Pidana Bagi Penyebar Hoax

Hoax bukanlah singkatan, melainkan kata dalam bahasa Inggris yang berarti: tipuan, menipu, berita bohong, berita palsu atau kabar burung. Sederhananya dapat dikatakan bahwa hoax merupakan kata yang berarti ketidakbenaran suatu informasi.

Manakala dilakukan penelusuran dalam perundang-undangan, satupun kita tidak akan menemukan kata “hoax” yang selanjutnya dikualifikasi sebagai perbuatan pidana. Hanya saja, dengan mencermati secara jernih dari makna yang terdapat dalam peristilahan tersebut, sebagai suatu tindak perbuatan maka potensial mengakibatkan pelanggaran terhadap kepentingan hukum berupa: kepentingan hukum perseorangan, dan kepentingan hukum kolektif (masyarakat atau negara).

Sumber Gambar: komputerlamongan.com/

Sumber Gambar: komputerlamongan.com/

Kepentingan Perseorangan

Memang untuk saat ini, penyebaran berita hoax didominasi dengan menggunakan instrumen media elektronik. Kendatipun tidak menutup kemungkinan dapat saja menggunakan media cetak.

Perbuatan menyebarkan berita hoax bagi penegak hukum harus secermat-cermatnya menggunakan penalaran hukum yang wajar sebelum menindak pelakunya. Oleh karena tidak semua berita kebohongan yang disebarkan berimplikasi terhadap pelanggaran kepentingan hukum, baik hal itu kepentingan hukum bagi perorangan maupun kepentingan hukum kolektif. Contoh sederhananya, saya meng-update– status di laman facebook: “saya sedang sarapan pagi” padahal sesungguhnya saya tidak sarapan pagi waktu itu. Perbuatan demikian mustahil adanya dapat dipidana.

Bagaimana contoh dari pada perbuatan menyebarkan berita hoax dapat dipidana? Khusus untuk perbuatan yang menyebarkan berita kebohongan yang merugikan kepentingan hukum seseorang dapat saja terwujud dalam tindak pidana penipuan, dapat pula terwujud dalam tindak pidana penghinaan. Jika anda pernah memesan suatu produk (barang) di media elektronik dan ternyata berita penjualan itu bohong, sebab anda tidak mendapatkan barang pesanan tersebut melalui jasa pengiriman, maka perbuatannya yang menyebarkan berita hoax terkualifikasi sebagai tindak pidana penipuan (Vide: Pasal 378 KUHP dan Pasal 28 ayat 1 UU ITE).

Pada prinsipnya perbuatan menyebarkan berita hoax yang bertendensi sebagai tindak pidana penghinaan, lebih konkretnya cenderung terkualifikasi sebagai tindak pidana penghinaan berupa fitnah (laster). Hal itu disebabkan, berita bohong yang disampaikan tidak mengandung kebenaran, apa yang dituduhkannya tidak pernah diperbuat bagi yang tertuduh, oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana dikualifiasi sebagai “fitnah” (Vide: Pasal 311 KUHP dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE).

Kepentingan Kolektif

Terkait dengan sebaran berita hoax yang dapat merugikan kepentingan kolektif, sasaran perbuatannya sudah pasti tertuju pada kepentingan khalayak. Perbuatan ini dalam undang-undang kerap kali harus diikutkan dengan akibat perbuatannya; (1) Apakah akan menimbulkan keonaran; (2) Ataukah akan menimbulkan rasa kebencian terhadap suatu golongan.

Kendatipun dari sisi akibat, sebenarnya antara perbuatan yang menimbulkan keonaran dan rasa kebencian bisa disamakan peristiwa hukumnya. Sebab kalau terdapat perbuatan yang akan menimbulkan kebencian sudah pasti akan menimbulkan keonaran.

Agar lebih jelas dan mudah memahaminya, saya mengutip ketentuan yang relevan dengan peristiwa pidana ini. ketentuan tentang penyebaran berita kebohongan yang dapat menerbitkan keonaran diatur dalam dua ketentuan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana.

Pasal 14 Undang-undang a quo menegaskan: ayat 1 “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun; ayat 2 “Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.”

Nilai pembeda dari dua ketentuan di atas, yaitu pada ayat kesatunya merupakan perbuatan menyebarkan berita bohong akan menimbulkan keonaran karena kesengajaan sebagai maksud atau kepastian. Artinya sipembuat pidana jelas-jelas memiliki kehendak dan pengetahuan kalau perbuatan menyebarkan berita kebohongan itu akan menimbulkan keonaran.  Sedangkan pada ayat keduanya, merupakan perbuatan sebagai kesengajaan insaf akan kemungkinan, bahwa kepadanya patut mengetahui atau patut menduga kalau dari pada perbuatan menyebarkan berita kebohongan akan menimbulkan keonaran.

Soal kekaburan makna apa yang dimaksud “keonaran” dalam pasal a quo, telah dijelaskan dalam ketentuannya lebih lanjut, bahwa keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya.

Dengan memperhatikan ketentuan ini, kiranya perbuatan salah satu nitizen beberapa bulan lalu yang menyebarluaskan informasi palsu soal rush money terkait dengan rencana aksi demonstrasi 25 November 2016, merupakan perbuatan yang telah dapat dikualifikasikan sebagai penyebaran berita bohong yang akan menimbulkan keonaran sebab telah menyebabkan keresahan hati penduduk, khususnya nasabah perbankan.

Selanjutnya,  penyebaran berita hoax yang dapat menimbulkan kebencian terhadap suatu golongan, ketentuannya diatur dalam Pasal 28 ayat 2 UU ITE: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),”

Pasal ini pada sesungguhnya tidak memuat unsur “perbuatan kebohongan.” Hanya saja, dengan kembali pada peristiwa hukumnya, kerapkali perbuatan kesengajaan menyebarkan informasi yang bertujuan untuk menimbulkan kebencian, konten informasi yang disebarkan biaanya tidak mengandung kebenaran atau sifatnya sebagai berita kebohongan belaka.

Perbuatan menyebarkan berita hoax atau berita bohong, ke depannya jika memang hendak diatur dalam ketentuan yang baru, sebaiknya pembentuk Undang-undang melakukan inventarisasi terhadap berita-berita apa saja yang mengandung kebohongan dapat merugikan kepentingan hukum perseorangan atuakah dapat merugikan kepentingan hukum kolektif.

Tidak semua perbuatan kebohongan dapat dipidana, anda bisa tanya kepada para suami: apakah ia dapat dipidana ketika berbohong kepada istrinya? Pasti jawabannya, tidak akan…*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...