Delik Pelanggaran PSBB

Sumber Gambar: tribunnews.com

DI TENGAH penanggulangan Pandemi Covid-19, Kota Makassar telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai daerah yang wajib menyelenggarakan kekarantinaan kesehatan dalam bentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Berbagai spekulasi kemudian muncul bak hantu gentayangan, kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap pelaksanaan PSBB, ancaman pidana siap diberlakukan.

Spekulasi ini semakin diperkuat dengan terdapatnya ketentuan dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) Perwali Kota Makassar Nomor 22 tahun 2020. Bahwa terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap pelaksanaan PSBB, selain dapat dikenakan “upaya paksa” juga akan dikenakan “sanksi pidana” sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Delik PSBB

Kalimat “akan dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” dalam pasal a quo, setidak-tidak secara konkrit delik atau tindak pidana yang relevan dengan itu, adalah Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan.

Secara tegas Pasal 93 mengatur bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00-;

Sebelum mempersoalkan akan efektif atau tidaknya delik tersebut dalam hal menunjang kelancaran pelaksanaan PSBB. Perlu diperhatikan muatannya yang jauh dari kata “hukum yang berkepastian.”

Pertama, rumusan pasalnya tersusun tidak dengan kalimat yang jelas, sehingga tidak seirama dengan asas yang berlaku umum dalam hukum pidana, nullum crimen nulla poena sine lege certa/lex certa.

Dua unsur objektif antara “tidak mematuhi” dengan “menghalang-halangi” adalah perbuatan yang sebenarnya memiliki makna sama. Setiap orang yang menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sama saja artinya dengan perbuatan tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Mengapa tidak dirumuskan saja dalam kalimat, setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan selama dalam Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara …dst.

Makin ambigunya lagi pasal tersebut, karena dua unsur objektif selain bisa diberlakukan secara alternatif, bisa pula diberlakukan secara kumulatif dengan terdapatnya frasa “dan/atau.” Artinya, selain orang tidak mematuhi bisa pula melakukan perbuatan menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Padahal sekali lagi, perdefenisi kedua unsurnya sama. Sedianya, undang-undang haruslah terumuskan pendek, supaya ia muda dituruti (leges breves sunta, ut facilius teneantur).

Kedua, mengenai unsur menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan terformulasikan sebagai delik materil. Yaitu delik yang menekankan pada akibat. Dalam delik materil, harus ada hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dengan akibat yang muncul.

Akibat “sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat” sebagaimana yang terumuskan dalam pasal di atas,  sudah dapat dipastikan tidak akan berhubungan dengan unsur perbuatannya “menghalang-halangi. Sebab akibat yang dimaksud lebih awal terjadi dari pada kehendak untuk menghukum perbuatan menghalang-halangi itu. Bukankah dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, soal kedaruratan kesehatan menjadi kewenangan yang ditetapkan oleh pemerintah (dalam hal ini  Presiden), sebagai tindakan awal atau dasar untuk membentuk peraturan pemerintah tentang PSBB.

Ketiga, bertentangan dengan kelaziman dalam hal perumusan delik jika terjadi pengakumulasian antara delik formil dengan delik materil. Sebab dua keadaan itu, dianggap gradasi kejahatan berbeda, sehingga ancaman pidananya pun harus dibedakan. Delik pelanggaran PSBB, justru menggabungkan antara dua jenis delik demikian, dengan ancaman pidana yang sama.

Keempat, sekalipun disepakati bahwa yang disebut hukum positivistik, apa yang nyata-nyata tertulis. Tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan utamanya, hukum pidana itu harus juga rasional. Dalam arti yang lebih luas, hukum tidak dapat memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin (lex neminem cogit ad impossibilia – lex non cogit ad impossibilia).

Contoh sederhananya, bahwa salah satu bentuk pelaksanaan PSBB dalam Perwali Kota Makassar, terdapat pembatasan kegiatan keagamaan. Andaikata ditemukan banyak orang ramai-ramai melaksanakan salat tarwih di mesjid, apakah semua orang yang terlibat dalam kegiatan keagamaan itu ditangkap satu-persatu. Tentu tidak mungkin, dan terlalu naif menyeret banyak orang ke kantor polisi, dengan hadangan penjara di depan mata.

Belum lagi dengan contoh-contoh konkret pelanggaran PSBB yang lain, misalnya orang keluar rumah tanpa memakai masker, pengendara sepeda motor online mengangkut penumpang,  transportasi angkutan umum melebihi batas angkutan penumpang. Kesemuanya jika hendak dipidanakan, boleh jadi akan ada perlawanan balik kepada aparat.

Kesadaran Masyarakat

Daripada ancaman pidana selalu dijadikan “senjata” oleh pihak pemerintah beserta dengan aparat penegak hukum, dengan jalan menakut-nakuti, warga masyarakat yang tidak mau taat pada pelaksanaan PSBB. Adalah lebih baik jika diutamakan pendekatan persuasif kepada mereka yang masih abai dan tidak peduli dengan segala bentuk pelaksanaan PSBB.

Berbanding lurus dengan itu, pelaksanaan PSBB di kota Makassar, tidak ada artinya. Jika tidak didukung oleh kesadaran masyarakat sebagai garda terdepan dalam memutus mata rantai dan sirkulasi penyebaran Covid-19. Gampang diucap tetapi susah diwujudkan dalam perbuatan. “Tangkal Covid-19 dengan cukup sayangi kesehatan anda, maka orang di sekitarmu juga akan kau sayangi kesehatannya.”

Saat saya mengakhiri tulisan ini, tiba-tiba saya teringat kabar dari seorang kawan. PSBB di kota Makassar tak ada gunanya. Di jalan raya sekarang katanya lebih macet dibanding hari-hari kemarin, sebelum ada penetapan PSBB.

Ah..! kita memang bebal dan rantasa.*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...