Kontroversi Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah

Sumber Gambar: kompas.com

Ada apa dengan pengangkatan caretaker atau penjabat (Pj) kepala daerah belakangan ini? Kenapa gaduh, heboh, dan dipersoalkan oleh publik? Padahal, selama ini penunjukan Pj gubernur, Pj bupati, dan Pj wali kota dari pegawai negeri boleh dibilang aman-aman saja.

Pemicunya adalah gara-gara diserentakkannya pemilihan kepala daerah (pilkada) secara nasional di 541 daerah pada 2024 sesuai UU Pilkada No 10 Tahun 2016. Konsekuensinya, model pilkada sela atau bergelombang pada tahun 2022 di 101 daerah, tahun 2023 di 170 daerah, dan tahun 2025 di 270 daerah yang sebetulnya sudah baik—sebagaimana diatur di dalam UU Pilkada No 8 Tahun 2015—menjadi ditiadakan.

Argumen pemerintah, pilkada serentak nasional itu akan membuat sinkronnya perencanaan pembangunan lokal dengan perencanaan pembangunan nasional. Hal itu karena Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) presiden terpilih 2025-2030 akan berbarengan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) kepala daerah terpilih pada 2025-2030 di seluruh daerah di Indonesia.

Alasan ini lemah. Dalam praktik, RPJMD sering tak nyambung dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), apalagi dengan RPJMN. Pendek kata, realitasnya lain rencana, lain penganggaran, lain pula pelaksanaan.

Dampak dari proyek ambisius untuk menyatukan pilkada secara nasional yang dibuat tanpa simulasi yang cermat itu adalah terjadi kekosongan jabatan kepala daerah di 271 daerah di Indonesia. Sesuai asas ”tak boleh ada kekosongan kekuasaan pemerintahan” (no vacuum of power), diangkatlah 271 Pj kepala daerah dari pejabat struktural aparatur sipil negara (24 gubernur, 191 bupati, dan 56 walikota). Jumlah penduduk Indonesia di 24 provinsi yang bakal diperintah oleh para pegawai negeri ini tidak main-main, sangat besar, tidak kurang dari 240 juta orang (89 persen).

Waktu mereka memimpin daerah juga sangat lama, dalam bilangan tahun, bahkan ada yang hampir mencapai tiga tahun. Jika memakai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), masa jabatan satu periode itu adalah dua setengah tahun tambah satu hari. Berarti, para Pj kepala Daerah ada yang masa jabatannya masuk kategori satu periode. Selama ini, Pj kepala daerah rata-rata hanya bertugas dalam hitungan bulan.

Namun, yang membuat publik waswas adalah para Pj kepala daerah dari pegawai negeri itu memimpin pemerintahan pada waktu digelarnya pemilu presiden dan pemilu legislatif 14 Februari 2024, dan pilkada serentak nasional 27 November 2024. Sudah menjadi rahasia umum, PNS mudah dipolitisasi oleh pihak yang berkuasa, yang tentu berkepentingan agar partai atau calon presiden/calon kepala daerah ”jagoannya” memenangi kontestasi pemilihan. Dikhawatirkan akan terjadi fraud yang bisa mengganggu integritas pemilu Indonesia.

Selain itu, yang tidak kalah serunya, presiden baru yang dilantik 20 Oktober 2024 harus mengawal eksekusi pilkada serentak nasional 27 November 2024 agar berlangsung aman dan damai serta jujur dan adil. Sementara, ia baru menjalankan roda pemerintahan selama lima minggu. Belum lagi perkara efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan keberlanjutan pembangunan yang tentu akan berat dijalankan oleh para Pj ini, terutama dalam menghadapi DPRD di tahun politik yang cenderung banyak tuntutan, sehingga berpotensi bakal banyak terjadi policy dead-lock.

Selain itu, posisi mereka sebagai orang dropping dari ”atas” menjadi Pj kepala daerah sambil merangkap jabatan struktural aparatur sipil negara (ASN), tak ada wakil kepala daerah yang membantu, kewenangan sebagai Pj kepala daerah yang terbatas, dan lemahnya kemampuan kepemimpinan politik pada tahun pemilu, bisa memengaruhi kinerja pemerintahan daerah memulihkan ekonomi yang diinstruksikan Presiden Joko Widodo.

