Mengakhiri “Kisruh” KPU dan Bawaslu
Entah siapa yang memulai menabuh genderang kekisruhan di dua tubuh penyelenggara pemilu itu. KPU dan Bawaslu sebagai lembaga yang konstitusional diharapkan akan mengawal demokrasi. Menuju pemilu 9 April 2014 nanti. Namun baru pada tahapan pertama verikasi administrasi terhadap partai politik. Agar dapat lolos sebagai peserta pemilu, telah muncul kisruh diantara keduanya. Sejumlah partai politik dinyatakan oleh Bawaslu agar tetap diloloskan, dan selanjutnya dapat mengikuti verifikasi faktual.
Pada awalnya KPU menolak keputusan Bawaslu. Namun karena semua anggota komisioner KPU di laporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) oleh Bawaslu. Akhirnya KPU menerima putusan DKPP untuk mengikutkan partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi dalam verifikasi faktual.
Kisruh tersebut tidak berakhir sampai di situ. Putusan Bawaslu yang menerima permohonan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia kembali menjadi pemicu. Bawaslu menilai putusannya sudah final sehingga memerintahkan KPU melaksanakannya. Sedangkan KPU memiliki tafsiran yang berbeda. Selain menilai putusan Bawaslu tersebut belum final, Bawaslu telah melampaui wewenang dalam menjatuhkan putusan. Lagi-lagi sikap penolakan itu akhirnya berujung dengan pelaporan seluruh komisioner KPU ke DKPP karena keberatan KPU, dianggap oleh Bawaslu sebagai bentuk pelanggaran “kode etik.”
Keretakan kedua lembaga ini tidak boleh dibiarkan terus berlarut-larut. Karena tumpuan penegakan demokrasi bersama, berada di dua tubuh penyelenggara pemilu ini. Jangan sampai konfilik yang terus berlarut di setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Akan muncul lagi. Dan menyebabkan terjadinya “defisit” kepercayaan dari publik atas hasil Pemilu 2014 nanti.
TAFSIR
Mencermati lebih jauh dalam Undang-Undang Pemilu, setidaknya dalam Pasal 259 ayat 3 UU Pemilu menjadi awal pemicunya. Dari kedua penyelenggara Pemilu tersebut. Terjadi tafsir yang berbeda jika diperhatikan lebih jelas dalam pasal tersebut.
Pasal 259 menegaskan “Dalam hal sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi partai politik peserta pemilu dan daftar calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dapat diselesaikan, para pihak yang merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan KPU dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.”
Tafsir berbeda yang muncul dari pasal di atas. Adalah kata “para pihak” yang merasa dirugikan. Pasal ini menempatkan seolah-olah hanya partai politik yang dapat dikatakan sebagai pihak yang merasa dirugikan. Sementara KPU sebagai pihak yang juga sedianya sebagai pihak yang mengeluarkan keputusan sama sekali ditutup ruang geraknya untuk mengajukan gugatan, dalam rangka mempertahankan keputusannya.
Frasa “para pihak” dari pasal ini kelihatannya rancu. Siapakah yang dimaksud para pihak itu ? Bukankah dalam penyelesaian sengketa pemilu yang bertindak sebagai para pihak adalah KPU dan partai politik. Jika sedianya yang dimaksud dalam pasal tersebut hanya partai politik seharusnya frasa “para pihak” diganti dengan kata “ pihak” saja. Sedangkan jika kita hendak memasukkan KPU sebagai pihak dalam sengketa pemilu ini, frasa yang perlu diganti adalah “KPU” dengan kata “Bawaslu”.
Dengan demikian para pihak yang dimaksud, setidaknya memilki posisi yang sama untuk mengajukan gugatan ke PTTUN.
KPU dapat mengajukan gugatan atasan putusan Bawaslu Ke PTTUN sebagaimana kiranya dalam kasus: perintah kepada KPU agar melaksanakan keputusan Bawaslu perihal dapat/ tidaknya partai politik diikutkan verifikasi faktual, karena parpol tersebut tidak lolos verifikasi adminstrasi.
MENGAKHIRI
Hemat penulis, keputusan KPU yang tidak meloloskan partai politik dalam verifikasi administrasi kemarin. Tidak dapat dipandang sebagai pelanggaran “kode etik’ yang hanya dapat diselesaikan melalui putusan DKPP. Putusan tersebut merupakan keputusan yang bersifat beschikking, yang hanya dapat diuji melalui PTTUN. Termasuk penilaian Bawaslu yang menganggap sejumlah partai politik layak untuk ikut verifikasi faktual juga adalah putusan yang bersifat beschikking. Oleh karena itu tidak ada alasan kiranya sehingga KPU, juga dapat dijadikan sebagai peserta dalam penyelesaian sengketa pemilu. Bukankah KPU juga dapat dikatakan sebagai pihak yang dirugikan, jika ada keputusan Bawaslu yang harus diikuti.
Dalam praktiknya kerancuan pasal tersebut dimaknai oleh Bawaslu, semua keputusannya dapat dikatakan bersifat final. Dapat diamati pada keputusan yang terkait dengan masalah verifikasi Parpol kemarin yang dianggap oleh Bawaslu bersfat final dan harus dikuti oleh KPU. Sementara bagi Partai politik tidak bersifat final.
Berbeda halnya tafsiran yang terjadi bagi KPU, terhadap putusan Bawaslu, KPU menafsirkan norma tersebut dengan tidak mau melaksanakan keputusan Bawaslu dengan berpatokan pada Pasal 259 ayat 1 yang menegaskan bahwa “keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa pemilu merupakan keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan tehadap sengketa pemilu yng berkaitan dengan verifikasi partai politik peserta pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota.”
Akibat perbedaan tafsiran terhadap ketentuan tersebut. Memungkinkan ke depannya masih banyak kisruh, akan menghadang terhadap dua penyelenggara pemilu ini. Oleh karena itu layaklah kiranya pasal tersebut dilakukan uji materil, karena norma tersebut selain bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, juga bertentangan dengan asas kepastian hukum dalam penegakan hukum pemilu. Saya kira langkah ini jauh lebih tepat jika ditempuh, karena ini bukan persoalan pelanggaran kode etik yang dapat diselesaikan di DKPP, melainkan terjadinya kekisruan terus-menerus, karena perbedaan tafsir atas sebuah norma.
Masalah yang diungkapkan di atas, belum dapat dikatakan berakhir. PR dari kedua lembaga penyelenggara pemilu tersebut masih banyak yang akan terjadi. Kisruh selanjutnya yang menghadang serta dapat terulang kembali. Yakni masih ada satu tahapan pemilu yang proses penyelesaian sengketanya identik dengan sengketa verifikasi, yaitu tahapan pendaftaran calon anggota legislatif. Bahkan masalah yang akan dihadapi jauh lebih berat. Oleh karena setiap calon anggota DPR, DPD, dan DPRD yang merasa dirugikan oleh keputusan KPU. Dapat mengajukan penyelesaian sengketa ke Bawaslu dan PTTUN.
Bersamaan dengan itu, sudah saatnya kedua lembaga ini mengakhiri kekisruhan dengan cara mengedepankan asas profesionalitas dari pada ego sektoralnya. KPU dan Bawaslu tidak perlu lagi ada uji tanding dalam menyikapi multitafsir undang-undang Pemilu. Melainkan dapat berjalan beriringan menegakkan asas-asas pemilu yang luber dan jurdil. Bagi penegakan demokrasi yang ideal, bukan demokrasi setengah hati. Semoga.***