik), lazimnya denda hanya dapat dijatuhkan kepada seseorang melalui vonis pengadilan inkra.

Baik retribusi maupun denda memang bertendensi hukum publik, namun sekali lagi menjadi penting untuk diperhatikan kalau ruang lingkup pengenaan retribusi terhadap setiap orang lebih banyak bermuatan hukum administrasi, sebab hal itu menyangkut kebijakan yang diambil oleh pelaksana Undang-Undang, dalam hal ini Pemerintah Daerah dengan instansi terkait lainnya. Sementara pada pengenaan denda, scope kajiannya berada dalam ranah hukum pidana.

Dalam konteks pembayaran sejumlah uang oleh Susianti kepada sang Bidan tersebut, pada dasarnya dapat dianggap sebagai perikatan biasa, yaitu perjanjian memberikan jasa. Sebuah perjanjian antara Bidan dengan pasien yang akan memberikan pelayanan berdasarkan keahlian.  Tentu dengan keahliannya sang Bidan, si pasien yang telah mendapat perawatan wajib membayar sejumlah uang yang disepakatinya.

Hanya saja, dengan Perda Nomor 4 Tahun 2014 atas perubahan Perda Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Umum telah mengubah status hukum dari setiap pelayanan kesehatan bagi ibu yang melahirkan di Kabupaten Bone. Perubahannya menyatakan bahwa setiap pelayanan kesehatan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, digolongkan sebagai retribusi yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah atau pejabat instansi lain yang berwenang (Vide: Pasal 1 angka 13 Perda Nomor 2 Tahun 2011).

Ternyata,  kalau mau ditelusuri lebih lanjut maksud Perda tersebut, mengubah status hukum pelayanan kesehatan, diawalnya bersegi hukum perdata lalu diubah bersegi hukum publik dalam instrument pemungutan retribusi pelayanan kesehatan, sarat dengan tujuannya, yakni mengutamakan kepentingan publik pula. Diharapkan dengan diambil alihnya pelayanan kesehatan oleh Pemerintah Daerah, maka dapat diprioritaskan pemenuhan atas hak kesehatan yang baik bagi setiap orang. Terutama bagi mereka yang tidak mampu membayar jasa sang Bidan, dapat tertolong kalau “digratiskan” dalam hal membutuhkan pelayanan kesehatan.

Selain itu, kalau dikelola oleh Pemerintah Daerah maka dapat pula mengontrol jasa pelayanan kesehatan; sang Dokter, Bidan, dan Perawat akan berbiaya rendah, atau minimal bisa dijangkau oleh orang yang tidak mampu. Tidak dengan seenaknya saja pelayanan kesehatan di daerah, di pelosok terpencil, akan menetapkan biaya pelayanan “mahal” namun tidak senilai dengan jasa yang telah diberikannya.

Alih-alih Pemerintah Daerah Kabupaten Bone hendak memberikan pelayanan terbaik untuk warganya, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Susianti tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, tetapi dikenakan wajib retribusi.

Sungguh amat bertentangan dari prinsip pemungutan retribusi jasa umum., yaitu: memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektifitas pengendalian atas pelayanannya (Vide: Pasal 20 Perda Nomor 4 Tahun 2014).

Bukan Retribusi

Dengan mengikuti kronologis kasus Susianti, kendatipun dia telah membayar sejumlah uang kepada Bidan puskesmas setempat, tidak dapat dikatakan sebagai pembayaran retribusi pelayanan kesehatan.

Dalam pemungutan retribusi pelayanan kesehatan sebagaimana yang ditentukan dalam Perda Retribusi jasa umum, membebankan kewajiban kepada Bidan, prasyarat telah memberikan pelayanan kesehatan.

Posisi kasus Susianti, sama sekali sang Bidan tidak memberikan pelayanan kesehatan. Dilansir dari berbagai media, kalau Bidan senior itu malah datang terlambat, dan hanya menemukan Susianti telah melahirkan anaknya. Oleh karena itu, Susansi tidak menjadi wajib membayar retribusi  pelayanan kesehatan. Kepadanya, baru menjadi wajib membayar retribusi, kalau si Bidan puskesmas telah menunaikan kewajibannya pula dalam “membantu” proses kelahiran anak Susianti.

Sederhananya, si Bidan baru memiliki hak untuk menagih sejumlah retribusi mengatasnamakan diri sebagai “pemungut retribusi” kalau kewajiban untuk melakukan pelayanan kesehatan telah selesai. Dan bersamaan dengan itu, Susianti sudah masuk dalam kualifikasi wajib retribusi.

Sebuah postulat dalam hukum pajak lazim digunakan, yaitu: tidak ada pajak tanpa perwakilan (No Tax Without Representation), maka senada dengan itu dalam retribusi pelayanan kesehatan, juga berlaku postulat: “tidak ada retribusi tanpa adanya pelayanan kesehatan yang telah diberikan sebelumnya.”

Menjerat Sang Bidan

Dalam kasus yang menimpa Susianti, patut menjadi perhatian pula terhadap perbuatan sang Bidan yang telah memungut sejumlah uang kepada pasien tanpa adanya pelayanan. Apakah perbuatannya terkualifikasi sebagai tindak pidana umum, atau tindak pidana khusus di bidang retribusi, ataukah hanya pelanggaran administrasi?

Kalau si pasien berada dalam keadaan tidak tahu menahu, terdapat serangkain kata-kata-kata bohong, tipu muslihat, sehingga pada akhirnya menyerahkan sejumlah uang kepada sang Bidan, oleh karena dianggapnya sebagai pembayaran retribusi. Besar kemungkinannya sang Bidan telah melakukan tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHPidana).

Ataukah karena sang Bidan telah melakukan pemungutan retribusi, tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dalam Perda tersebut, salah sasaran dalam pemungutannya, memungut lebih dari jumlah yang ditentukan. Boleh jadi sang Bidan terseret dalam Tindak pidana retribusi pula. Namun lucunya, Perda tentang Retribusi Jasa Umum di Kabupaten Bone, hanya menjerat tindak pidana retribusi bagi si wajib retribusi saja, padahal pejabat yang memungut dapat juga melakukan tindak pidana  penggelapan retribusi yang dipungutnya itu

Selemah-lemahnya hukuman bagi si Bidan tersebut, kalau statusnya sebagai pejabat aparatur sipil negara, Pegawai Negeri Sipil yang memberikan pelayanan kesehatan kepada setiap warga di tempat kerjanya, dapat juga dikenakan sanksi administratif atas dirinya karena telah menyimpang dari tugas profesinya, entah teguran lisan, teguran tertulis, penundaan kenaikan pangkat, dan seberat-beratnya sanksi ia akan diberhentikan dari jabatannya sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Kita peduli pada Susianti, kita juga peduli dengan Sang Bidan puskesmas tersebut. Efektivitas pelayanan kesehatan bagi setiap ibu yang akan melahirkan di Kabupaten Bone harus kembali ditinjau ulang manajemen pelayanan dan administrasinya. Pemerintah Daerah harus memprioritaskan tingkat pelayanan kepada warganya, baru melangkah pada kebijakan pemungutan retribusi jasa umum, khususnya wajib retribusi pelayanan kesehatan dalam setiap persalinan pasien di Kabupaten Bone.*

Artikel ini juga muat di Tribun Bone, 24 Mei 2016

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...