Politik Uang Saat Masa Tenang

Damang Averroes Al-Khawarizmi
(http://makassar.tribunnews.com)
MUSIM kampanye pemilu serentak 2019 tak lama lagi akan berganti. Kampanye melalui rapat umum, iklan media massa cetak, media massa elektronik, dan internet akan menjadi penutup cerita ramai dan riuhnya antara peserta pemilu dan pemilih. Setelah itu, tiga hari sebelum pesta demokrasi dimulai, sunyi dan senyap mewajibkan kita semua menyepi dengan segala urusan yang beraroma “citra diri” para peserta pemilu.
Bawaslu RI beserta jajarannya kemudian mewanti-wanti agar tidak ada oknum tak bertanggung jawab yang mengganggu asas kebebasan pemilih dalam kurun waktu tiga hari, di masa tenang. Cegat dan tangkal, segera laporkan kalau ada suap kepada pemilih (vote buying or money politic), sebab yang demikian akan mengganggu integritas dan keadilan pemilu.
Kelemahan Pasal
Saban waktu, saat kenyataan datang, pemilih dalam sepinya tak kuat menahan godaan, amplop yang berisikan ratusan ribu rupiah diterima dengan lapang dada. Dan terkonfirmasilah Pasal 523 ayat 2 UU Pemilu, tak mungkin menjerat pemilih sebagai penerima suap, dan tak selamanya pula dapat menjerat pelaksana, peserta dan/atau tim kampanye sebagai pemberi suap.
Banyak kemudian pemerhati pemilu dan demokrasi menyayangkan anatomi pasal larangan suap kepada pemilu dalam tempo tiga hari sesingkat-singkatnya sebelum tiba hari pemungutan suara. Paling getol, adalah Direktur Perhimpunan Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini Mashudi nyaring bersuara di berbagai lini; media sosial, media cetak dan media elektronik mengkritik habis ketentuan itu, karena subjek pelakunya dipersempit dalam tiga kualitas saja: pelaksana, peserta, dan tim kampanye. Mengapa bukan “setiap orang” subjek pelakunya sebagaimana suap kepada pemilih yang kejadiannya pada saat atau pada hari pemungutan suara.
Kegalauan Titi Anggraini Mashudi belumlah seberapa. Jika kita kemudian sama-sama membuka jubah dan menelanjangi pasal sapu jagat money politic di hari tenang tersebut. Akan tampak secara nyata dan terang-benderang kekurangannya dari berbagai aspek. Pertama, pada aspek subjek pelaku pelaksana dan/atau tim kampanye, bukan hanya tidak dapat menjerat orang yang tidak tercatut namanya sebagai pelaksana dan tim kampanye di KPU. Namun pelaksana dan/atau tim kampanye sekalipun kalau hanya teregistrasi sebagai pelaksana dan/atau tim kampanye calon anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), lalu terlibat dalam membagi-bagi uang atau materi lainnya kepada pemilih, tidak dapat dijerat pidana penjara empat tahun dan denda Rp.48 juta berdasarkan Pasal 523 ayat 2 UU Pemilu.
Dan penyebabnya adalah Pasal 523 ayat 2 UU Pemilu bukanlah ketentuan yang berdiri sendiri. Pasal tersebut terkait sistematis dengan rubrika kampanye pemilu, diaturan-aturan sebelumnya. Secara leksikal, Pasal 523 ayat 2 satu nafas dan satu jiwa dengan Pasal 278 ayat 2 UU Pemilu. Siapa yang dimaksudkan sebagai pelaksana dan/atau tim kampanye? Adalah hanya pelaksana dan/atau tim kampanye pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Tidak untuk pelaksana dan/atau tim kampanye pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Kedua, pada aspek subjek pelaku peserta kampanye. Tak ada kajian sebelumnya dari kelompok akademik atau LSM yang pernah mempersoalkan siapa sesungguhnya yang dimaksud peserta kampanye sebagai kualitas pelaku yang juga dilarang menyuap pemilih di masa tenang berdasarkan Pasal 523 ayat 2 UU Pemilu. Padahal amat potensial peserta kampanye sebagai pelaku money politic di masa tenang menjadi ranah diskursus antar berbagai pihak. Entah antara Bawaslu dengan pihak terlapor atau kuasa hukum terlapor. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan pendapat antara Bawaslu, Polisi, dan Jaksa di bawah naungan Sentra Gakumdu dalam memutuskan suatu perbuatan suap kepada pemilih yang dilakukan oleh warga biasa (bukan pelaksana atau bukan tim kampanye).
Hal itu disebabkan, adanya pendefenisian bahwa peserta kampanye pemilu terdiri atas anggota masyarakat (Pasal 273 UU Pemilu). Semua anggota masyarakat, siapapun dia, tanpa memandang usianya, sudah memenuhi syarat sebagai pemilih atau belum, sepanjang dapat dibuktikan perbuatan materilnya telah memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada pemilih bisa dijerat dengan Pasal 523 ayat 2 UU Pemilu.
Tertuangnya kualitas “peserta kampanye” dalam pasal a quo, menyebabkan kemudian sama dengan delik suap kepada pemilih di masa pemungutan suara dengan penentuan pelaku dalam terminologi hukum “setiap orang.”
Kesadaran Etik
Gugurlah kritik sebelumnya yang menyatakan bahwa suap kepada pemilih di masa tenang bahwa tidak dapat menjerat seseorang yang tidak terdaftar sebagai pelaksana atau tim kampanye. Namun tunggu dulu, sebab amunisi pembelaan dari mereka yang punya niat dan maksud jahat untuk melancarkan aksinya membagi-bagi uang, sarung, mukena, atau sembako di masa tenang. Dengan seribu macam cara akan mencari dalil dan dalih agar tidak terkualifikasi sebagai suap kepada pemilih.
Mereka akan melontarkan pembelaan, bahwa tak ada lagi yang dimaksud sebagai pelaksana, peserta dan/atau tim kampanye ketika masa kampanye telah usai. Status hukum telah daluarsa bersamaan dengan habisnya masa kampanye. Sifat melawan hukum pada perbuatan memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih memang terpenuhi, tetapi sifat kesalahan pada pelaku dalam kualitasnya tidak membebani lagi untuk lahirnya pertanggungjawaban pidana.
Pemilu serentak 2019 yang bersih, jujur, dan adil hanya bisa disandarkan pada kesadaran etik peserta pemilu dan pemilih, menolak politik uang. Ini bukan soal takut sanksi pembatalan, soal takut dengan Bawaslu, tapi nilai intrinsiknya dengan mengakhiri pemilu tanpa politik uang, perlahan kita sudah meminimalisir terpenjaranya wakil rakyat, korupsi gara-gara jual beli suara.*
Artikel Ini Telah Muat Sebelumnya di Harian Tribun Timur Makassar, 11 April 2019