Ragam kegaduhan

Pertama, penunjukan Pj kepala daerah yang tidak transparan dan tidak partisipatif. Setelah lima Pj gubernur dilantik Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada 12 Mei lalu, publik langsung menyoal proses penunjukannya. Kenapa seorang jenderal polisi yang baru pensiun dan belum berpengalaman dalam pemerintahan sipil bisa jadi Pj Gubernur Papua Barat?

Kenapa Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang orang sektoral bisa ditunjuk sebagai Pj Gubernur Bangka Belitung, dan Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Kementerian Pemuda dan Olahraga diangkat menjadi Pj Gubernur Gorontalo?

Kenapa pula Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri yang supersibuk mengurus 542 daerah otonom dan terlibat memfasilitasi kelancaran jalannya pilkada serentak 2024 diturunkan memegang jabatan Pj di lokasi yang jauh di Provinsi Sulawesi Barat? Apakah tak ada staf ahli Menteri Dalam Negeri yang bisa diserahi amanah menjadi Pj gubernur di sana? Yang mencengangkan, Sekretaris Daerah Provinsi Banten yang pernah dicopot gubernurnya (Wahidin Halim) ditugaskan sebagai Pj Gubernur Banten.

Infografik Latar Belakang Penjabat Kepala Daerah Dilantik Mei 2022

Kedua, pengangkatan anggota TNI aktif sebagai Pj kepala daerah. Dengan ditunjuknya Brigjen Adi Chandra As’aduddin yang menjabat Ka Binda Provinsi Maluku sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat, berbagai kritik dialamatkan ke pemerintah, mulai dari perkara tidak diperhatikannya Putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022, diabaikannya UU ASN No.5/2014 yang menggariskan jabatan struktural ASN tanpa ”lepas baju” anggota TNI/Polri hanya berlaku di 10 kementerian/ lembaga saja tak termasuk pemda, hingga tuduhan dikhianatinya reformasi yang telah menghapus Dwi Fungsi ABRI. Kasus ini juga mengindikasikan goyahnya kepercayaan kepada supremasi sipil.

Ketiga, resistensi para gubernur. Kekecewaan Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi dan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba tampak dari ditundanya pelantikan Pj bupati dropping pusat (bukan dari calon yang diusulkan gubernur) di Kabupaten Muna Barat dan Kabupaten Buton Selatan. Malah Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura enggan melantik dan menugaskan saja wagub-nya Ma’mun Amir mengambil sumpah Pj Bupati Banggai Kepulauan Dahri Saleh (Kepala Biro Pemerintahan) yang tidak diusulkannya.

Seusai pelantikan entah mengapa yang bersangkutan menyatakan mengundurkan diri sehingga Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura menunjuk Sekda Banggai Kepulauan sebagai Plh (Pelaksana Harian) Bupati.

Kegaduhan pengangkatan Pj ini agaknya tak akan berhenti apabila regulasinya tidak diperbaiki. Pj kepala daerah yang dilantik baru 42, sehingga masih akan ada 229 pengangkatan Pj lagi. Begitu pula ragam kegaduhannya bisa berkembang ke berbagai bidang, bukan hanya terkait penunjukan dan pelantikan.

Indonesia awal mulanya tak mengenal pilkada serentak. Pilkada digelar setiap daerah sesuai dengan akhir masa jabatan setiap kepala daerah. Sesudah pilkada dibuat secara langsung pada 2005, timbul persoalan besarnya biaya penyelenggaraan yang menguras APBD.

Guna menekan biaya, Provinsi Sumatera Barat pada 2005 dan Provinsi Aceh tahun 2006 menyerentakkan hari pencoblosan pemilihan gubernur dengan pemilihan bupati/wali kotanya di sebagian besar daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya berdekatan. Tercatat waktu itu di Sumatera Barat ada 14 dari 18 daerah, dan di Aceh ada 20 dari 23 daerah, yang diserentakkan.

Hasilnya, terjadi efisiensi signifikan sekitar 60 persen dari total biaya karena honor petugas pelaksana pilkada serentak (gubernur/bupati/wali kota) cukup dibayar satu kali. Selain itu, pemilih juga tidak lelah (election fatique) karena tidak perlu bolak-balik ke TPS dalam waktu berdekatan memilih gubernur dan bupati/wali kota.

