Ade Armando Versus Pembela Kekerasan, Siapa yang Jadi Macan?

Sumber Gambar: detiknews.com
Demonstrasi mahasiswa pada 11 April lalu yang berlangsung relatif aman dan kondusif tercoreng aksi biadab para pendompleng yang melakukan kekerasan dan penganiayaan terhadap dosen Universitas Indonesia Ade Armando.
Mulanya, aksi di Jakarta yang dilakukan sejumlah kelompok yang terdiri atas beberapa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) berlangsung tertib. Aksi mereka dimulai pada siang hari di sekitar kawasan Patung Kuda di Jalan Medan Merdeka Barat sebelum beralih ke depan gedung MPR, DPR, dan DPD.
Di sana, mereka diterima pimpinan DPR RI yaitu Sufmi Dasco Ahmad, Rachmat Gobel, dan Lodewijk F Paulus bersama Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Perwakilan aliansi BEM seluruh Indonesia membacakan sejumlah tuntutan dan mendesak wakil rakyat untuk tidak mengkhianati konstitusi negara.
Massa di depan kompleks parlemen akhirnya bubar setelah hujan berintensitas sedang mengguyur wilayah tersebut. Aksi serupa di Bandung, Palembang, Palu, Palangkaraya, dan kota lainnya juga berlangsung aman.
Unjuk rasa di Jakarta diwarnai tindak penganiayaan terhadap pegiat media sosial Ade Armando. Pengeroyok itu bukan mahasiswa. Mulanya Ade dipukul dari belakang. Sejurus kemudian, massa langsung mengerumuni hingga menarik sehingga Ade terguling. Dua tangan Ade Armando sampai melindungi wajah yang bersimbah darah. Celana panjangnya dilucuti. Ade Armando nyaris ditelanjangi.
Padahal kepentingan Ade Armando dan para demonstran selaras. Demo dilakukan untuk memprotes upaya perpanjangan jabatan presiden, begitupun Ade Armando selama ini dengan lantang selalu menyuarakan penolakan terhadap wacana Presiden Joko Widodo menjabat tiga periode.
Mestinya, dalam konteks demontrasi, tidak perlu ada gesekan. Namun, motif para pengeroyok itu ternyata terkait dengan rekam jejak Ade Armando yang selama ini lantang melawan intoleransi. Mereka para pelaku penganiayaan ini mengaku kesal dengan sikap Ade Armando selama ini.
Salah satu pelaku pengeroyokan Ade Armando, Muhammad Bagja mengaku ikut memukuli Ade Armando karena kesal, tidak terima atas pernyataan-pernyataan Ade Armando di media sosial.
Seperti dilaporkan mediaindonesia.com, Bagja mengetahui Ade Armando karena pernyataan-pernyataannya yang kadang kontroversial. Diapun tidak sepakat dengan apa yang disampaikan Ade selama ini. Maka dari itu, dia nekat ikut mengeroyok Ade Armando.
Bagja kini sudah berstatus tersangka. Ia merupakan satu dari tujuh pelaku pengeroyokan terhadap Ade Armando yang ditangkap polisi. Selain Bagja, ada Komarudin, Dhia Ul Haq, Abdul Latif, Arif Pardhiani, Markos Iswan, dan Alfikri Hidayatullah.
Inilah yang patut kita sayangkan. Ketika perbedaan pendapat justru dibalas dengan kekerasan. Orang boleh berbeda pandangan dengan Ade Armando, bahkan dengan siapa pun. Tetapi, kekerasan terhadap orang yang berbeda pandangan itu, harus dilawan dan dibawa ke muka hukum.
Ade seperti sudah diincar. Jejak-jejak digital para pendemo yang bukan mahasiswa tersebut menandai kehadiran Ade Armando di lokasi berseliweran di media sosial dan layanan perpesanan.
Namun yang lebih kita sayangkan lagi. Ternyata banyak pihak yang bersorak sorai atas tragedi biadab ini. Ada yang membenarkan, ada juga yang melakukan pemakluman.
Segala sumpah serapah berhamburan mengiringi penganiayaan yang dirayakan. Para pembenci Ade Armando seperti tengah menikmati panggung besar aksi balas dendam karena hanya di situ mereka merasa menang.
Ada yang menyebut Ade kena batunya, bahkan ada yang bilang Ade Armando seperti masuk ke sarang macan. Mereka, para pembela kekerasan, menganggap Ade salah sendiri karena berada di kandang macan. Jadi, mereka beranggapan pengeroyok sebagai macan. Padahal, pengeroyokan itu bukan aksi oleh macan, tetapi para pengecut. Masa, macan harus ramai-ramai untuk menghadapi Ade Armando?
Apapun itu, kekerasan mestinya tidak boleh mendapatkan tempat di negeri ini. Negeri ini majemuk. Sekali tindakan kekerasan akibat perbedaan pendapat dan keyakinan dibiarkan, bahkan dimaklumi, prinsip kemajemukan saat itu juga telah sirna.
Oleh:
Akhmad Mustain
Editor Media Indonesia
MEDIA INDONESIA, 16 April 2022
Sumber:
https://mediaindonesia.com/opini/486210/ade-armando-versus-pembela-kekerasan-siapa-yang-jadi-macan