Datang Mapatabe, Kades Diperiksa Bawaslu

Sumber Gambar: partainasdem.id

Surat yang dikirimkan oleh Bawaslu Kabupaten Bulukumba telah ia baca berkali-kali. Dalam surat itu tertera dengan jelas Pasal 490 UU Pemilu: “Setiap Kepala Desa (Kades) yang dengan sengaja membuat keputusan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu pada masa kampanye dipidana dengan pidana penjara…” Namun tiadalah ia memahami secara terang, keputusan atau tindakan macam apa yang tidak boleh ia lakukan dalam kualitasnya sebagai Kades Tibona.

Tibalah suatu masa kecelakaan jabatan sebagai bencana atas dirinya pribadi. Seorang warga yang hendak mendatangkan Syahrul Yasin Limpo (SYL, Calon anggota DPR RI NasDem), datang bersimpuh harap kepadanya. Ceritanya tidak ada maksud warga bersangkutan untuk melibatkan Kades yang sudah tua rentah itu, terlibat dalam mengundang Kepala Dusun, RT, RW hadir diacara silaturahmi SYL, di desa Tibona.

Ini soal adat, dan hukum pun pasti tidak melarangnya, sebab apa yang salah dengan seorang warga datang “mapatabe” ke Kadesnya, sebelum kampanye diadakan. Ia bertandatangan dengan kapasitas bahwa ia sudah mengetahui kalau kegiatan kampanye itu akan diadakan beberapa hari ke depannya.

Begitu kegiatan kampanye sudah selesai, Kades Tibona dipersoalkan hukum oleh Panwaslu Kecamatan. Dan Panwaslu Kecamatan selanjutnya meneruskan temuan tersebut ke Bawaslu Kabupaten Bulukumba. Singkat cerita Kades Tibona yang kemarin sudah diperiksa selama empat jam di Bawaslu Kabupaten Bulukumba, diduga melakukan tindakan yang menguntungkan peserta pemilu pada masa kampanye (Pasal 490 UU Pemilu).

Kapasitas Mengetahui

Dengan menelaah antara fakta hukum dengan klausula pelarangannya, tidak cukup hanya dengan memelototi bunyi teks undang-undang. Dibutuhkan logika yang tajam dan akal budi yang sehat serta moral yang luhur, agar tidak sesat hukum menjerat seorang yang nyata-nyata tidak memiliki motif untuk berbuat kesalahan dibalik kualitasnya sebagai Kades.

Pertama, adakah unsur kesengajaan atas terwujudnya perbuatan materil melakukan tindakan? Ada tindakan yang menguntungkan peserta pemilu, tetapi perlu diketahui kalau tindakan itu bukan dilakukan oleh Kades Tibona. Bukan dia yang mengundang, juga tidak turut mengundang.

Di sinilah sebenarnya ruang aliran pemidanaan monisme bertahta, antara perbuatan dan pelaku sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Delik yang terkait dengan jabatan, adalah suatu perbuatan hanya memiliki arti penting dus mengandung kesalahan, sebab semata-mata hanya pada kualitas subjek hukum pelaku inklusif dapat mewujudkannya. Dalam kasus tersebut, yang melakukan tindakan bukan Kades, tetapi warga yang hendak mengundang Syahrul Yasin Limpo (SYL). Pun dalam faktanya, Kades tidak pernah memunculkan batang hidungnya di acara kegiatan kampanye  hingga SYL meninggalkan desa Tibona.

Kedua, acapkali dalam tindak pidana pemilu, orang susah membedakan antara kewenangan yang berdasar hukum dengan kewenangan yang salah karena ditujukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan politik. Akibatnya selalu terjadi pejabat dikriminalisasi kewenangannya, padahal ia tidak pernah berniat untuk melakukan kesalahan. Kades Tibona tidak bertindak atas kepentingan politiknya, sebab sudah menjadi kewajiban hukum, ia harus mengetahui kegiatan resmi yang terjadi di daerah pemerintahannya.

Saya kira tidak sejahat itu hukum pidana datang merampas hak seseorang yang memiliki alasan pembenar untuk menjalankan tugas dan kewenangannya. Kades yang menuangkan tandatangan dalam kapasitas sekadar “mengetahui” akan diadakan kegiatan kampanye merupakan tindakan yang sah, tidak patut untuk digolongkan sebagai kejahatan.

Kades Tibona sekali lagi ia tidak melakukan tindakan yang tidak sah. Tindakannya itu sesuai dengan kewenangan yang diberikan berdasarkan UU Pemilu. Pemerintah Desa memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu, pelaksana kampanye, dan tim kampanye dalam penggunaan fasilitas umum untuk penyampaian materi kampanye (Pasal 306 ayat 1 UU Pemilu). Kepadanya memiliki kewajiban hukum untuk memperlakukan sama semua peserta pemilu, bisa datang berkampanye di daerahnya. Bukan ia mengundang peserta pemilu untuk berkampanye, tetapi jika ada yang mau datang berkampanye ia tidak boleh melarang, sebab melarang kegiatan kampanye justru berimplikasi pidana (Pasal 491 UU Pemilu).

Tradisi Mapatabe

Ketiga atau terakhir, tindak pidana tidak terkunci semata-mata pada unsur-unsur yang diterangkan saja. Dalam setiap unsur objektifnya melekat apa yang disebut sebagai sifat melawan hukum. Sifat melawan hukum selanjutnya ada yang disebut sebagai sifat melawan hukum materil berfungsi negatif. Suatu perbuatan meskipun telah memenuhi semua unsur tindak pidana sebagaimana yang dituangkan dalam undang-undang, namun jika oleh suatu nilai kepatutan dianggap tidak memenuhi syarat sebagai kejahatan, tidak dapat dipidana.

Tradisi mapatabe merupakan kelaziman dalam struktur pemerintahan lokal, terutama di kalangan bugis-makassar. Hilang unsur melawan hukumnya suatu perbuatan pidana, sang Kades berhak untuk mengetahui aktivitas resmi di daerah yang akan melibatkan warganya sebagai peserta kampanye.

Undangan untuk menghadiri kegiatan kampanye dengan pelaksana SYL sebagai calon anggota DPR RI di desa Tibona, bukan Kades yang mengundang, tetapi seorang warga Tibona. Tidak memenuhi unsur kualitas pelaku, pejabat Kades. Bertanda tangan di atas surat undangan dalam kapasitas mengetahui akan ada kegiatan kampanye, merupakan peran pemerintah desa dalam memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta pemilu. Dan pada saat yang sama, hukum pemilu menemukan pijakan adatnya; datanglah mapatabe ke Kades, sebelum diadakan kegiatan kampanye sebab itu bagian dari peran pemerintah desa untuk berbuat secara equal kepada setiap peserta pemilu.

 

ARTIKEL INI TELAH MUAT SEBELUMNYA DI HARIAN TRIBUN TIMUR, 30 JANUARI 2018

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...