Best practices dari Sumatera Barat dan Aceh ini kemudian menjadi embrio pilkada serentak kita. Berkembang dua model, yaitu pilkada serentak bergelombang an sich dan pilkada serentak bergelombang menuju pilkada serentak nasional.

Politik hukum pilkada kita memilih pilkada serentak bergelombang menuju pilkada serentak nasional. Hanya tahun penyelenggaraannya tak disamakan dengan tahun pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) seperti ditetapkan di UU Pilkada No 8 Tahun 2015. Pilpres dan pileg dilaksanakan di 2024, sedangkan pilkada serentak nasio- nalnya digelar di 2027, tiga puluh bulan setelah pilpres dan pileg. Dengan adanya jeda, beban Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara tidak berat.

Namun, lewat UU Pilkada No 10 Tahun 2016 dilakukan perubahan, pilkada serentak nasional dipercepat ke 2024, bersamaan dengan tahun pilpres dan pileg, walaupun hari pencoblosannya tak sama. Dengan kebijakan ini targetnya pilpres, pileg, dan pilkada selesai semuanya di 2024, serta rencana pembangunan nasional dan lokal bisa sinkron. Namun, konsekuensinya beban KPU berat dan masa jabatan Pj kepala daerah lama.

Seusai pilpres dan pileg serentak 2019 yang menelan korban hampir 1.000 jiwa petugas KPPS, pemerintah sempat berpikir ulang untuk mengubah politik hukum pilkada dengan meniadakan pilkada serentak nasional, tapi tetap mempertahankan pilkada serentak bergelombang (2020, 2022, dan 2023). Begitu seterusnya pilkada serentak bergelombang diselenggarakan setiap lima tahun.

Sayangnya, pikiran ini tak berlanjut dengan merevisi UU Pilkada No 10 Tahun 2016. Kalau saja pikiran ini ditindaklanjuti oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, tidak akan terjadi kekacauan pengangkatan Pj kepala daerah seperti saat ini.

Mitigasi kebijakan

Mitigasi kebijakan adalah suatu keniscayaan yang seyogianya ditempuh pemerintah agar bisa escape dari karut-marut pengangkatan Pj kepala daerah ini. Pemimpin pemerintahan yang peka dan melihat jauh ke depan (tanggap ing sasmito), tentu akan mengevaluasi dan bertindak cepat mengatasinya. Ia layaknya seorang nakhoda kapal yang melihat tanda-tanda bakal datangnya badai, lalu mengubah haluan yang sudah direncanakan agar kapal tak oleng.

Penerbitan peraturan pemerintah (PP) baru sebagai pedoman dalam pengangkatan Pj kepala daerah sangat diperlukan. Bukan saja untuk memenuhi putusan MK, melainkan juga untuk memperbaiki aturan main lama pengangkatan Pj kepala daerah yang tidak cocok lagi dengan perkembangan keadaan. Kekosongan jabatan kepala daerahnya lama serta ada pula tugas mengurus pemilu dan pilkada serentak nasional.

Aturan main lama yang tersebar di dua PP (PP No 6 Tahun 2005 dan PP No 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah), dan dua Permendagri (Permendagri No 74 Tahun 2016 dan Permendagri No 1 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara bagi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota), yang intinya tak transparan dan tak partisipatif dalam proses pengangkatan Pj kepala daerah, sangat tak memadai karena hanya melibatkan gubernur, mendagri, dan presiden.

Begitu pula perkara kewenangan Pj kepala daerah masih terbatas, padahal ia mengurus daerah dalam waktu lama. Termasuk soal pengawasan, sanksi dan diklat orientasi kepemimpinan kepala daerah tidak ada pengaturannya sama sekali. Karena itu, sebaiknya sebelum dilaksanakan pelantikan Pj kepala daerah gelombang berikutnya, pemerintah membuat PP baru lebih dahulu. Apabila PP itu belum jadi dan ada jabatan kepala daerah yang kosong, sekda diangkat sebagai Plh kepala daerah.

 

Oleh:

Djohermansyah Djohan

Guru Besar IPDN, Dirjen Otonomi Daerah 2010-2014, dan Pj Gubernur Riau 2013-2014

KOMPAS, 8 juni 2022

Sumber :https://www.kompas.id/baca/opini/2022/06/07/kontroversi-pengangkatan-penjabat-kepala-daerah

You may also like...