Ancaman Logistik Pemilu.

Ferry Daud Liando
Alumni Department of political science university of Massachusetts USA

Topik perbincangan tentang isu kepemiluan hari ini adalah desakan sejumlah pihak dibentuk Peraturan Pemerintah pengganti UU atau perppu terhadap sejumlah masalah krusial yang hingga kini belum ada ujungnya. Salah satu bagian yang dikoreksi adalah ketersediaan logistik jumlah kertas suara cadangan sebanyak 2 persen dari jumlah pemilih dalam DPT.

Pasal 350 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, disebutkan bahwa jumlah surat suara di setiap TPS menyesuaikan dengan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), dan ditambah dua persen. Angka jumlah dua persen itu diambil dari jumlah DPT. Hal ini mengkhawatirkan karena selain pemilih di DPT, KPU juga melayani pemilih pindahan dan pemilih yang belum terdaftar dalam DPT tapi memiliki KTP.

Belakangan atas desakan publik, KPU juga sepertinya akan melayani pemilih yang hanya menggunakan surat keterangan pengganti KTP. Padahal UU hanya mewajibkan pemilih yang memiliki KTP. Jika KPU terus melayani penambahan pemilih maka peluang terjadinya kekurangan surat suara, apalagi kertas suara cadangan hanya 6 lembar (2 persen dikali 300 jumlah DPT).

Surat suara ini diperuntukkan juga sebagai pengganti surat suara yang rusak. Namun demikian langkah-langkah KPU menjamin penggunaan hak memilih bagi setiap warga negara yang berhak patut diapresiasi. Pertama, sebagai upaya KPU mendorong kenaikan tingkat partisipasi pemilih. Pemilu 2019, KPU menargetkan capaian partisipasi pemilih sebesar 77,5 persen. Sebuah upaya memperbaiki pencapaian pada pemilu sebelumnya yang tingkat partisipasinya cenderung rendah. Pada Pilpres 2014, partisipasi pemilih hanya mencapai 69,58 persen. Sedangkan partisipasi pemilih di pilcaleg sebesar 75,11 persen. Angka yang tidak berpartipasi mengalahkan perolehan suara PDIP sebagai pertai politik pemenang pilcaleg yang hanya memperoleh 18,19 persen.

Banyak upaya lain yang dialakukan KPU memperbaiki jumlah pemilih seperti membentuk rumah pemilu, relawan demokrasi, goes to campus, Selebrasi dan sosialisasi serta mendata secara akurat para warga negara yang memiliki hak pilih termasuk kaum disabilitas dan yang memiliki gangguan jiwa sekalipun.

Kedua, pendataan pemilih sebagai upaya KPU mengantisipasi adanya gugatan warga negara yang kehilangan haknya sebagai pemilih. Ketentuan Pasal 510 UU No. 7 Tahun 2017 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (Dua puluh empat juta rupiah).

Ketiga, pencermatan data pemilih secara ketat adalah untuk mengantisipasi adanya gugatan pasangan calon yang kalah. Selama ini dalam rangkaian pemilu sebelumnya, sengketa hasil yang diajukan pihak yang kalah adalah menyangkut daftar pemilih. Sehingga KPU berupaya menutupi rapat-rapat adanya celah gugatan terhadap dafar pemilih. Dalam hal ini KPU sudah benar. Namun demikian ada hal yang perlu diluruskan terkait dengan menghilangkan hak pilih warna warga negara. Pasal pidana hanya akan menyeret kepada pihak yang dengan sengaja menghilangkan hak pilih sesorang.

Namun demikian jika seseorang atau warga negara yang dengan sengaja menghilangkan sendiri hak pilihnya, maka tidak ada satu frasa dalam UU pemilu yang menjeratnya dalam pasal pidana. Misalnya seseorang yang sudah terdaftar dalam DPT namun pada hari pencoblosan karena dalam keadaan tertentu tidak berada di TPS dimana namanya terdaftar. Keadaan tertentu dikarenakan memilih bekerja di tempat lain, sedang ada aktivitas yang tidak bisa ditinggalkan atau dengan makaud untuk berlibur. Apalagi tanggal 17 April itu berdekatan dengan perayaan Paskah bagi kaum Nasrani.

Momentum ini akan dimanfaatkan oleh siapa saja untuk berlibur. Jika pemilih tidak memiliki niat untuk memilih, maka tidak ada pasal yang bisa menjeratnya. Karena memilih bagi warga negara bukanlah sebuah kewajiban tapi sebatas pada hak politik. Sehingga agak Sulit jika KPU terkesan memaksakan dan berupaya mendaftarkan para pemilih di tempat yang ia datangi pada saat pencoblosan. Jadi jika pemilih tidak memilih di TPS dimana namanya terdaftar karena Alasan-alasan tertentu, hal itu bukanlah kategori menghilangkan hak pilih sebabagaimana frasa dalam pidana pemilu.

Kualitas pemilu tidak hanya diukur dari tingkat partisipasi, namun kualitas warga negara yang memilih juga menjadi penting. Jika pemilih harus memilih karena dipaksakan, maka akan menjadikan pemilu itu tidak berkualitas. Namun demikian KPU hanyalah eksekutor dari UU pemilu. Hingga kini UU pemilu masih mengisahkan banyak persoalan. Sehingga ada desakan untuk mengkaji kembali. Selain usulan pembuatan perppu, mengajukan judicial review ke MK serta ada juga yang mendesak revisi DPR RI.

Apapun pilihannya tetap beresiko. Namun sebuah kritik bagi DPR RI yang memproduksi UU ini. Selama pembahasan RUU pemilu, DPR hanya disibukan pada pasal-pasal krusial yang berkaitan dengan siapa mendapatkan apa. Hal yang lebih krusial dialpakan.

 

Oleh:

Ferry Daud Liando

Alumni Department of political science university of Massachusetts USA

& Dosen S2 Tata Kelola Pemilu diĀ Universitas Sam Ratulangi

Artikel Ini Telah Muat Sebelumnya Di Harian Manado Post, 25 Februari 2019

You may also like...